Terlepas dari berbagai kisah pilu kehidupan Pangeran Harry, mari simak kembali alasan ia dan istrinya menyedot perhatian global: gugatan melawan rasisme tersistem.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Cerita Pangeran Harry dari Inggris dan istrinya, Meghan Markle, menjadi makanan sehari-hari hampir semua masyarakat dunia akhir-akhir ini. Setiap kali membuka peremban, di situs pencari apa pun—Yahoo, Google, dan Bing—foto mereka selalu muncul. Sebelumnya ketika masih berada di Inggris dan kemudian pindah ke Amerika Serikat, mereka muncul di tabloid dan situs-situs gosip. Sejak Harry mengeluarkan buku biografinya yang berjudul Spare, ia dan istrinya bagaikan lubang hitam yang mengisap paksa perhatian warganet sehingga tidak bisa kabur dari tampilan pemberitaan mereka yang sekarang merambah ke media arus utama.
Di dalam redaksi media arus utama sendiri ada diskusi, apakah kisah Harry dan Meghan ini adalah urusan rumah tangga pribadi yang tidak masuk ranah jurnalistik atau sebaliknya? Pertanyaan ini mungkin terjawab ketika muncul tuduhan bahwa keluarga Kerajaan Inggris melakukan perbuatan yang rasis terhadap Meghan.
Ini masalah yang sistemik di salah satu institusi besar di dunia. Bagaimanapun, keluarga Kerajaan Inggris bukan keluarga biasa, melainkan sebuah lembaga yang memegang kekuatan diplomasi lunak di luar pemerintahan Inggris. Artinya, dinamika keluarga ini menjadi ranah jurnalistik.
Oleh sebab itu, terlepas dari berbagai kisah pribadi yang Harry tuangkan di biografinya, media arus utama hendaknya fokus kepada masalah inti dari alasan ia dan Meghan memutuskan mundur dari tugas-tugas kerajaan dan meninggalkan Inggris: rasisme. Ia dan Meghan mengklaim perlakuan Istana Buckingham kepada Meghan berbeda karena perempuan yang berasal dari Amerika Serikat itu berasal dari campuran kulit putih dengan kulit hitam.
Wawancara Meghan dengan berbagai media, termasuk dengan pembawa acara televisi AS, Oprah Winfrey, dan kemudian serial dokumenter pasangan tersebut yang ditayangkan Netflix menyebutkan, keluarga kerajaan mempermasalahkan apabila anak Harry dan Meghan lahir berkulit gelap. Tabloid Inggris yang terkenal kejam terhadap anggota keluarga kerajaan juga mencerca Meghan. Bedanya, cercaan terhadap Meghan banyak berlandaskan bias terhadap masyarakat kulit berwarna.
Harry mengeluhkan Istana Buckingham tidak pernah mengeluarkan pernyataan membela Meghan. Memang, keluarga Kerajaan Inggris menganut prinsip ”dilarang mengeluh dan dilarang menjelaskan”. Namun, Harry ada benarnya. Rasisme dan segala jenis diskriminasi adalah masalah serius. Tidak boleh ada pembenaran mengenai perilaku rasis, apalagi dibiarkan menjamur di tabloid.
Ketika pasangan ini memutuskan mengundurkan diri dari kewajiban mereka dan pindah ke AS, masyarakat bersimpati. Mereka dinilai memiliki prinsip tidak akan mengabdi kepada lembaga yang jelas tidak memandang anggotanya secara manusiawi hanya karena memiliki warna kulit berbeda.
Rasime masih menjadi masalah di Inggris. Sekarang, mungkin masyarakat global melihat Pemerintah Inggris cenderung inklusif karena dipimpin oleh perdana menteri yang keturunan India dan berasal dari keluarga imigran. Selama bertahun-tahun, politikus keturunan imigran juga banyak yang berkiprah di kabinet.
Namun, kenyataan di masyarakat masih jauh dari ideal. Perguruan tinggi Inggris yang terkenal sangat bermutu ternyata juga menyimpan perilaku rasisme sistemik. Surat kabar The Guardian edisi 4 Februari 2019 menerbitkan hasil penelitian Asosiasi Universitas dan Akademi (UCU) yang beranggotakan 120.000 dosen dan tenaga kependidikan di perguruan tinggi.
Terungkap bahwa dari total dosen aktif perguruan tinggi hanya 0,1 persen merupakan perempuan berkulit hitam. Adapun 68 persen dosen adalah laki-laki berkulit putih. Para perempuan dosen dari etnis minoritas ini juga mengatakan mereka mengalami diskriminasi di lembaga pendidikan tempat mereka bekerja, mulai dari halangan meniti karier hingga ujaran kebencian. Ini baru contoh di dunia akademik yang semestinya memahami perbedaan dan kemajemukan adalah keniscayaan.
Kerajaan dan Pemerintah Inggris juga digugat oleh rakyatnya untuk mengakui bahwa kejayaan mereka dilandasi kebijakan serta tindakan rasis dan diskriminatif. Sejarah Inggris berhiaskan kekelaman era penjajahan dan penindasan di negara-negara koloni yang merupakan sepertiga dari total negara di dunia.
Di AS, Harry dan Meghan dielu-elukan sebagai pejuang hak asasi manusia. Yayasan Robert F Kennedy pada Desember 2022 memberi penghargaan kepada mereka karena keberanian melawan rasisme sistemik di salah satu institusi termapan di dunia. Melihat peristiwa ini, patut jika kita kembali melihat gugatan rasisme di keluarga kerajaan. Ini mengingat konsep keluarga kerajaan sendiri sudah diskriminatif, terlepas mereka menganut prinsip imperialisme dan kapitalisme. Adanya keluarga kerajaan apa pun berarti menempatkan satu keluarga beserta keturunannya lebih tinggi derajatnya dari masyarakat.
Perkataan Harry dan Meghan mengenai keinginan mereka menghapus rasisme di keluarga kerajaan ini multitafsir. Monarki bukan pemerintahan. Khusus di pemerintahan, aturannya jelas dengan undang-undang kesetaraan. Apabila ada individu ataupun organisasi yang melanggar, prosedur gugatan hukumnya terstruktur.
Apalagi, keluarga Kerajaan Inggris isinya orang-orang yang itu-itu saja. Jika rasisme dihapus dari keluarga Kerajaan Inggris, sebagian warganet menafsirkan monarki juga harus dibubarkan karena konsep keluarga kerajaan ialah segelintir orang yang menganggap atau ditempatkan di derajat lebih atas dari mayoritas anggota masyarakat. Menghilangkan rasisme di keluarga kerajaan berarti menjadikan anggotanya setara dengan masyarakat alias tidak ada lagi pangeran, putri, dan lain-lain.
Harry menjawab pertanyaan tersebut di bukunya, yaitu ia menginginkan keluarganya meminta maaf kepada Meghan dan ia tidak ingin melepas gelar kebangsawanannya. Dalam hal ini, ia menarik isu yang lebih besar dan menyangkut harkat hidup orang banyak kembali ke ranah pribadinya.
Warganet di Inggris pun mengutarakan kekecewaan mereka di media sosial. Jason Okundaye, pengamat sosial dan kolumnis di surat kabar The Guardian, mencuit di Twitter. ”Pada intinya, perjuangan anti-rasisme pasangan ini hanya sebatas demi kepentingan mereka sendiri. Bukan demi kepentingan masyarakat yang mengalami rasisme nyata di kehidupan sehari-hari karena Harry dan istrinya tidak siap untuk melepaskan diri dari institusi monarki.”