Pelajaran dari Gempa Turki
Gempa Turki merupakan gempa dengan mekanisme geser yang berpusat di darat terbesar dan berdampak langsung di daerah padat penduduk. Gempa merusak dan mematikan itu memberi pelajaran dalam strategi mitigasi gempa bumi.

Hari Senin, 6 Februari 2023 pukul 04.17 waktu setempat atau pukul 08.17 WIB, wilayah Turki selatan dekat perbatasan dengan Suriah diguncang gempa dahsyat.
Hasil analisis menunjukkan gempa ini memiliki magnitudo 7,8 dan berpusat di darat pada 23 kilometer timur Nurdagi, Provinsi Gaziantep, dengan kedalaman hiposentrum 24,1 km.
Setelah guncangan dahsyat gempa utama (mainshock), serangkaian gempa susulan terus terjadi di sepanjang jalur sesar. Gempa susulan signifikan bermagnitudo 6,7 pun terjadi 11 menit setelah gempa utama melanda. Dengan memperhatikan lokasi episentrum dan kedalaman hiposentrumnya, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang dipicu aktivitas sesar aktif.
Baca juga: Gempa Bumi dan Kelalaian Pembangunan
Mekanisme sumber
Hasil pengamatan dan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan bahwa peristiwa gempa kuat ini terjadi dalam sistem Sesar Anatolia Timur (East Antolian Fault/EAF).
Hasil analisis ini juga dikuatkan dengan data mekanisme sumber yang menunjukkan bahwa gempa ini memiliki mekanisme pergerakan geser mengiri (left lateral strike-slip) yang menjadi ciri khas mekanisme sumber gempa Sesar Anatolia Timur (EAF).
Gempa kerak dangkal ini tampak jelas berasosiasi dengan zona EAF yang mengimbangi dinamika tektonik Lempeng Arab di timur dan Lempeng Anatolia di sebelah barat.
Baca juga: Investigasi Kolapsnya Bangunan, Erdogan Perintahkan Penahanan 113 Pihak
Hasil pemantauan gempa susulan (aftershocks) sangat jelas menggambarkan panjang rekahan di jalur patahan. Diperkuat data sebaran gempa susulan, tampak jelas bahwa rekahan menyebar jauh ke timur laut. Ini konsisten dengan peta jalur Sesar Anatolia Timur.
Patahan ini ”pecah” hampir di sepanjang jalur sesar, dan aftershocks mendelineasi segmen patahan sepanjang 300 km, yaitu patahan yang bertipe geser mengiri.
Gempa yang dipicu sesar aktif dengan kekuatan mencapai magnitudo 7,8 memang sangat jarang terjadi. Jenis deformasi semacam ini biasanya terjadi pada patahan geser-geser batas lempeng yang sangat panjang.
Durasi rekahan (rupture) yang cukup lama sebanding dengan panjang patahan, yang artinya kemungkinan bukan gempa supershear. Ditambah gempa susulan yang cukup banyak, tampaknya gempa ini bukan tipikal gempa supershear.

Lokasi gempa utama M 7,8 dan gempa susulan M 7,5 di Turki, Senin (6/2/2023).
Baca juga: Gempa Bumi dan Kelalaian Pembangunan
Peta tingkat guncangan (shakemap) menunjukkan bahwa gempa yang terjadi menimbulkan dampak kerusakan berat di beberapa kota di sepanjang jalur sesar, seperti Gaziantep, Kahramanmaras, Pazarcik, dan Nurdagi, hingga mencapai skala intensitas VIII-IX MMI.
Gempa ini, meskipun berpusat di darat, juga dilaporkan memicu tsunami kecil setinggi 30 sentimeter di Erdemli, sebuah kota pantai di Turki selatan. Diperkirakan ketinggian tsunami berkisar 1,5 meter hingga 2 meter di beberapa tempat di pantai terdekat pusat gempa.
Tektonik dan sejarah gempa
Turki merupakan salah satu kawasan rawan gempa di dunia. Secara geologi-tektonik, Turki memiliki dua sumber gempa potensial, yaitu Sesar Anatolia Utara (North Anatolian Fault/ NAF) dan Sesar Anatolia Timur (EAF). Dua sumber gempa ini generator gempa paling dahsyat di daratan Turki.
Sesar Anatolia Timur yang menjadi pemicu gempa merusak bermagnitudo 7,8 saat ini lokasinya berada di persimpangan tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Anatolia, Lempeng Arab, dan Lempeng Afrika.
