Turki Mulai Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascagempa
Pemerintah Turki menginisiasi proses awal pembangunan kembali rumah tinggal di wilayah terdampak gempa. Dibutuhkan setidaknya setengah juta rumah di Turki.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
ANKARA, SABTU — Pemerintah Turki mulai melaksanakan tahapan awal proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah-wilayah yang dilanda gempa dahsyat, 6 Februari 2023. Dari identifikasi awal pemerintah, Turki berencana membangun 200.000 apartemen dan 70.000 rumah tapak untuk korban gempa yang akan membutuhkan biaya setidaknya 15 miliar dollar AS. Namun, dalam perhitungan JP Morgan, bank Amerika Serikat, biaya itu bisa bertambah menjadi 25 miliar dollar AS untuk membangun rumah tempat tinggal dan semua infrastruktur yang rusak diguncang gempa.
Seorang pejabat Pemerintah Turki yang tahu mengenai rencana proses rehabilitas dan rekonstruksi menyebut, Presiden Reccep Tayyip Erdogan berjanji untuk membangun kembali rumah yang rusak akibat gempa dalam waktu satu tahun. ”Untuk beberapa proyek, tender dan kontrak telah dimulai. Prosesnya berjalan sangat cepat,” kata pejabat yang enggan disebutkan namanya itu, Jumat (25/2/2023).
Gempa dahsyat yang melanda Turki dan Suriah, dalam perhitungan Program Pembangunan PBB (UNDP), mengakibatkan lebih kurang 1,5 juta warga kehilangan tempat tinggal. UNDP juga menyebut, Turki membutuhkan setidaknya 500.000 rumah baru bagi warganya.
Untuk mempercepat proses kembalinya warga yang kehilangan tempat tinggal, Erdogan telah mengeluarkan sebuah keputusan pada Jumat yang isinya memberikan peluang dan mendorong individu, lembaga, atau organisasi untuk membangun rumah atau apartemen bagi para korban. Bangunan tempat tinggal itu nantinya bisa diserahkan kepada Kementerian Urbanisasi Pemerintah Turki untuk didistribusikan kepada para korban gempa.
Selama proses pembangunan kembali rumah atau apartemen yang rusak, pemerintah akan menentukan lokasi hunian sementara (huntara). Salah satu pedoman pembangunan huntara yang dikeluarkan bersamaan dengan keputusan itu adalah jarak kawasan huntara dengan titik rawan gempa (patahan), kesesuaian tanah, hingga kedekatan dengan lokasi asal hunian warga yang rusak akibat gempa.
Keputusan itu juga menyebut lahan kering dan lahan nonhutan bisa digunakan untuk pembangunan kembali rumah atau bangunan tempat tinggal yang rusak. Pemberitahuan dan keberatan soal perencanaan pembangunan kembali rumah dan bangunan tempat tinggal lainnya tidak diperlukan selama proses perencanaan dan pembagian lahan.
Pascagempa, Pemerintah Turki mendapat sorotan dan kritik tajam soal kualitas bangunan yang ada di seluruh wilayah terdampak. Sejumlah ahli kontstruksi menilai, meski Turki memiliki aturan untuk kualitas bangunan sebagai pencegahan dampak bencana, termasuk gempa, perusahaan-perusahaan konstruksi sering kali mengabaikannya. Pengabaian itu berdampak pada menurunnya kualitas bangunan, mulai dari persentase campuran beton dan kerikil yang digunakan hingga batang baja sebagai penopang kolom yang berukuran kecil, membuat bangunan tidak memiliki daya topang dan tidak kokoh.
Pejabat tersebut mengatakan, untuk proses pembangunan kembali, Pemerintah Turki kali ini tidak akan main-main dengan faktor keselamatan warga dan kualitas bangunan. Dia menyebut, tidak ada kompromi pada keselamatan.
Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu mengatakan, pihak berwenang kini terus melakukan penyelidikan terhadap para kontraktor yang dinilai mengabaikan kualitas bangunan, melanggar standar keselamatan hingga berdampak pada masifnya korban jiwa akibat gempa 6 Februari. Dia menyebut, 564 orang berstatus tersangka dan 160 orang di antaranya telah ditangkap. Dia menyebut masih banyak pihak yang teridentifikasi terlibat dalam persoalan ini dan kini masih dalam tahap penyelidikan.
Soylu mengatakan, lebih dari 600.000 apartemen dan 150.000 tempat komersial mengalami setidaknya kerusakan sedang. ”Kota kita akan dibangun di tempat yang tepat, anak-anak kita akan tinggal di kota yang lebih kuat. Kita tahu ujian seperti apa yang kita hadapi dan kita akan keluar dari sini dengan lebih kuat,” katanya kepada penyiar TRT Haber.
Banyak orang yang selamat telah meninggalkan wilayah selatan Turki yang dilanda gempa atau menetap di tenda, rumah kontainer, dan akomodasi lain yang disponsori pemerintah. Menurut data pemerintah, sekitar 865.000 warga tinggal di tenda-tenda pengungsian dan 23.500 warga lainnya tinggal di rumah kontainer. Sebanyak 376.000 orang tinggal di asrama mahasiswa dan penginapan umum di luar zona gempa.
Soylu menyebut, pemerintah dan lembaga kemanusiaan telah mendirikan 313.000 tenda di seluruh wilayah terdampak gempa dan 100.000 rumah kontainer. ”Tidak ada yang tersisa di kota. Tidak ada yang bisa dilakukan,” kata Caner Ozdemir ketika turun dari bus yang membawa dia dan dua adiknya dari Kirikhan.
Mahasiswa jurusan sejarah berusia 19 tahun itu bepergian dengan dua adik laki-lakinya ke Mersin, tempat orangtua dan saudara kandungnya tinggal bersama kerabat. Dia berkata, sekarang ingin beremigrasi ke Swiss dan melanjutkan studinya di sana.
Di Suriah, para pekerja kemanusiaan terus berjibaku untuk mengirimkan lebih banyak bantuan bagi korban gempa di negara yang dilanda konflik tersebut. Sebanyak 20 truk bantuan yang dikirim setiap hari ke Suriah dinilai belum cukup untuk membantu 8,8 juta warga Suriah yang terdampak bencana.
Muhannad Hadi, Koordinator Kemanusiaan Regional untuk Krisis Suriah, mengatakan, sebanyak 280 truk telah melintasi perbatasan Turki ke wilayah Suriah barat sejak operasi bantuan dimulai pada 9 Februari lalu. ”Kami berharap dalam waktu dekat, minggu ini, bantuan dapat mencapai 40 truk per hari, dua kali lipat yang biasa kami bawa sebelum gempa karena lebih banyak sumber daya yang tersedia,” kata Hadi.
Aktivis dan para pekerja kemanusiaan mengkritik lambatnya respons dari para pihak, termasuk PBB, untuk mengirim bantuan ke wilayah terdampak di Suriah. Berbeda dengan Turki yang segera mendapat pasokan bantuan dari segala penjuru, penanganan gempa di Suriah menjadi lebih kompleks karena konfik dan kekerasan bersenjata yang terjadi di negara ini. (AFP/REUTERS)