Para Siswi Afghanistan Menyambung Mimpi di Madrasah
Anak perempuan Afghanistan melanjutkan pendidikan di madrasah bukan karena mereka suka, melainkan murni agar tidak putus sekolah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Hilang sudah kepastian para anak perempuan di Afghanistan bersekolah di sekolah reguler setelah lulus SD. Taliban yang menguasai negara itu sejak tahun 2021 telah melarang perempuan dan anak perempuan untuk menuntut ilmu di bidang-bidang yang menurut mereka terlalu modern dan tidak patut untuk perempuan. Akan tetapi, para siswi tidak ingin membiarkan cita-cita mereka kandas sepenuhnya. Mereka berusaha beradaptasi dengan masuk madrasah.
”Pokoknya, target saya sekarang ini tidak putus sekolah. Saya tidak mungkin bisa jadi dokter, tetapi bersekolah di madrasah setelah lulus minimal masih bisa bekerja jadi guru untuk sesama perempuan,” kata Mursal (17), seorang siswi madrasah. Demi keamanan, nama lengkap Mursal dan lokasi madrasah tempat ia menimba ilmu tidak ditulis.
Mursal sempat berhenti bersekolah setelah lulus SMP, bertepatan ketika Taliban merebut kekuasaan Afghanistan pada Agustus 2021. Setelah itu, selama satu tahun lebih ia menunggu di rumah. Ia berharap, Taliban menepati janji mereka untuk menjamin pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Janji itu tidak ditepati. Justru Taliban mengeluarkan peraturan bahwa perempuan dan laki-laki di atas usia SD tidak boleh bersekolah di tempat yang sama. Awalnya, kedua orangtua Mursal berharap ada sekolah khusus putri. Akan tetapi, kekurangan infrastruktur dan perempuan guru menimbun harapan ini.
Walhasil, agar pendidikan putrinya tidak terputus, tiga bulan lalu, Mursal akhirnya dimasukkan ke salah satu madrasah. Di sana tidak tersedia materi seperti di sekolah reguler, melainkan hanya ilmu keagamaan sesuai dengan interpretasi Taliban.
Di Afghanistan, pembelajaran di madrasah berbeda dengan yang biasa dilihat di Indonesia. Ustaz laki-laki sama sekali tidak boleh bertatap muka dan berbicara kepada siswi. Bahkan, mendengar suara perempuan pun dilarang bagi ustaz tersebut. Pembelajaran dilakukan dengan cara mengumpulkan para siswi di satu ruangan. Mereka mendengar ceramah ustaz dari pelantang.
Ketika kantor berita Reuters berkunjung ke madrasah di Kabul dan Kandahar, tidak ada pelantang yang berfungsi benar. Suara yang dikeluarkan terputus-putus. Para siswi harus berkonsentrasi, bahkan menebak-nebak ucapan ustaz mereka. Setelah pelajaran selesai, siswi diperbolehkan bergiliran menggunakan komputer kelas untuk mengirim pertanyaan kepada ustaz. Hanya itu cara mereka berkomunikasi dengan si pengajar.
Tidak ada data terbaru mengenai jumlah madrasah di Afghanistan dan perbandingannya dengan sekolah reguler. Data pemerintahan sebelumnya per Januari 2021, ada 5.000 madrasah yang terdaftar oleh pemerintah dengan jumlah pelajar 380.000 orang. Sebanyak 55.000 pelajar di antaranya perempuan.
Data ini tidak mencakup madrasah-madrasah kampung yang tidak terdaftar di pemerintah. Belum ada data mengenai jumlah siswi madrasah pascaperebutan kekuasaan oleh Taliban. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, sejak awal tahun 2022, diperkirakan ada 2,4 juta anak perempuan Afghanistan tidak bersekolah.
Pada awal Februari ini, Taliban menangkap seorang dosen perguruan tinggi, yaitu Ismail Mashal. Ia mengajar di salah satu universitas swasta. Sebelum Agustus 2021, universitas itu memiliki 450 mahasiswi. Mereka berkuliah di jurusan jurnalistik, teknik, ilmu komputer, dan ekonomi. Semua jurusan ini oleh Taliban dianggap tidak pantas untuk perempuan.
Mashal yang juga mantan wartawan ini kemudian menjadi pegiat pendidikan dan kesetaraan jender. Ia ditangkap ketika membagi-bagikan buku kepada masyarakat di pasar, termasuk perempuan. Dilansir dari BBC, saksi mata mengatakan, Mashal dipukuli dan ditendangi oleh anggota Taliban sebelum dibawa pergi.
”Mashal melakukan tindakan provokatif yang meresahkan dan mengacaukan masyarakat. Kelakuan dia tidak sesuai dengan nilai-nilai Emirat Islam Afghanistan,” kata Juru Bicara Kementerian Informasi Taliban Abdul Haq Hammad. Ia menambahkan, Mashal diperlakukan dengan baik di penjara.
China dan Iran yang bahkan memiliki hubungan dekat dengan Taliban pada Kamis (16/2/2023) mengeluarkan pernyataan bersama agar Taliban menghapus larangan bersekolah dan bekerja bagi perempuan. Iran juga memilih menjadi negara berlandaskan nilai-nilai keagamaan yang mereka praktikkan dengan membatasi cara perempuan tampil di muka umum. Akan tetapi, dari segi pendidikan dan pekerjaan, Iran tidak membatasi kiprah perempuan.
”Kedua belah pihak, China dan Iran, meminta penguasa Afghanistan menerapkan inklusivitas di segala bidang yang melibatkan perempuan dan semua anggota kelompok etnis minoritas,” demikian bunyi pernyataan itu. Presiden Iran Ebrahim Raisi diperkirakan mengunjungi Kabul dalam waktu dekat. (AP/REUTERS)