Dua tahun setelah kudeta militer, Myanmar berjalan di tempat. Tidak ada perubahan meski junta militer menjanjikan akan menggelar pemilu. Banyak negara tak yakin pemilu itu akan bebas dan adil.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Naypyidaw, Rabu - Situasi di hampir semua kota di Myanmar sepi. Jalanan kosong dan pertokoan tutup. Jalanan di pusat komersial Yangon sebagian besar lengang sejak Rabu (1/2/2023) pagi. Jalan menuju Pagoda Shwedagon, salah satu kuil Buddha yang terkenal di Yangon, yang biasanya dipadati pengunjung, sepi. Transportasi umum, seperti bus kota, masih beroperasi, tetapi tanpa penumpang.
Tindakan itu merupakan wujud protes rakyat Myanmar terhadap kudeta militer dua tahun yang lalu. Warga menanggapi ajakan para aktivis yang sebelumnya menyerukan agar masyarakat menutup toko atau usahanya dan tinggal di dalam rumah saja mulai pukul 10.00 hingga pukul 16.00 petang.
”Saya hanya berjualan sedikit makanan saja hari ini. Itu pun cepat ludes karena pembeli sudah datang pagi-pagi. Mereka buru-buru pulang karena ada mogok hari ini. Kami juga mau ikut mogok,” kata salah seorang penjual makanan di jalanan Naypidaw.
Sebagai tandingan, kabarnya, akan ada arak-arakan oleh kelompok pro-militer, terdiri dari ”patriot, pencinta militer, biksu, dan warga masyarakat”. Mereka akan beriring, berbaris, melewati jalan-jalan utama di Yangon pada Rabu malam.
Pada 1 Februari 2020, dua tahun lalu, pemerintahan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi yang memenangi pemilu digulingkan oleh militer. Alasan militer, ada kecurangan pada proses pemilu.
Militer yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing enggan menggunakan mekanisme hukum untuk menggugat. Mereka memilih mengudeta pemerintah yang sah. Dan, sejak kudeta itu, situasi Myanmar kacau. Perlawanan rakyat terhadap militer terjadi di mana-mana. Militer membalasnya dengan tindakan keras, termasuk menembak warga sipil.
Sejak kudeta, junta militer memberlakukan status keadaan darurat selama setahun. Junta kembali memperpanjang status itu dua kali selama enam bulan. Konstitusi memungkinkan untuk melakukan dua kali perpanjangan keadaan darurat dan seharusnya sudah berakhir akhir Januari 2023. Setelah keadaan darurat berakhir, dalam konstitusi disebutkan pihak berwenang harus melaksanakan pemilu.
Akan tetapi, pada Selasa lalu, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional Myanmar menggelar pertemuan membahas situasi Myanmar, lalu menyimpulkan situasinya belum kembali normal. Di dalam rapat itu dikatakan Pasukan Pertahanan Rakyat, kelompok antikudeta, dan pemerintahan bayangan yang didominasi anggota parlemen dari NLD mencoba merebut kekuasaan melalui kerusuhan dan kekerasan.
Lembaga tersebut lantas kembali memperpanjang keadaan darurat negara itu selama enam bulan. ”Keadaan darurat akan diperpanjang selama enam bulan lagi mulai dari 1 Februari,” kata Penjabat Presiden Myint Swe. ”Kekuasaan kedaulatan negara telah dialihkan ke panglima tertinggi lagi,” ujarnya.
Pemilu pun ditunda dan kemungkinan akan digelar pada Agustus mendatang. Terkait pemilu, komisi pemilu bentukan junta militer memberikan waktu dua bulan pada partai politik untuk mendaftar ulang. Persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat, di antaranya jumlah keanggotaan partai secara nasional dan pembukaan kantor partai di sejumlah daerah.
Partai politik yang tidak mampu memenuhinya akan kehilangan status sebagai partai politik. Ini aturan baru yang tertuang di dalam undang-undang pemilu baru yang disetujui junta pada Kamis (26/1). Aturan ini tidak memberikan penjelasan mengenai proses verifikasi partai di tengah situasi Myanmar yang dilanda krisis.
Jika pemilu akhirnya diadakan, banyak pihak khawatir pemilu itu tidak akan berjalan mulus dan banyak pemilih tidak akan menggunakan haknya mengingat perlawanan bersenjata masih berkecamuk di seluruh negeri. ”Harapan terbesar kami di tahun ini adalah kebebasan dan bisa kembali ke rumah,” kata Thet Naung, aktivis di wilayah Sagaing utara di mana sering terjadi bentrok antara militer dan aktivis antikudeta.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Anthony J Blinken menilai, pemilu yang dilakukan junta tidak mungkin akan bebas atau adil mengingat junta telah membunuh, menahan, dan mengerasi lawan politiknya. Banyak pemangku kepentingan politik utama di Myanmar mengumumkan penolakan mereka untuk berpartisipasi dalam pemilihan yang tidak akan inklusif.
”AS akan terus mendukung gerakan prodemokrasi dan upayanya untuk memajukan perdamaian dan pemerintahan multipartai di Myanmar. Kami memuji mereka yang bekerja untuk memperkuat persatuan dan kohesi serta menjadi bagian berbagai kelompok yang memiliki visi yang sama akan demokrasi sejati dan inklusif di Myanmar,” kata Blinken.
AS pun, menurut Blinken, berharap dapat bekerja sama dengan ASEAN, terutama terkait dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB baru-baru ini tentang situasi di Myanmar.
Sanksi
Dalam situasi seperti itu, komunitas internasional mencoba untuk tidak tinggal diam. Bertepatan dengan dua tahun kudeta di Myanmar, Pemerintah AS, Kanada, dan Inggris akan mengumumkan sanksi baru untuk Myanmar.
Sanksi itu menyasar junta militer, entitas yang didukung junta, dan individu. Sanksi di antaranya akan dijatuhkan pada perusahaan minyak dan gas Myanmar, yang merupakan sumber keuangan junta. AS juga menyasar direktur pelaksana dan wakil direktur pelaksana BUMN tersebut.