Pengawasan dan penerapan aturan bangunan yang lemah membuat kualitas bangunan bertingkat di Turki buruk. Padahal Turki sudah pernah diguncang gempa besar hingga menewaskan 18.000 orang.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Apartemen yang dulu dibeli dengan uang tabungan yang susah payah dikumpulkan, lalu didekorasi hingga nyaman ditinggali, kini tinggal puing-puing yang saling menumpuk setelah diguncang gempa bermagnitudo 7,8 pada Senin (6/2/2023) lalu. Bahkan, ada beberapa gedung apartemen yang baru selesai dibangun enam bulan lalu ikut runtuh.
Selebihnya kini sudah rata bagaikan pancake atau serabi beton. Tingkat kerusakan akibat gempa di Turki dan Suriah yang menewaskan sedikitnya 23.000 orang itu belum diketahui.
Jumlah korban tewas terus bertambah di Turki, negeri yang memiliki banyak daerah patahan dan sering digoyang gempa. Begitu pula dengan kemarahan rakyat yang menuding pemerintah lalai mengawasi kualitas infrastruktur, terutama bangunan bertingkat. Saking buruknya, banyak bangunan ketika gempa terjadi mudah runtuh.
Para ahli bangunan di Turki menjelaskan, sebenarnya Turki memiliki aturan untuk mencegah dampak bencana seperti ini. Namun, perusahaan-perusahaan konstruksi tidak menerapkan aturan itu, terutama perusahaan-perusahaan yang disebut-sebut justru memiliki kedekatan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Ledakan konstruksi di Turki mendorong pertumbuhan ekonomi yang substansial di era kekuasaan Erdogan pada tahun-tahun awal pemerintahannya. Proyek pembangunan ini menjadi program penting bagi Erdogan sejak Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa pada tahun 2002. Jumlah perusahaan yang bergerak di bidang real estate meningkat 43 persen hanya dalam 10 tahun dan mencapai 127.000 perusahaan sebelum pandemi Covid-19 menerjang tahun 2020.
Ada sebanyak 12.141 bangunan hancur atau rusak parah akibat gempa di Turki. Guru Besar di Universitas Bogazici, Istanbul, Mustafa Erdik, menjelaskan bahwa kerusakan bangunan akibat gempa kali ini di luar dugaan. Para ahli sudah memperkirakan kerusakan bisa terjadi jika ada gempa, tetapi tidak dalam skala sebesar ini. Kali ini bangunan roboh bertumpuk-tumpuk seperti tumpukan serabi.
“Lantainya bertumpuk satu sama lain. Dengan kondisi ini, peluang korban ditemukan dalam keadaan hidup itu sangat kecil,” kata Erdik yang juga anggota Yayasan Gempa Turki.
Konsultan di Universitas Teknik Istanbul, Zihni Tekin, mengatakan bahwa banyak bangunan roboh karena kualitas beton yang buruk. Terkadang campuran betonnya terlalu banyak air dan kerikil. Alasan lain adalah batang baja yang digunakan terlalu tipis untuk menopang kolom sehingga bangunan tidak kokoh.
Selain itu ada juga penyebab lain, yakni kualitas pendidikan insinyur dan arsitek meskipun di seluruh Turki bermunculan banyak perguruan tinggi swasta. Pejabat Turki juga bertaruh dengan melonggarkan peraturan. Aturan konstruksi Turki sudah sering direvisi sejak gempa tahun 1999 yang menewaskan 18.000 orang. Revisi yang terakhir dilakukan pada 2018.
“Di atas kertas, aturannya sudah betul. Kontrak juga dipercayakan kepada perusahaan swasta yang bertugas memeriksanya. Tetapi, pengawasan terhadap kontrak ini lemah sehingga perusahaan konstruksi bangunan menjadi longgar dan sering tidak mengikuti aturan,” kata arsitek di Istanbul, Aykut Koksal.
Mustafa Erdik menambahkan, prosedur birokrasi yang berat juga akhirnya membuat tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab ketika terjadi kesalahan. Banyak langkah yang harus dilalui dan banyak orang yang harus tanda tangan sehingga pada akhirnya menjadi sulit diidentifikasi siapa yang bertanggungjawab.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Erdik merekomendasikan untuk memberlakukan asuransi pada semua pelaku terhadap malpraktik yang menjamin kompensasi korban oleh kontraktor yang bersalah. “Begitu prosedur yang dilakukan di tempat lain di seluruh dunia ini dan seharusnya juga dilakukan di Turki,” ujarnya.
Kelalaian dan keserakahan yang jelas ditunjukkan oleh beberapa kontraktor memicu kemarahan, terutama setelah rumah susun mewah yang dibangun dalam 20 tahun terakhir hancur seperti tumpukan kartu. Aduan hukum yang pertama terkait kualitas bangunan yang buruk ini sudah masuk, Jumat lalu, di Diyarbakir dan akan segera menyusul aduan-aduan yang lain. Banyak yang berharap gempa ini pada akhirnya akan mengarah pada pengawasan yang lebih baik.
Erdogan berjanji akan membangun kembali daerah yang terkena dampak gempa dalam waktu satu tahun. Namun, janjinya tak mendapat sambutan positif, tetapi malah kekhawatiran karena banyak yang khawatir pada risiko gedung-gedung tinggi. Apalagi di Turki yang sering digoyang gempa.
Menurut Erdik, yang harus diperhatikan sebenarnya gedung-gedung berlantai 6-8 yang dibangun oleh perusahaan konstruksi yang kecil atau bahkan keluarga yang membangun rumahnya sendiri. “Saya khawatir pada keamanan bangunan yang lemah,” kata Erdik.
Sejak Senin lalu, Erdik menerima permintaan tanpa henti dari para pengembang yang memintanya untuk menilai atau memeriksa kondisi bangunan bertingkat mereka. (AFP)