Akankah AI bakal menggantikan manusia? Para ahli memperkirakan jaringan kecerdasan buatan akan memperkuat efektivitas manusia. Penyebarannya terletak di tangan manusia.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Kecerdasan buatan atau dikenal dengan AI (artificial intelligence) menghadirkan kebaruan dan kemajuan luar biasa dalam rutinitas manusia. Sedemikian canggihnya, ”komputer-komputer pintar” dapat dengan mudah meniru dan menjalankan tugas manusia, terutama pekerjaan-pekerjaan rutin.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, program komputer yang menggunakan kecerdasan buatan terbukti dapat mengidentifikasi kanker otak dan payudara dari pemindaian rutin dengan lebih akurat daripada manusia. ”Berkat kecerdasan buatan, kami akan dapat mengidentifikasi pasien mana yang dapat memperoleh manfaat dari pengobatan yang lebih singkat,” kata Fabrice Andre, ahli onkologi dari institut kanker Gustave Roussy, Perancis, kepada kantor berita AFP.
Kemajuan itu berdampak positif dalam pendekatan kesehatan sehingga efek samping bagi pasien dapat diminimalkan dan beban pada sistem kesehatan pun berkurang.
Akan tetapi, pertanyaan yang kerap muncul ialah akankah AI bakal menggantikan manusia? Kekhawatirkan itu beralasan karena AI kian berkembang dan imajinasi manusia membawa pada gambaran pada humanoid yang ”mampu merasa”. Bahkan, karena kompleksitas data yang dimilikinya, ia pun mampu menjalankan ”kehendak bebas”. Setidaknya, itu yang tergambar dalam sejumlah film.
Para ahli memperkirakan jaringan kecerdasan buatan akan memperkuat efektivitas manusia. Komputer cerdas mungkin bakal menyamai atau bahkan melampaui kemampuan manusia mengambil keputusan rumit, penalaran dan pembelajaran, analitik dan pengenalan pola, ketajaman visual, pengenalan ucapan, dan penerjemahan bahasa.
Para investor kemungkinan akan meraup keuntungan lebih besar karena industri akan lebih padat teknologi daripada manusia. Peran wartawan kemungkinan akan ”lebih ringan” karena sebagian pekerjaan bisa digantikan oleh AI. Militer akan lebih banyak menghemat tentara karena ada drone atau pasukan robot. Saat ini, dunia pun telah disuguhi mobil pintar yang mampu melaju secara otonom. Ada gedung pintar dan teknologi pertanian dan proses bisnis yang kian menghemat waktu, uang, dan menghindarkan manusia dari bahaya. Kemajuan itu memperlihatkan ancaman pada otonomi dan peran manusia.
Sejumlah ahli, sebagaimana muncul dalam kajian Pusat Penelitian Pew (Desember, 2018) sempat memperbincangkan kebangkitkan kecerdasan buatan itu. Dalam riset yang dirilis wadah pemikir berbasis di Washington, sejumlah ahli berpendapat AI akan membuat manusia lebih baik, tetapi sebagian ahli khawatir bahwa AI akan memengaruhi apa artinya menjadi manusia. Ada keprihatinan tentang dampak jangka panjang kehadiran AI pada unsur-unsur penting manusia.
Tentang diskusi itu, menarik mencecapi pendapat Simon Biggs, profesor seni interdisipliner di University of Edinburgh. Dalam riset itu ia mengatakan, AI memang akan berfungsi untuk meningkatkan kemampuan manusia. Namun, menurut dia, manusia memiliki ciri kompetitif sekaligus malas. Manusia juga berempati, berpikiran komunitas, dan rela berkorban. Manusia memiliki banyak atribut lainnya. Ahli lain, William Uricchio, profesor pada studi media komparatif di MIT, berkomentar seperti teknologi sebelumnya, AI bersifat agnostik. Penyebarannya terletak di tangan manusia.
Artinya, jika diibaratkan senapan, kunci pengaman dan pelatuknya ada di ujung jari penembak. AI ada di ujung jari dan kesadaran manusia. Kesadaran pada sejarah, pengalaman, imajinasi, rasa, etika, harapan dan impian adalah khas manusia. Hal itu pula yang akan menjadi pembentuk masa depan manusia.