Perbudakan Meningkat, Kerja Sama Pemerintah-Bisnis Kian Penting
Perbudakan modern di dunia meningkat tajam pascakrisis Covid-19 dan krisis ekonomi. Pemerintah dan komunitas bisnis diharapkan membuat langkah nyata untuk memeranginya.
Oleh
SUTTA DHARMASAPUTRA DARI ADELAIDE, AUSTRALIA
·4 menit baca
ADELAIDE, KOMPAS — Perbudakan modern di dunia semakin meningkat pascakrisis pandemi Covid-19, krisis ekonomi, dan konflik bersenjata. Kerja sama pemerintah dan komunitas bisnis pun menjadi semakin penting agar upaya memerangi perbudakan modern, perdagangan orang, dan kejahatan transnasional menjadi lebih nyata, bukan sekadar komitmen.
Peningkatan perbudakan modern pascakrisis diprediksi mencapai 5-10 juta orang. Data tentang perbudakan modern pada tahun 2021 tercatat mencapai 49,6 juta perbudakan modern. Perbudakan modern di Asia dan Pasifik diprediksi sekitar 65 persen, Afrika 14 persen, Eropa dan Asia Tengah 10 persen, Amerika 7 persen, dan negara-negara Arab 4 persen.
Persoalan tersebut mengemuka dalam Forum Bisnis dan Pemerintah (Government and Business Forum/GABF) Ke-2, rangkaian dari Bali Process Ministerial Conference (Bali Process) ke-8, yang berlangsung dua hari di Adelaide Convention Center, Adelaide, Australia, mulai hari ini, Kamis (9/2/2023).
Forum dipimpin oleh Andrew Forrest, pendiri dan Ketua Fortescue Future Industries selaku Ketua Bersama dari Australia, dan Garibaldi Thohir, Presiden Direktur PT Adaro Energy Indonesia Tbk selaku Ketua Bersama dari Indonesia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly hadir dalam forum itu mewakili Pemerintah Indonesia dan memberikan pengantar.
Chevaan Daniel, Direktur Eksekutif Grup The Capital Maharaja Organization, delegasi dari Sri Lanka, dalam forum juga memaparkan bahwa dalam tiga tahun terakhir kasus eksploitasi pekerja di Sri Langka meningkat pascakrisis Covid-19 dan ekonomi yang terus melambat. Hal itu terjadi karena banyak pekerja dirumahkan dan kesulitan mendapat pekerjaan di dalam negeri sehingga mencari kerja ke luar negeri secara ilegal.
Grace Forrest, pendiri dan Direktur Walk Free, menunjukkan data bahwa pekerja migran memang memiliki risiko lebih tinggi daripada pekerja nonmigran. Perbandingan prevalensi kerja paksa antara pekerja non-migran dan migran adalah 13,8 berbanding 4,1. Nasreen Sheikh, pendiri Empowerment Collective yang juga pernah menjadi korban perbudakan di Nepal, menyampaikan pengalaman pedih yang pernah dialaminya saat dia masih anak-anak.
Sejak masih anak-anak, Nasreen harus bekerja. Ayahnya, seorang tukang las di New Delhi, hanya mendapatkan upah 6-7 dollar AS atau sekitar Rp 90.600-Rp 105.700 per bulan. Dia tinggal di salah satu desa yang tidak terdokumentasikan sehingga warga di desanya saat lahir atau meninggal pun tak tercatat.
”Saya sendiri tidak tahu, berapa usia saya secara tepat,” ujar Nasreen.
Nasreen menuturkan, dirinya bekerja 12-15 jam sehari dan tinggal di ruangan yang terkunci bersama enam rekannya, dua di antaranya adalah anak-anak. Jika tidak menyelesaikan pekerjaan, mereka diancam tidak mendapat makanan dan dipaksa bekerja sampai malam hingga tertidur di dekat mesin.
Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan kebanyakan anak-anak di negara maju yang bisa membeli berbagai kebutuhan dengan mudah. Menurut Nasreen, jutaan orang seperti dirinya menginginkan pemerintah dan bisnis membuat sistem yang lebih baik di dunia ini, dengan harapan para pekerja yang hidupnya sangat menderita bisa merasakan ”menjadi manusia”.
Jutaan orang menginginkan pemerintah dan bisnis membuat sistem yang lebih baik di dunia ini, dengan harapan para pekerja yang hidupnya sangat menderita bisa merasakan ”menjadi manusia ”.
Jutaan orang perempuan, jutaan orang seperti saya, menginginkan sistem yang lebih baik yang membuat kami seperti manusia," seru Nasreen.
Dia percaya, banyak orang di belakangnya dapat hidup ke tingkat yang lebih baik. Nasreen menyebut Forum Bisnis dan Pemerintah (GABF) dapat menginspirasi para pemimpin bisnis untuk membangun nilai-nilai dari bisnisnya bukan sekadar mencari keuntungan semata.
Menurut Garibaldi Thohir, atau biasa disapa Boy Thohir, komunitas bisnis memang harus terlibat dalam upaya memerangi perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja. Sebagai ketua bersama, dia pun merencanakan akan segera menindaklanjuti konferensi ini dengan kegiatan yang melibatkan pebisnis anak muda dan perusahaan digital ekonomi pada semester kedua tahun 2023.
”Saya yakin kehadiran anak muda akan menambah bobot upaya kita,” kata Boy saat memimpin forum bisnis.
Ia menambahkan, Forum Bisnis dan Pemerintah (GABF) Ke-2 ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran kita dan membuat dunia menjadi lebih sejahtera.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa Indonesia mendukung penuh kerja sama antara pemerintah dan bisnis dalam memerangi kasus-kasus perdagangan manusia, kejahatan transnasional yang terus meningkat.
Dicontohkan, pengungsi Rohingya yang datang belakangan ini ke Indonesia bukan lagi sebagai pengungsi, tetapi mereka lari untuk mencari pekerjaan di perkebunan Malaysia. Mereka hanya menjadikan Indonesia sebagai tempat tansit dan ada pihak-pihak yang mengorganisasi.
Penggunaan internet juga membuat kasus-kasus penipuan tenaga kerja semakin meningkat. Melalui internet, banyak pihak menawarkan pekerjaan di negara tertentu kepada warga dengan menjadi tenaga kerja ilegal, tetapi kemudian dijebak. Hal ini pun terjadi karena lapangan kerja yang sedikit.
Karena itu, Pemerintah Indonesia membuat berbagai peraturan yang memudahkan untuk penciptaan lapangan pekerja formal, dengan memudahkan izin berusaha, termasuk usaha ultra, mikro, kecil, dan menengah, serta memberi perlindungan tenaga kerja. Kemenkumham juga membuat kebijakan terkait bisnis dan HAM.
”Kita mendorong pelaku-pelaku usaha untuk juga memperhatikan HAM,” kata Yasonna.
Bali Process adalah forum tingkat menteri dua tahunan untuk membahas berbagai informasi, kebijakan, dan kerja sama praktis di kawasan dalam mengatasi penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan transnasional. Bali Process Ministerial Conference (BPMC) didirikan oleh Indonesia dan Australia tahun 2002. Kedua negara menjadi ketua bersama.
Pada Konferensi Tingkat Menteri Proses Bali Keenam, Maret 2016, para menteri mengakui perlunya melibatkan sektor swasta untuk memerangi perdagangan manusia, kerja paksa, dan kejahatan transnasional.