Minim Upaya Penenangan, Api Perang di Ukraina Terus Berkobar
Perang di Ukraina berlarut-larut. Pertempuran terus berkecamuk di berbagai wilayah di Ukraina. Hingga saat ini upaya untuk meredakan perang itu masih menemui jalan buntu.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
CHASIV YAR, JUMAT – Minimnya upaya internasional untuk menenangkan para pihak yang terlibat dalam perang di Ukraina, membuat perang tersebut kini berlarut-larut. Pertempuran sengit saat ini terus berkecamuk di Bakhmut, dimana tentara Ukraina terus mencoba bertahan dari gempuran pasukan Rusia.
Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Reuters, Jumat (3/3/2023), tentara Ukraina kini menggali parit pertahanan baru untuk mempertahakan mati-matian kota yang berada di Provinsi Donetsk itu. Parit-parit baru itu digali dengan jarak masing-masing antara 20-40 meter. Hal itu menandakan, pasukan Ukraina tengah memperkuat posisi pertahanan mereka. Meskipun dinilai kurang begitu strategis, Ukraina tidak mau kehilangan Bakhmut.
Di sisi lain, dengan berhasil merebut Bakhmut, Rusia akan mengamankan langkah penting untuk merebut kawasan industry di sekitarnya. Untuk menekan tentara Ukraina, pasukan Rusia terus memborbardir posisi lawan yang bertahan di Chasiv Yar, kota kecil di dekat Bakhmut serta dua permukiman di barat Bakhmut, yaitu Khromove dan Ivanivske.
Sementara itu, dari Kremlin dikabarkan, Presiden Vladimir Putin, Kamis, menuduh kelompok sabotase asal Ukraina telah melakukan serangan lintas batas. Putin menyebutkan, serangan itu terjadi di wilayah Bryansk selatan yang berbatasan dengan Ukraina. Serangan itu disebutnya menargetkan warga sipil termasuk anak-anak. Gubernur Bryansk Alexander Bogomaz mengatakan serangan itu telah menewaskan dua orang dan melukai seorang anak laki-laki berusia 11 tahun.
"Mereka tidak akan mencapai apa-apa. Kami akan menghancurkan mereka," kata Putin. Wilayah perbatasan Rusia menjadi semakin tidak stabil sejak Moskwa menginvasi Ukraina setahun lalu.
Atas tuduhan itu, Kyiv mengatakan, Rusia telah melakukan provokasi palsu. Hal itu diungkap oleh penasihat presiden Ukraina Mykhailo Podolyak melalui Twitter. Dia mengatakan bahwa Rusia ingin menakut-nakuti rakyatnya untuk membenarkan serangan ke negara lain.
Sementara itu, Andriy Yusov, juru bicara intelijen militer Ukraina mengatakan bahwa kelompok sabotase itu adalah tanda perselisihan internal. "Ini adalah orang-orang yang dengan senjata di tangan mereka melawan rezim Putin dan mereka yang mendukungnya. Mungkin warga Rusia akan mulai bangun," kata Andriy Yusov kepada Ukraina Hromadske.
Dukungan
Ketika perang di Ukraina terus berkecamuk, AS kembali akan mengumumkan paket bantuan militer baru senilai 400 juta dollar AS untuk Kyiv. Bantuan tersebut antara lain dalam rupa amunisi, termasuk amunisi untuk Himars dan Kendaraan Tempur Bradley. Sebelumnya Washington telah menggelontorkan bantuan senilai hampir 32 miliar dollar AS dalam rupa beragam persenjataan ke Ukraina.
Sejalan dengan paket bantuan baru yang tengah dibahas itu, AS juga tengah menjajaki kemungkinan sanksi baru untuk China jika Beijing terbukti memberi dukungan militer kepada Rusia. Sejauh ini, Beijing membantah tuduhan Washington.
Dari Jerman dikabarkan, AS bersama mitra Barat memberi pelatihan teknis dan strategi militer untuk para perwira Ukraina. Latihan itu digelar di pusat latihan militer di pangkalan Angkatan Darat AS di Wiesbaden, Jerman. "Yang kami lakukan hanyalah menyiapkan kerangka kerja dan mekanisme untuk memungkinkan tentara Ukraina belajar mandiri, belajar melawan situasi, atau berbagai scenario," kata Jenderal Mark Milley yang mengunjungi fasilitas militer itu pada Kamis lalu. "Saya memiliki keyakinan yang luar biasa pada semangat tentara Ukraina untuk melawan. Dan pada akhirnya, hasilnya, saya yakin, akan menjadi Ukraina yang bebas, mandiri, dan berdaulat," kata Milley.
Jenderal Christopher Cavoli, Panglima Tertinggi Sekutu di Eropa mengatakan kepada wartawan bahwa AS akan mendukung Ukraina selama diperlukan. Bulan lalu, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengharapkan semua dukungan AS, termasuk beragam alutsista akan membantu Ukraina membuat perbedaan signifikan dalam serangan balasan mereka.
Masih terbatas
Di sisi lain, upaya komunitas internasional untuk meredakan perang di Ukraina masih terkesan terbatas. Bahkan beberapa forum internasional menjadi ajang saling tekan. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, Jumat, mengatakan, forum G20 kini tidak lagi menjadi forum ekonomi. Forum tersebut disebutnya telah menjadi platform untuk membahas persoalan geopolitik. Isu perang Rusia-Ukraina mendominasi pertemuan para menteri luar negeri negara anggota G20 yang digelar di New Delhi, India, Kamis kemarin.
Menurutnya, hanya ada “sedikit peningkatan” dalam upaya diplomasi terhadap Moskwa. Borrell mencatat bahwa Menlu Rusia Sergei Lavrov tetap berada di ruangan ketika negara-negara Barat mengkritik Rusia, tidak seperti pada pertemuan menteri luar negeri G20 di Bali tahun lalu, ketika dia keluar. "Setidaknya kali ini dia bertahan dan dia mendengarkan. Ini perbaikan kecil tapi penting," kata Borrell di Dialog Raisina, sebuah forum dialog yang digelar New Delhi, Jumat.
"Saya pikir itu lebih baik daripada tidak sama sekali," katanya. Borrell mengatakan dia akan menentang setiap upaya untuk mengeluarkan Rusia dari G20. "Kita harus menjaga cara berbicara, atau setidaknya mendengarkan jika tidak berbicara," kata Borrell.
Tapi Borrell tetap teguh bahwa dunia harus mendukung Ukraina. Ia prihatin pada kegelisahan negara-negara berkembang yang terdampak perang di Ukraina.
Di sela-sela pertemuan menlu itu, Menlu AS Antony Blinken bertemu dengan Menlu Lavrov. Dalam kesempatan itu kepada Lavrov, Blinken mengatakan agar Rusia segera mengakhiri perang dan mendesak Mokswa untuk membatalkan penangguhan New START (Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis).
Selain Blinken, Lavrov juga bertemu dengan Menlu Kanada, Melanie Joly. Dalam pertemuan itu, kepada Blinken, Joly menegaskan agar Rusia keluar dari Ukraina.
Pertemuan menlu negara-negara anggota G20 itu berakhir tanpa deklarasi bersama. India yang memegang tampuk kepemimpinan G20 tahun ini mengeluarkan catatan bahwa Rusia dan China tidak setuju dengan seruan agar Moskwa menarik diri dari Ukraina.