Konflik Geopolitik Intensifkan Integrasi Ekonomi Asia
“Segala hal menjadi semakin lebih strategis akhir-akhir ini. Setiap pengumuman dan tahapan kerja sama ekonomi dan perdagangan lebih terkait geopolitik," kata Jayant Menon dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Secara alamiah integasi ekonomi Asia terus menggelinding tanpa henti. Hanya saja konflik geopolitik antara AS dan China semakin mengintensifkan integrasi. Apapun pendorongnya, integrasi berefek sangat positif pada pertumbuhan di Asia yang masih memiliki banyak penduduk miskin. Integrasi ekonomi juga diyakini menjadi bemper kuat bagi Asia saat menghadapi resesi yang bersumber dari Barat.
Integrasi ekonomi Asia pada dasarnya berlangsung alamiah, menurut Karel Eloot, mitra senior McKinsey dari biro Shanghai yang juga penulis “Future of Asia”, 1 Juli 2019. Pemicu integrasi, kata Eloot, adalah perbedaan karakteristik kemajuan ekonomi di Asia yang justru saling melengkapi. Dorongan kekuatan geopolitik, walau akarnya mungkin ada, tidak terlalu kuat atau tidak kentara.
Pertama, kata Eloot, usia para pekerja di negara-negara Asia yang lebih maju seperti Jepang sudah menua. Relokasi industri sudah terjadi sejak 1980-an dari Jepang ke Asia. China segera menyusul posisi mirip Jepang. Sebaliknya negara-negara Asia lainnya dan India sebaliknya, seperti sebelumnya, di depan akan memasok lagi 400 juta pekerja usia muda hingga dalam dua dekade mendatang.
Faktor ini melanjutkan dorongan relokasi industri dari Jepang, China, yang mengandalkan upah murah. Hal serupa itu telah berlangsung sejak lama dan juga dilakukan Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong dan Singapura dengan dengan alasan serupa.
Hal kedua, negara berkembang Asia dan pinggiran Asia serta India mencatatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, yang sudah melampaui pertumbuhan ekonomi China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Pasar baru tercipta dan mengundang investasi dari Asia dengan perekonomian yang lebih maju.
Faktor ketiga, negara maju Asia lebih fokus mendalami sektor jasa dan inovasi besar-besaran. Asia yang lebih maju kini bertengger pada peringkat tinggi dalam indeks inovasi global. Faktor ini mendorong negara maju Asia merekolasi industri berbasis padat karya dan fokus pada jasa dan inovasi.
Pola terbang angsa liar
Inilah juga yang turut membentuk salah satu metode pembangunan ekonomi di Asia, yang secara historis disebut berpola wild flying geese (pola terbang angsa liar), dimulai oleh Jepang. Apakah pola ini menghilangkan pola pembangunan yang pernah dirancang negara-negara Asia itu sendiri seperti Indonesia dengan Repelita di era Orde Baru? Ini hal lain yang menarik didalami. Ada dugaan, rancangan pembangunan ekonomi sendiri tenggelam.
Baca juga: ”Decoupling” Barat terhadap China Mirip Aksi Bunuh Diri Ekonomi
Lepas dari itu, pola terbang angsa liar di Asia ini mengambil teori yang diperkenalkan ekonom Jepang, Akamatsu Kaname (1896-1974), pada 1930-an. Pola pembangunan tersebut meniru pola terbang angsa-angsa liar yang mengikuti angsa paling depan.
Dalam aplikasinya berdasarkan teori ini, negara yang belum berkembang awalnya menjalankan kebijakan industrialisasi berbasis padat karya (labour intensive) dengan meniru langkah awal negara maju. Pertama, produksi dibuat untuk kebutuhan domestik tetapi kemudian mulai mengekspor setelah industri tumbuh kuat.
Namun, awalnya produksi bersifat murah, berbentuk kasar tanpa banyak sentuhan dan sederhana tetapi kualitasnya kemudian secara bertahap meningkat. Prosedur serupa itu diulang dan diulang lagi oleh beberapa negara yang muncul kemudian dengan kebijakan serupa. Semua negara lalu menuju pada proses pembangunan ekonomi yang cepat.