Dalam dinamika tektoniknya, Lempeng Arab bergerak ke arah barat laut menekan Lempeng Anatolia, hingga menyebabkan Lempeng Anatolia bergeser ke arah barat. Fenomena ini lazim dikenal sebagai tectonic escape. Wajar jika Sesar Anatolia Timur dengan laju geser 9-11 milimeter per tahun ini mampu mengakumulasi tegangan kulit bumi hingga rilis energi sebagai gempa dahsyat.
Gempa ini, meskipun berpusat di darat, juga dilaporkan memicu tsunami kecil setinggi 30 sentimeter di Erdemli, sebuah kota pantai di Turki selatan.
Menurut sejarah kegempaan Turki, sebenarnya sebagian besar gempa kuat terjadi di sepanjang Sesar Anatolia Utara di wilayah Turki Utara, bukan di selatan di mana jalur Sesar Anatolia Timur berada. Gempa Turki saat ini merupakan salah satu yang terkuat selama hampir satu abad terakhir.
Sebelumnya, gempa dahsyat dipicu aktivitas Sesar Anatolia Utara bermagnitudo 7,8 melanda Turki timur pada tahun 1939. Gempa ini mengakibatkan lebih dari 30.000 orang meninggal. Gempa dahsyat di Turki dan Suriah bermagnitudo 7,8 saat ini adalah yang pertama kali dan terbesar yang terjadi di jalur Sesar Anatolia Timur.
Dengan mengamati sebaran gempa berkekuatan di atas magnitudo 7,0 sejak dioperasikannya seismograf di Turki (sekitar tahun 1900), peristiwa gempa besar Turki saat ini adalah gempa terbesar yang pernah tercatat oleh peralatan pemantau gempa di wilayah Turki Selatan.
Catatan sejarah kegempaan Turki yang lebih tua menunjukkan bahwa gempa besar sudah sering terjadi di sepanjang jalur Sesar Anatolia Timur pada tahun 1114 (magnitudo 7,5), 1822 (magnitudo 7,4), 1893 (magnitudo 7,2), dan 1972 (magnitudo 7,0). Catatan ini menjadi bukti bahwa gempa dahsyat bermagnitudo 7,8 saat ini adalah yang terbesar di Sesar Anatolia Timur yang melibatkan pecahnya seluruh segmen sesar.

Gempa Turki merupakan gempa dengan mekanisme geser yang berpusat di darat terbesar dan berdampak langsung di daerah padat penduduk, yang berimplikasi pada besarnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Laporan terkini korban meninggal akibat gempa sudah lebih dari 17.000 orang.
Penyebab kerusakan
Ada beberapa faktor mengapa gempa Turki dan Suriah ini sangat merusak (destructive) dan mematikan (deadly).
Pertama, gempa ini memiliki kekuatan sangat besar, magnitudo 7,8, sehingga rilis energi yang dikeluarkan dari sumber gempa sangat besar dan dimanifestasikan dengan guncangan dahsyat. Kedua, gempa yang terjadi termasuk klasifikasi gempa kerak dangkal yang menyebabkan energi gempa yang mencapai permukaan bumi masih utuh, belum banyak mengalami atenuasi dan peredaman oleh lapisan tanah.
Ketiga, terjadi empat kali rentetan gempa besar bermagnitudo 7,8; magnitudo 6,7; magnitudo 7,5; dan magnitudo 6,0 yang makin memperparah kerusakan bangunan.
Keempat, waktu gempa terjadi pada pukul 04.17 dini hari waktu setempat sehingga seluruh warga sedang berada di rumah, dan sebagian besar masih tidur.
Kelima, pusat gempa ini di kelilingi empat kota besar, yakni Gaziantep, Kahramanmaras, Pazarcik, dan Nurdagi, yang cukup padat penduduknya.
Gempa Turki ini memang dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas gempa tambahan di area yang sama, berupa rangkaian gempa susulan atau gempa picuan yang mengaktifkan kegempaan di sekitar sesar utama (off fault seismicity).
Peristiwa gempa merusak dan mematikan di Turki dan Suriah tersebut memberi pelajaran untuk kita dalam strategi mitigasi gempa bumi.
Sebagai contoh, gempa besar kedua bermagnitudo 7,5 terjadi sembilan jam setelah gempa utama yang dibangkitkan oleh picuan statis (static triggering) pada sistem sesar yang berbeda, terletak di sebelah barat jalur Sesar Anatolia Timur. Dalam hal ini, gempa Turki sama sekali tidak akan memicu gempa dahsyat di tempat lain di dunia.
