Sebagian PRT diabaikan perannya dalam keluarga, bahkan diperlakukan sebagai ”budak” oleh sesama manusia lainya. PRT yang diksinya masih sering disebut dengan ”pembantu” menempatkan mereka dalam posisi tertindas.
Oleh
ERIKA KURNIA DAN FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
HUMAS POLDA METRO JAYA
Konferensi pers kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya di Jakarta, Rabu (14/12/2022). Delapan orang yang terdiri dari tiga anggota keluarga dan lima PRT menjadi tersangka karena kekerasan yang dilakukan terhadap PRT berinisial SHK (23) asal Pemalang, Jawa Tengah.
Kasus penyiksaan oleh majikan terhadap pekerja rumah tangga di perkotaan masih saja berulang. Seperti gumpalan salju yang bergelinding menuruni lereng, fenomena ini seakang tak terbendung. Pekerja yang kerap termarjinalkan di perkotaan ini pun semakin banyak menjadi korban.
Mengutip teori bowling alone yang dicetuskan Robert David Putnam, ilmuwan politik dan kebijakan publik asal Amerika Serikat, masyarakat modern layaknya bola boling yang menggelinding sendirian. Kasus penganiayaan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) menjadi contoh telah terjadi erosi kepedulian sosial masyarakat kita terhadap sesama individu.
Teori ini tecermin dalam kasus PRT yang mengalami penganiayaan berat oleh keluarga di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Laporan kasus itu diterima Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 9 Desember 2022 atau dua hari setelah PRT perempuan berinisial SHK (23) dipulangkan ke kampung halamannya di Pemalang, Jawa Tengah.
SHK diantar tenaga penyalurnya pulang dalam kondisi tidak berdaya. Berdasarkan hasil visum dokter di rumah sakit, ia mengalami patah tulang tertutup pada tulang tempurung kepala dan lebam di kedua mata akibat benda tumpul. Luka juga didapati di bibir, atas leher, payudara, perut, kedua tangan, pinggul, dan kedua tungkai.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah SK, laki-laki berusia 68 tahun yang merupakan majikan, dan MK, perempuan 64 tahun istri SK. MK berperan juga memerintah lima PRT lain yang turut menjadi tersangka.
PRT lainnya yang terlibat masing-masing berinisial Y (35), ST (25), PA (19), IY (38), dan O (48). Selain itu, JS (31), anak perempuan dari pasangan SK dan MK, juga menjadi tersangka. Delapan orang yang tinggal dalam satu apartemen itu melakukan kekerasan terhadap SHK yang bekerja sejak Maret 2022.
Mereka kini dijerat Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 170 atau Pasal 315 dan atau Pasal 44 dan atau Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Kedelapan tersangka ini terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Bentuk kekerasan yang dilakukan tersangka pelaku terhadap korban antara lain memukul, menampar, mencakar, menyundut benda panas, menyiram air panas, menyuruh korban memakan kotoran anjing peliharaan, sampai mengikat dengan rantai dan memborgol SHK di kandang anjing.
”Dari keterangan korban kepada penyidik dan juga hasil pemeriksaan terhadap tersangka, kasus ini berawal pada bulan Juli. Korban ketahuan oleh MK menggunakan celana dalam miliknya sehingga MK marah besar pada korban, kemudian minta HP korban. Setelah itu, korban sering mengalami kekerasan secara fisik,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Tertindas
Kasus ini, menurut Devie Rahmawati, pengamat sosial Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa sebagian PRT diabaikan perannya dalam keluarga, bahkan diperlakukan sebagai ”budak” oleh sesama manusia lainya. PRT yang diksinya masih sering disebut dengan ”pembantu” menempatkan mereka dalam posisi tertindas baik secara sosial, mental, maupun di hadapan hukum formal.
”Mereka bowling alone menghadapi kondisi yang harus mereka terima, demi menyokong keluarga. Secara empiris di lapangan, hadir oknum-oknum agen yang menyalurkan PRT ke majikan. Namun, hal tersebut bukan justifikasi bahwa setiap majikan menjadi ’pemilik hidup’ dari para PRT sehingga memiliki keleluasaan untuk melakukan apa pun, termasuk kekerasan,” ujar Devie dalam keterangannya.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Nyoman Trianawati (Nana) memberi tahu pekerja rumah tangga barunya, Siti dan Ujang, berbagai pekerjaan yang harus dilakukan di rumahnya.
Legitimasi perlindungan
Devie berharap Rancangan UU Perlindungan PRT yang telah mandek selama lebih dari 17 tahun segera diselesaikan untuk menghentikan bentuk perbudakan modern ini. Hal ini setali tiga uang dengan harapan Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Kepresidenan Erlinda yang hadir dalam konferensi pers kasus SHK di Polda Metro Jaya.
Kasus ini menunjukkan bahwa sebagian PRT diabaikan perannya dalam keluarga bahkan diperlakukan sebagai ’budak’ oleh sesama manusia lainya. PRT yang diksinya masih sering disebut dengan ’pembantu’ menempatkan mereka dalam posisi tertindas baik secara sosial, mental, maupun di hadapan hukum formal.
Ia menilai, pemerintah pusat telah melaksanakan tugas untuk merancang UU Perlindungan PRT. DPR melalui badan legislatif dan partai-partai fraksi yang mewakili itu juga disebut sangat mendukung rencana pembuatan aturan tersebut.
”Namun, memang dibutuhkan kajian lebih dalam. Dibutuhkan banyak hal untuk bagaimana regulasi yang sangat bagus itu tidak menjadi backfire untuk banyak hal. Semoga kasus ini menjadi satu trigger untuk para anggota Dewan di DPR bisa menyikapi hal ini sebagai momentum,” tuturnya.
Nasib PRT domestik tidak lebih baik dari pekerja migran. Mereka sama-sama menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan tinggal dalam kondisi hidup tidak layak.
Hal itu seperti fenomena gunung es, tampak sedikit di permukaan dan lebih banyak tersembunyi. Mirisnya, kekerasan dan kondisi tidak layak baru terekspos ketika mereka sudah terluka sedemikian parah, berhasil kabur, terjerat kasus, ataupun telah meninggal.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat bahwa mayoritas pekerja domestik dipekerjakan tanpa kontrak tertulis. Hal itu membuat majikan atau pemberi kerja ”terbebas” dari kewajiban mendaftarkan pekerjanya pada program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek).
Survei yang dilakukan Jala PRT di enam kota terhadap 4.296 PRT pada tahun 2019 menunjukkan, 89 persen PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sementara 99 persen PRT sama sekali tidak memiliki Jamsostek.