Perusahaan Asia dan Eropa Terus Pasok Avtur untuk Junta Militer Myanmar
Meski sanksi telah dijatuhkan dunia internasional pada junta, sejumlah perusahaan masih memasok avtur bagi jet tempur junta Myanmar. Tak hanya avtur, perusahaan negara tetangga juga memasok senjata.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
London, Kamis — Pengiriman avtur, bahan bakar untuk penerbangan, termasuk di dalammya adalah untuk pesawat militer ke Myanmar terus berlangsung. Perusahaan pemasok tidak hanya berasal dari Eropa, tapi juga Asia.
“Kami melacak pengiriman baru bahan bakar penerbangan yang kemungkinan berakhir di tangan militer Myanmar, yang digunakan untuk melakukan serangan udara. Serangan-serangan ini mengakibatkan terbunuhnya warga sipil, termasuk anak-anak,” kata Montse Ferrer, Peneliti dan Penasihat Bisnis dan Hak Asasi Manusia Amnesty International, dalam siaran persnya, Rabu (1/3/2023). Amnesty mendesak pengiriman avtur segera dihentikan.
Dalam laporannya pada November 2022 lalu yang diberi judul Deadly Kargo, Amnesty Internasional, bekerja sama dengan Global Witness dan Burma Campaign Inggris, menemukan rantai pasok bahan bakar bagi pesawat-pesawat Myanmar, termasuk jet tempur militer yang digunakan untuk membombardir instalasi sipil dan kelompok perlawanan. Rantai pasok itu melibatkan perusahaan nasional, regional dan global.
Penelusuran ketiga lembaga menemukan, sebuah kapal pengangkut bahan bakar Prime V, berlayar dari Sikka, India, pada 28 November 2022 dan sekitar satu pekan kemudian dia diketahui menurunkan bahan bakar penerbangan kelas jet A-1 di lokasi penampungan di Pelabuhan Thilawa, Myanmar. Pelabuhan ini dulu dikelola oleh Puma Energy Aviation Sun Co. Ltd (PEAS).
Salah satu perusahan yang terlibat dalam transaksi ini, menurut laporan ketiga lembaga, adalah Reliance Industries Ltd, sebuah perusahaan India. Perusahaan ini diketahui sebagai pemilik dan pengelola terminal tempat keberangkatan Prime V di Sikka, India. Sementara, penerima manfaat Prime V, kapal berbendera Panama ini adalah perusahaan Yunan, Sea Trade Marine.
Sementara, Sebuah perusahaan Jepang, P&I Club, juga terlibat dalam penyediaan asuransi perlindungan dan ganti rugi.
Amnesty International dalam laporannya mengungkap upaya mereka menghubungi perusahaan-perusahaan tersebut dan mengingatkan peran mereka dalam dugaan kejahatan perang yang terjadi di Myanmar. Akan tetapi, hanya Japan P&I Club yang menjawab dan mengatakan bahwa mereka mematuhi sanksi yang berlaku pada saat itu. Dalam pernyataannya kepada Amnesty, manajemen P&I Club mengatakan, pertanggungan asuransinya dapat diakhiri jika sebuah kapal terlibat dalam aktivitas ilegal. Tidak ada kesan bahwa Prime V melanggar hukum yang berlaku dalam pengiriman ini.
Penelusuran tiga lembaga itu juga memperlihatkan bahwa pasokan avtur bagi junta terjadi dari sebuah perusahaan Thailand. Rincian pengiriman pada bulan Oktober 2022 yang diperoleh tiga lembaga itu menyebut sebuah kapal tanker Big Sea 104 tiba di Thilawa, Myanmar setelah berangkat dari Pelabuhan Bangkok, Thailand, 8 Oktober 2022. Menurut data Kpler, sebuah perusahaan informasi komoditas.
Sumber avtur di Thailand dimiliki oleh Bangchak Corporation Plc, perusahan publik Thailand. Laporan itu juga menyebut, Prima Marine Plc, perusahaan Thailand lainnya, adalah penerima manfaat Big Sea 104. Sedangkan, Asosiasi Perlindungan Bersama & Ganti Rugi Pemilik Kapal yang berbasis di Luxembourg, Tak satu pun dari perusahaan ini menanggapi surat Amnesty International.
“Masing-masing perusahaan ini berperan dalam memastikan militer Myanmar terus memiliki akses ke bahan bakar penerbangan untuk melakukan serangan udara yang melanggar hukum. Ini harus berakhir. Semua perusahaan harus menghentikan keterlibatan mereka dalam rantai pasokan bahan bakar penerbangan ke Myanmar,” kata Ferrer.
Sementara itu penyelidik senior Global Witness, Hanna Hindstrom mengatakan, masyarakat internasional memiliki norma dan aturan untuk melakukan pembatasan dan bahkan menghentikan pengiriman bahan bakar yang disalahgunakan junta. “Kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk mengurangi kapasitas militer Myanmar meneror warga sipil,” kata Hindstrom
Suplai Senjata
Selain masalah pasokakn avtur, kelompok aktivis Justice for Myanmar mengungkap bahwa pasokan amunisi dan persenjataan bagi junta juga terus mengalir. Selain dari Rusia, kelompok itu menyebut, sebuah badan usaha milik Pemerintah India, Yantra India Limited, diketahui mengirimkan persenjataan pada junta.
Dalam laporannya, kelompok itu menyebut, bulan Oktober lalu, Yangtra India Limited mengirim 20 laras senjata berukuran 122 milimeter ke Myanmar, senilai 330.000 dolar AS. Penerimanya adalah Innovative Industrial Technologis Company Limited. Menurut kelompok itu, laras senjata, semacam laras yang digunakan pada meriam, menjadi material dasar yang akan dikembangkan untuk kebutuhan persenjataan junta.
“India secara langsung mendukung serangan tanpa pandang bulu junta terhadap warga sipil dengan mengizinkan ekspor barel,” kata juru bicara Justice For Myanmar Yadanar Maung.
Yantra dan Innovative Industrial Technologies tidak menanggapi permintaan komentar melalui surat elektronik. Kantor berita AFP juga telah menghubungi Kementerian Luar Negeri India untuk memberikan pernyataan, tetapi permintaan itu belum ditanggapi.
Saat berkunjung ke Thailand, Agustus lalu, Menteri Luar Negeri India S Jaishankar mengatakan, negaranya tidak bisa menghindari berurusan dengan tetangganya, Myanmar, karena masalah lintas batas.
“India dan Myanmar sudah memiliki hubungan yang sangat lama. Hubungan kami tidak boleh dinilai dari situasi politik kekinian semata,” kata Jaishankar, dikutip dari media India, Deccan Herald. (AFP)