Pasca-PD II, Jepang menjalankan kebijakan industrialisasi yang dirancang berbasis sunrise industries yang diadopsi dari negara maju. Sektor manufaktur menjadi pilihan awal. Kebijakan ini mendapatkan dukungan kuat dari negara. Industri tersebut kemudian menua dan kehilangan keunggulan komparatif dan disebut sunset industries. Subsidi pun dihentikan lalu sunset industries dipindahkan ke negara-negara kurang berkembang.
Pada dekade 1950-an dan 1960-an ada ide agar Jepang menggunakan pola itu untuk mendukung pembangunan Asia Raya. Teori Kaname yang disebut gankoo keitai hattenron (flying geese pattern of development) dikenal meluas. Akan tetapi teori ini sempat bernuansa negatif.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Asia Pasifik
Alasannya, selama PD II Jepang memakai teori tersebut untuk melegitimasi kemakmuran bersama Asia Raya (dai tooa kyooeiken). Teori dan nama Akatmasu sejak itu rusak tetapi namanya layak dipulihkan (The Theory of the Flying Geese Pattern of Development and Its Interpretations, oleh Pekka Korhonen, Journal of Peace Research, Vol. 31, No. 1, Februari 1994).
Memunculkan spesialisasi industri
Namun lepas dari kisah buruk Jepang pada PD II, kenyataannya negara samurai adalah pemimpin pertama dalam pola pembangunan angsa liar terbang pasca-PD II. Ini diikuti kemudian oleh Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura dan kini oleh China.
Hasil dari pola tersebut adalah tampilnya Asia sebagai basis manufaktur, sekaligus sebagai investor dan inovator. Asia kini menjelma menjadi mesin pertumbuhan global. Tahun demi tahun misalnya, pangsa pasar Asia dalam ekspor dan impor global terus meningkat.
Akan tetapi pangsa Asia dalam ekspor-impor global belum melebihi 50 persen. Eropa dan Amerika utara masih menguasai lebih dari 50 persen perdagangan dunia. Sementara itu jumlah penduduk Asia jauh melebihi jumlah penduduk Eropa dan North America Free Trade Area (NAFTA), yang kini berubah nama menjadi United States-Mexico-Canada-Agreement (USMCA).
Artinya masih ada potensi besar bagi Asia untuk terus tumbuh. Bahkan kuat diyakini, Asia pasti akan menyalip Eropa dan Amerika utara dalam perdagangan dunia dan kepemilikan kue ekonomi global.
Potensi besar itu terlihat dari hal unik dan menarik dari pola pembangunan Asia. Hal yang muncul bukan hanya pertumbuhan ekonomi dan pola terbang angsa liar. Di balik itu terjadi peningkatan perdagangan intra-Asia menjadi sebesar 58,5 persen pada 2020 dibandingkan dengan jumlah total ekspor Asia ke seluruh dunia (ADB, 9 Februari 2022).
Baca juga: Orientasi Lokal Topang Daya Tahan Industri RI
Asia menjadi basis produksi dengan saling mengekspor di dalamnya dan ekspor keluar dari Asia. Porsi perdagangan intra-Asia pada 2020 itu lebih meningkat lagi dari 51,9 persen pada 2006. Porsi pada 2006 itu jauh lebih tinggi dari 42,7 persen pada 1990 (IMF, 6 Februari 2008 “IMF Survey: Intra-regional Trade Key to Asia's Export Boom” oleh Paul Gruenwald dan Masahiro Hori, Departemen Asia Pasifik IMF).
IMF menelisik lebih dalam dan menemukan ekonomi Asia memiliki keunikan. Ada pola spesialisasi produksi yang sedang terjadi di balik integrasi ekonomi. Hal ini terlihat dari perdagangan intra-industri di Asia yang juga meningkat. “Perdagangan intra-industri di Asia juga meningkat,” demikian Gruenwald dan Hori. Ini merujuk pada persebaran pembuatan komponen produk di Asia, yang kemudian dirakit di satu tempat, seperti otomotif.
“Trend ini mengikuti pola serupa di negara-negara maju. Akan tetapi motivasi integrasi ekonomi di Asia agak berbeda. Perdagangan intra-industri di Asia pada dasarnya merupakan gambaran spesialisasi yang memanfaatkan perbedaan keuntungan komparatif dan membentuk jaringan produksi di Asia dengan turut menargetkan pasar internasional,” lanjut Gruenwald dan Hori.
Intergrasi Asia sekarang ini, menurut IMF, didorong oleh China yang berperan sebagai hub. Dengan kata lain, China telah menjadi hub ekspor Asia untuk dunia dan kawasan Asia sendiri. Integrasi meningkatkan posisi China sebagai tujuan perdagangan intra-Asia dan mengekspornya ke seluruh dunia.
