Taliban Bawa Perempuan Afghanistan Mundur Jauh ke Zaman Batu
Taliban, yang semula menjanjikan aturan moderat bagi kaum perempuan, melanggar janjinya. Kelompok itu melarang gadis Afghanistan mengecap pendidikan tinggi. Ini jelas kemunduran jauh bagi kaum perempuan Afghanistan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Harapan banyak gadis Afghanistan untuk mengecap pendidikan tinggi musnah sudah. Mulai Rabu (21/12/2022), Pemerintah Afghanistan yang dikendalikan kelompok Taliban melarang perempuan mengecap pendidikan tinggi. Larangan itu membuat para perempuan muda Afghanistan dihalangi tembok tinggi untuk meraih mimpi dan cita-cita mereka.
Keputusan tersebut diumumkan setelah rapat pemerintah. Surat larangan kuliah bagi gadis-gadis Afghanistan itu disampaikan Juru Bicara Kementerian Pendidikan Tinggi, Ziaullah Hashmi, melalui media sosial. Surat keputusan itu menyatakan, universitas swasta dan negeri agar menerapkan larangan tersebut sesegera mungkin dan memberitahu kementerian begitu larangan itu diberlakukan.
Larangan tersebut membuat ribuan atau bahkan jutaan gadis Afghanistan yang memendam mimpi tinggi, menangis. Berbagai cuplikan gambar di media sosial memperlihatkan para gadis Afghanistan menangis dan berpelukan satu sama lain, saling menguatkan. Ada cuplikan gambar yang memperlihatkan belasan gadis menangis di ruang kelas setelah mendengar larangan tersebut.
Rekaman lain memperlihatkan gadis-gadis Afghanistan dan sejumlah pemuda memrotes kebijakan itu di depan kampus. Di Fakultas Kedokteran Universitas Nangarhar, Jalalabad, mahasiswa dan dosen laki-laki ikut serta memprotes kebijakan Taliban. Seorang dosen secara terbuka menyatakan mundur dari kampusnya, menentang kebijakan tersebut.
“Apakah menjadi seorang gadis adalah kejahatan? Jika itu masalahnya, saya berharap saya bukan seorang gadis,” kata seorang mahasiswi jurusan jurnalistik dan komunikasi di Universitas Nangarhar.
Saat ini, ia tengah menempuh kuliah tahun ketiganya di kampus. Cita-citanya adalah menjadi jurnalis. Kini, mimpinya untuk sementara tertunda. “Saya tidak bisa memenuhi impian saya, harapan saya. Semuanya menghilang di depan mata saya dan saya tidak bisa berbuat apa-apa," katanya.
Walau begitu, dia belum kehilangan harapan. Dia masih memiliki tekad untuk bisa melanjutkan pendidikannya sampai selesai dengan cara apapun. “Insya Allah saya akan melanjutkan studi dengan cara apa pun. Saya memulai studi daring. Dan, jika hal itu tidak berhasil, saya harus meninggalkan negara ini dan pergi ke negara lain,” katanya lagi.
Saya tidak bisa memenuhi impian saya, harapan saya. Semuanya menghilang di depan mata saya dan saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Larangan masuk universitas bagi perempuan itu datang beberapa minggu setelah gadis- gadis Afghanistan mengikuti ujian kelulusan sekolah menengah mereka. Semula, rencana Taliban untuk melarang gadis Afghanistan mengecap pendidikan tinggi baru berupa informasi yang sumir.
Mundur jauh
Akan tetapi, gelagat itu kini menjadi kenyataan. Yang lebih menyesakkan, larangan itu diberlakukan saat seluruh kampus tengah menyelesaikan ujian akhir semester.
Fawzia Koofi, mantan anggota parlemen dan juga anggota tim perundingan damai Pemerintah Afghanistan, dalam cuitannya mengatakan, tindakan Taliban mengingatkannya pada kejadian tahun 1986 ketika mereka mengambil kendali pemerintahan. “Hari itu adalah mimpi buruk. Aku masih mengingat hari itu dengan kemarahan dan kesedihan. Siapa yang bertanggung jawab untuk membuat situasi negara ini kembali ke zaman batu?” tulis Koofi di Twitter.
Keputusan Taliban itu mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengecam keras keputusan itu sebagai pelanggaran janji dan tindakan yang meresahkan. “Sulit membayangkan bagaimana suatu negara dapat berkembang, bisa menghadapi semua tantangan yang dimilikinya, tanpa partisipasi aktif perempuan dan pendidikan,” kata Guterres.
Dalam konflik Afghanistan dan sepanjang Taliban berkuasa, perempuan menjadi pihak paling menderita. Tak ada kebebasan yang bisa dinikmati perempuan. Taliban melarang perempuan beraktivitas di luar rumah, kecuali seizin keluarga atau didampingi kerabat laki- laki. Jika melanggar, Taliban tak segan-segan menghukuman dengan kekerasan, “mengo- reksi” perilaku tersebut.
Dalam catatan UN Women, badan PBB yang menangani isu perempuan, sebanyak 11 juta perempuan dan anak perempuan Afghanistan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sementara Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menaksir Afghanistan kehilangan potensi produk domestik bruto (PDB) hingga 1 miliar dollar AS karena membatasi keterlibatan perempuan di masyarakat. Afghanistan berada di peringkat terakhir dalam daftar ketimpangan gender 2021. (Kompas.id, 15/12/2022)
Kekecewaan Guterres bisa dipahami. Saat merebut kembali kekuasaan dari pemerintah yang didukung oleh pasukan sekutu, Taliban sempat menjanjikan aturan yang lebih moderat serta hak-hak perempuan dan minoritas. Akan tetapi, di lapangan, yang terjadi sebaliknya.
Mereka telah melarang anak perempuan dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam menjalani proses pendidikan, membatasi perempuan dari sebagian besar pekerjaan, dan melarang perempuan datang ke taman, pusat kebugaran, dan pasar malam.
Pelapor Khusus PBB untuk Afghanistan Richard Bennet menyebut tindakan Taliban sebagai pola segregasi gender dan membuat perempuan tak memiliki kedudukan dalam struktur masyarakat.
Padahal, sejatinya, gadis-gadis Afghanistan memiliki peluang yang besar untuk sukses, tidak hanya di level nasional, akan tetapi internasional. Lihat saja dengan prestasi yang ditorehkan tim robotika perempuan Afghanistan, The Afghan Dreamers. Mereka menduduki peringkat kedua dalam kompetisi robot internasional di Qatar, Maret 2022.
Kini, larangan itu membuat masa depan gadis Afghanistan suram. Mengutip Koofi, perempuan Afghanistan dibawa kembali ke zaman batu. (AP/AFP)