Pelajaran untuk kita
Peristiwa gempa merusak dan mematikan di Turki dan Suriah tersebut memberi pelajaran untuk kita dalam strategi mitigasi gempa bumi. Sumber gempa jenis kerak dangkal seperti pembangkit gempa Turki saat ini sebarannya banyak terdapat di Indonesia. Hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen, 2017) menunjukkan bahwa ada 295 segmen sesar aktif di Indonesia.
Meski demikian, masih banyak sumber gempa sesar aktif yang belum terindentifkasi dan belum terpetakan karena hasil kajian BMKG banyak mengenali kluster gempa aktif di luar jalur sesar yang telah terpetakan.
Artinya, sumber gempa sesar aktif itu cukup banyak di Indonesia, baik yang sudah dikenali maupun yang belum terpetakan. Untuk acuan mitigasi gempa bumi, masyarakat seyogianya tidak boleh awam dengan jalur gempa di tempat mereka tinggal.
Jangan melupakan sejarah, dalam hal ini adalah sejarah gempa. Dalam seismologi kita mengenal adanya konsep periode ulang (return periods).

Gempa Besar di Turki, Ratusan WNI Belum Diketahui Nasibnya
Setiap gempa kuat yang pernah terjadi di suatu tempat akan terjadi lagi sebagai perulangan. Semakin lama periodisitasnya, potensi gempa yang mungkin terjadi akan semakin besar. Dalam hal ini masyarakat perlu menggali sejarah gempa untuk menata dan merencanakan mitigasi gempa di daerahnya. Di Indonesia, gempa merusak akibat aktivitas sesar aktif sejak tahun 1600 sudah terjadi lebih dari 500 kali.
Gempa mematikan akibat sesar aktif dengan korban jiwa lebih dari 1.000 orang sudah terjadi beberapa kali, seperti 1) Ambon tahun 1674 (2.243 orang meninggal); 2) Bali tahun 1815 (ribuan orang meninggal); 3) Seram tahun 1899 (sekitar 4.000 orang meninggal); 4) Wonosobo tahun 1924 (1.000 orang meninggal); 5) Flores tahun 1992 (2.500 orang meninggal); 6) Yogyakarta tahun 2006 (5.700 orang meninggal); dan 7) Palu tahun 2018 (4.300 orang meninggal).
Data sejarah gempa semacam ini tidak boleh diabaikan karena sangat berguna untuk menata mitigasi ke depan, terkait kemungkinan perulangan kejadian gempa besar yang merusak dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa sangat besar.
Untuk antisipasi dan mitigasi bahaya gempa, solusi utamanya adalah dengan mewujudkan bangunan tahan gempa. Gempa tidak membunuh dan melukai, tetapi bangunan dengan struktur lemah yang roboh karena guncangan gempa adalah penyebab jatuhnya korban jiwa.
Sebagai contoh, peristiwa gempa bermagnitudo 6,4 di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menelan korban jiwa lebih dari 5.778 orang, sementara gempa di Pesisir Suruga, Jepang, pada 11 Agustus 2009 yang berkekuatan sama, dengan kedalaman sama, hanya menyebabkan satu korban jiwa.
Setiap gempa kuat yang pernah terjadi di suatu tempat akan terjadi lagi sebagai perulangan.
Ini bukti bahwa bangunan tahan gempa sangat menentukan keselamatan masyarakat. Kesuksesan Jepang dalam mitigasi gempa disebabkan sejak 1981 Pemerintah Jepang mewajibkan semua bangunan harus tahan gempa.
Selain kualitas bangunan, yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi tanah. Tanah lunak yang tebal dapat memicu amplifikasi guncangan yang akan memperbesar guncangan gempa karena terjadi resonansi lapisan tanah. Zona lemah atau tanah lunak ini dapat dipetakan dengan mikrozonasi seismik.
Untuk itu, di daerah rawan gempa, tata ruang wilayah yang berbasis risiko gempa mutlak diterapkan. Gempa bisa terjadi sewaktu-waktu dan tidak bisa dicegah, tetapi dampak kerusakannya bisa dikurangi.
Terakhir, edukasi cara selamat saat terjadi gempa wajib dikuasai oleh masyarakat kita. Sebagai contoh, korban selamat saat Gempa Kobe tahun 1995 mayoritas adalah mereka yang mampu menyelamatkan diri sendiri. Justru yang diselamatkan oleh regu penolong paling sedikit.
Dalam hal ini, pembelajaran penting yang diperoleh adalah penguasaan pengetahuan penyelamatan yang dimiliki oleh diri sendiri, keluarga, dan komunitas di sekitarnya.
Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)