Turki relatif memiliki infrastruktur dan sistem penanganan kebencanaan yang mapan. Namun, Suriah selama 11 tahun belakangan secara teknis masih berstatus perang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
ANKARA, KAMIS — Bantuan untuk Turki terus mengalir dan regu pencari dari berbagai penjuru dunia turun di wilayah tenggara Turki yang diguncang gempa. Pada saat yang sama, rakyat melayangkan protes kepada pemerintah karena dinilai tidak cepat tanggap menangani bencana.
Menurut laman resmi Badan Penanggulangan Bencana Nasional Turki (AFAD), Kamis (9/2/2023), jumlah korban tewas di 10 provinsi terdampak gempa sudah mencapai 12.391 jiwa. Adapun korban luka-luka sebanyak 62.914 orang.
Gempa terjadi di wilayah tenggara Turki yang berbatasan dengan Suriah pada Senin (6/2/2023). AFAD mencatat, gempa pertama bermagnitudo 7,7 disusul gempa kedua bermagnitudo 7,6. Sebanyak 13,5 juta penduduk di 10 provinsi terdampak.
Bahkan, geolog dari Institut Geofisika dan Vulkanologi Nasional Italia (INGV), Alessandro Amato, kepada kantor berita ANSA menjelaskan, gempa itu mengakibatkan dataran Anatolia naik setinggi 10 meter. Gempa secara fisik getarannya dirasakan hingga ke Lebanon. Namun, seismograf di Denmark dan Greenland juga menangkapnya.
Pemerintah Turki meliburkan sekolah di seantero negeri hingga 13 Februari. Pekan ini menjadi pekan berkabung nasional. ”Kita mengerahkan semua sumber daya terkait untuk menolong para korban,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dikutip kantor berita Anadolu.
Di New York, Amerika Serikat, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres melayangkan permohonan tanggap darurat kilat untuk Turki dan Suriah. Ini demi mempercepat prosedur pengiriman bantuan dan penerjunan para profesional kebencanaan ke dua negara tersebut.
Saat ini, Ketua Tim Tanggap Darurat PBB Martin Griffiths sedang berada di Gaziantep, Turki. Setelah itu, ia akan menuju ke Aleppo, Suriah.
”Turki relatif memiliki infrastruktur dan sistem penanganan kebencanaan yang mapan. Namun, Suriah selama 11 tahun belakangan secara teknis masih berstatus perang. Rakyatnya memerlukan pertolongan khusus,” ujar Guterres.
Berbagai negara mengulurkan bantuan untuk menolong Turki. Presiden AS Joe Biden dalam kunjungannya ke Wisconsin mengatakan, aliran bantuan telah berjalan ke Turki, termasuk pengiriman tim penanggulangan bencana untuk membantu mengevakuasi korban.
Departemen Pertahanan AS (Pentagon) melalui juru bicaranya, Patrick Ryder, mengatakan, kapal induk USS George HW Bush yang selama ini beroperasi di Laut Tengah sedang berlayar menuju Turki. ”Kapal itu siap digunakan untuk kegiatan apa pun yang dibutuhkan oleh Pemerintah Turki dalam menangani bencana,” tuturnya.
Di Taiwan, Presiden Tsai Ing-wen, Wakil Presiden William Lai, Perdana Menteri Chen Chien-jen, dan Wakil PM Cheng Wen-Tsang menyumbang satu bulan gaji mereka untuk Turki. Gaji Tsai sebesar 400.000 dollar Taiwan per bulan atau Rp 201,1 juta.
Selain itu, menurut kantor berita Central News Agency, Taiwan juga mengucurkan bantuan sebesar 2 juta dollar AS atau Rp 30,24 miliar. Ini di luar sumbangan masyarakat sipil sebesar 10,33 juta dollar Taiwan atau Rp 5,1 miliar.
Twitter
Di tengah situasi darurat ini, media sosial Twitter tidak bisa diakses di Turki. Warga terpaksa menggunakan jaringan virtual pribadi (VPN). Tidak ada penjelasan dari pemerintah mengenai alasan mandeknya layanan Twitter meskipun pemerintah telah mengamankan 18 orang yang diduga mengkritisi lambannya pemerintah menangani bencana.
Orang-orang itu mengatakan ketidaksigapan ini akan mencoreng reputasi Erdogan pada pemilihan presiden, Mei mendatang. Erdogan sudah menjabat selama 20 tahun.
”Pemerintah Turki mengatakan segera memperbaiki situasi ini dan Twitter akan kembali aktif seperti semula,” cuit pemilik Twitter, Elon Musk.
Para politikus oposisi pemerintah, pesohor, hingga rakyat jelata memprotes pemerintah melalui berbagai kanal media sosial. Menurut mereka, cuitan di Twitter penting sebagai wahana komunikasi para korban gempa dengan masyarakat luas. Unggahan di media sosial adalah salah satu cara para tim penolong bisa menemukan lokasi korban.
”Tanpa ditutup-tutupi pun kami tahu ketidakbecusan pemerintah. Sungguh tidak bijak menyensor media sosial di saat darurat seperti sekarang,” kata pemimpin oposisi, Kemal Kilicdaroglu. (AFP)