Belajar dari Bencana Turki, Audit Kekuatan Bangunan di Indonesia
Gempa Turki yang menewaskan lebih dari 8.000 orang diharapkan mendorong Indonesia untuk mengaudit kekuatan bangunan terhadap gempa bumi, terutama di wilayah perkotaan yang dilintasi jalur sesar.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini lebih dari 8.000 orang tewas akibat gempa bumi M 7,8 yang menghancurkan banyak bangunan di Turki dan Suriah pada Senin (6/2/2023). Bencana ini diharapkan mendorong Indonesia untuk mengaudit kekuatan bangunan terhadap gempa bumi, terutama di wilayah perkotaan yang dilintasi jalur sesar.
Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) Avianto Amri, Kamis (9/2/2023) di Jakarta, mengatakan, selain kekuatan gempa dan sumbernya yang dangkal, terdapat beberapa faktor lain yang membuat gempa di Turki kali ini menimbulkan banyak korban jiwa. Faktor pertama adalah waktu kejadian gempa pada pukul 04.17, yang berarti orang-orang sedang tidur di tempat tinggalnya.
Lokasi terdampak gempa berada di wilayah berpenduduk padat. Selain itu, kualitas bangunan yang tidak kuat mengantisipasi guncangan gempa menyebabkan banyak bangunan runtuh.
Risiko terutama gempa besar terjadi di kota yang kondisi tanahnya dari tanah lunak, seperti Jakarta atau Bandung. Sedimen tanah yang lunak akan memicu ground motion amplification yang memperbesar efek guncangan.
Avianto mengatakan, Turki memiliki aktivitas seismik tinggi karena berada di dua patahan besar di Lempeng Anatolia, yakni Patahan Anatolia Utara (Northern Anatolian Fault/NAF) yang melintasi Turki dari barat ke timur dan Patahan Anatolia Timur (East Anatolian Fault/EAF) yang ada di wilayah tenggara negara itu. Gempa kali ini terjadi di garis patahan yang relatif tenang.
”Belajar dari gempa Turki, Indonesia juga merupakan sarang aktivitas gempa karena terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya,” katanya.
Ketiga lempeng tersebut adalah Lempeng Samudra India-Australia di sebelah selatan, Lempeng Samudra Pasifik di sebelah timur, Lempeng Eurasia di sebelah utara (di mana sebagian besar wilayah Indonesia berada), dan ditambah Lempeng Laut Filipina.
”Di setiap pulau Indonesia juga terdapat berbagai sesar. Banyak warga Indonesia di kota besar tinggal di gedung bertingkat tinggi (high rise buildings), seperti di apartemen dan rumah susun. Dan juga banyak kota besar ini berada di atas atau di dekat patahan/sesar aktif yang berisiko tinggi terjadi gempa besar,” katanya.
Dengan kondisi ini, Avianto menyerukan warga bersama para pengelola bangunan beserta pemerintah daerah untuk mengaudit keamanan struktural gedung, termasuk kekuatan, keteraturan, fondasi, dan jalur beban. Hal ini karena peluang orang selamat dari bangunan menjadi sangat kecil apabila terjadi kerusakan struktural, termasuk runtuhnya bangunan dan rumah.
Avianto juga meminta pengelola gedung menyusun prosedur tanggap darurat secara tertulis bersama penghuni dan menyosialisasikannya kepada semua penghuni.
Selain mitigasi struktural, menurut dia, perlu juga dilakukan kesiapsiagaan nonstruktural karena sering kali korban jiwa tumbul akibat benda-benda yang tidak aman dan bisa menimpa atau mencelakakan penghuninya. Karena itu, diperlukan simulasi rutin setiap tahun yang diikuti oleh semua penghuni bekerja sama dengan pengelola gedung dan pemerintah setempat.
Risiko di Indonesia
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, sejauh ini Indonesia memiliki banyak pusat gempa di darat, beberapa di antaranya berada di dekat kota-kota besar.
”Risiko terutama gempa besar terjadi di kota yang kondisi tanahnya dari tanah lunak, seperti Jakarta atau Bandung. Sedimen tanah yang lunak akan memicu ground motion amplification yang memperbesar efek guncangan,” katanya.
Penelitian yang dipublikasikan Widiyantoro dan tim di Scientific Reports-Nature (2022) menunjukkan, bagian barat segmen Sesar Baribis yang aktif di selatan Jakarta saat ini dalam kondisi terkunci. Hal ini menyebabkan kawasan ini sangat rentan terhadap gempa bumi cukup besar di masa depan dari Sesar Baribis, ketika energi regangan yang terakumulasi ini akhirnya dilepaskan.
Sejarah mencatat, Jakarta telah berulang kali mengalami gempa bumi kuat, yang beberapa di antaranya sangat merusak. Gempa kuat pertama yang terdokumentasikan terjadi pada 5 Januari 1699.
Selain gempa bersumber dari sesar darat, Indonesia juga memiliki potensi gempa yang bersumber di zona subduksi, di antaranya dari selatan Jawa, yang bisa berdampak sampai Jakarta. Sekalipun jaraknya relatif jauh, gempa besar dari zona subduksi juga bisa berdampak besar bagi gedung-gedung tinggi di perkotaan. Gempa besar dari sumber yang relatif jauh bisa memicu vibrasi periode panjang (long period vibration) sehingga membuat gedung tinggi berayun-ayun hebat.
Menurut Daryono, kejadian ini pernah terjadi tahun 1985, saat gempa berkekuatan M 8,5 terjadi sejauh 380 kilometer dari Mexico City, ibu kota Meksiko. Gempa ini memicu vibrasi periode panjang, menghancurkan gedung tinggi di Mexico City. Sebanyak 40.000 orang meninggal saat itu.