Efek decoupling
Dengan kata lain, China kini melanjutkan peran sebagai pemimpin angsa liar terbang dengan antusiasme yang lebih tinggi dan program lebih intensif. Antusiasme China semakin intensif lagi dengan adanya upaya pembendungan Barat terhadap perkembangan ekonomi China.
Salah satu upaya pembendungan itu adalah lewat langkah AS yang menggalang kerja sama ekonomi dengan beberapa negara di Asia. China membalasnya dengan melakukan hal serupa. China bahkan berniat mendaftar untuk masuk Trans-Pacific Partnership (TPP), yang telah ditinggalkan AS dan membentuk Indo-Pacific Economic Framework (IPEF).
Baca juga: RCEP dan Poros Perdagangan Asia
China bergerak lebih cepat termasuk dengan mendorong Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang pada dasar merupakan ide asli Indonesia. Lewat RCEP China telah meneken kesepakatan dengan 13 negara lainnya sebagaimana disebutkan di situs Kementerian Perdagangan China, Selasa, 4 Januari 2023. Kesepakatan itu antara lain bertujuan menurunkan tarif perdagangan.
Para pejabat China termasuk Menlu Wang Yi bahkan gencar menawarkan investasi. “China akan mendorong korporasi China menjadikan ASEAN sebagai tujuan utama investasi,” demikian Menlu Wang, Reuters, 11 Juli 2022. ASEAN kini menjadi mitra dagang terbesar China demikian juga sebaliknya. Provinsi-provinsi di China yang berbatasan dengan ASEAN misalnya, kini gencar menjalin kerja sama ekonomi masing-masing dengan ASEAN.
Kerja sama China dengan Asia keseluruhan, menurut para ekonom IMF, 19 November 2021, akan mempercepat penurunan tarif dan juga hambatan tarif yang masih banyak ditemukan. Asia sudah tergolong cepat soal penurunan tarif tetapi belum memiliki tarif serendah Barat. “Jadi, jaringan industrialisasi dan inovasi di Asia akan lebih intensif dan lebih dalam pada beberapa dekade mendatang,” kata Karel Eloot.
Asia tampaknya menikmati sepak terjang China ini. Sebagaimana dikutip The Global Times, 19 Desember. Setidaknya Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong jengkel dengan upaya decoupling oleh AS, yang bisa mengurang kerja sama ekonomi bahkan bisa mengarah pada dunia yang tidak stabil. Asia akan lebih tertarik dengan China karena menilai AS hanya tertarik dengan kepentingan politiknya sendiri dan menjadi negara-negara lain sebagai alat.
Sebaliknya China dikenal kuat soal visi dan strategi pembangunan. Visi diterjemahkan dengan cepat."China harus berpikir keras untuk mengatasi decoupling,” kata Profesor Alexander Vuving dari Daniel K. Inouye Asia-Pacific Centre for Security Studies, Hawai (Bangkok Post, 10 November 2022).
Baca juga: ASEAN-China : Potensi Besar, Tantangan Besar
Berpikir strategis dan berbuat, itulah hal yang terlihat dari langkah-langkah China. “Segala hal menjadi semakin lebih strategis akhir-akhir ini. Setiap pengumuman dan tahapan kerja sama ekonomi dan perdagangan lebih terkait geopolitik ketimbang sebelumnya yang lebih mengandalkan aliran investasi dan perdagangan langsung secara alamiah,” kata Jayant Menon dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Gencarnya China bisa dimaklumi. China ingin mencari akal untuk mencegah decoupling, apalagi jika AS melakukan itu dengan melibatkan Asia agar China terpisah dari Asia. “Mengakali adalah satu hal, dan mencegah decoupling adalah hal lain,” kata Thitinan Pongsudhirak, seorang profesor ilmu politik di Universitas Chulalongkorn, Bangkok.
Namun di sisi lain, isu dan efek decoupling menjadi sebuah keberuntungan sendiri bagi Asia. Sekarang masalahnya, negara Asia mana yang paling cepat memanfaatkan momentum tersebut. Negara yang terlalu banyak berpikir, terlalu banyak takutnya dan repot dengan urusan domestiknya sendiri tidak akan beruntung. (AFP/AP/REUTERS)