Manuver China Bermain di Dua Kaki, Arab Saudi dan Iran
Ketika Iran disibukkan dengan alotnya perundingan kesepakatan nuklir, China merapat ke Arab Saudi. Dilandasi sikap pragmatis kepentingan ekonomi, Beijing bermanuver antara Teheran dan Riyadh.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Kurang dari sebulan menjelang pergantian tahun, tepatnya pada 9 Desember 2022, para pemimpin Arab yang tergabung dalam Liga Arab menggelar pertemuan puncak dengan Presiden China Xi Jinping di Riyadh, Arab Saudi. Pertemuan mereka diberi nama pertemuan puncak Arab-China. Pertemuan itu sesungguhnya berpeluang melahirkan tatanan ekonomi dunia baru jika potensi kedua belah pihak diberdayakan secara maksimal.
Kemitraan strategis Arab-China itu bisa mengancam atau bahkan menggantikan tatanan ekonomi dunia saat ini yang dirancang dan dikontrol oleh AS dan Barat.
Latar belakang hubungan sejarah serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia Arab-China, bila disinergikan, akan menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Hubungan persahabatan Arab-China sudah digalang dan dibangun hampir dua dekade lalu, persisnya ketika dibentuk Forum Kerja Sama Arab-China tahun 2004.
Setelah itu, bergulir proyek kerja sama strategis Arab-China pada 2010 dan rencana pembangunan 10 tahun Arab-China dari 2014 hingga 2024. Kemudian, ada deklarasi Kemitraan Arab-China dalam proyek Sabuk dan Jalan yang digalang China pada 2014.
Kedua belah pihak dari Arab maupun China terus menunjukkan keinginan kuat untuk terus mengembangkan kemitraan strategis mereka melalui upaya peningkatan neraca perdagangan kedua pihak. Neraca perdagangan Arab-China mencapai 275,5 miliar dollar AS pada tahun 2021 sesuai laporan ekonomi Arab tahun 2022. Terus berkembangnya kemitraan strategis Arab-China tentu akan membawa manfaat pada kepentingan mereka bersama sesuai tantangan baru dunia saat ini.
Pertemuan puncak Arab-China di Riyadh telah mengeluarkan rekomendasi sesuai dengan tantangan politik, ekonomi, dan sosial dunia saat ini yang telah mengalami banyak perubahan besar serta sekaligus tantangan baru bagi masyarakat internasional. Dunia Arab ingin mengambil peran strategis dalam tatanan ekonomi dunia saat ini, dengan menggandeng China, pemegang hegemoni ekonomi di berbagai belahan dunia.
Tidak ada pilihan lain bagi dunia Arab, kecuali bahu-membahu dengan China agar tidak ketinggalan kereta dalam menghadapi dinamika ekonomi dunia.
Sebaliknya China juga melihat dunia Arab sebagai mitra strategis untuk makin memperkuat hegemoni ekonomi di dunia saat ini. Beijing memandang kemitraannya dengan dunia Arab untuk melawan atau menyaingi hegemoni ekonomi AS, saingan terberat China saat ini.
Tidak terbantahkan, dunia Arab memiliki potensi besar dalam sektor ekonomi, terutama berkat kekayaan sumber alamnya, seperti minyak dan gas. Dunia Arab memiliki 55,7 persen cadangan minyak dunia dan 26,5 persen cadangan gas dunia. Dunia Arab menyumbang 3,06 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, sedangkan China menyumbang 18,8 persen. Sebagai perbandingan, AS menyumbang 25 persen PDB dunia; Jepang 5,4 persen.
Tata ekonomi baru
Jika kekuatan Arab dan China disatukan, kekuatan ekonomi mereka mendekati AS. Bila kekuatan gabungan Arab-China ditambah dengan kekuatan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), mereka sudah jauh melampaui kekuatan AS. Jika kekuatan gabungan tersebut (Arab, China, dan BRICS) bersatu, dengan mudah terbangun tatanan ekonomi baru dunia sesuai dengan kepentingan kekuatan gabungan tersebut.
Riak mulai lahirnya tatanan ekonomi dunia baru yang ditandai semakin lemahnya hegemoni ekonomi AS mulai terlihat dari sikap Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Dua negara ini menolak permintaan AS untuk menambah produksi minyaknya pasca meletusnya perang Rusia-Ukraina sejak Februari 2022. Permintaan AS itu disampaikan dalam upaya membendung naiknya harga minyak akibat meletusnya perang Rusia-Ukraina.
Sinyal lain akan lahirnya tatanan ekonomi dunia baru adalah kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Arab Saudi, awal Desember lalu. Kunjungan itu terjadi hanya sekitar lima bulan setelah kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Arab Saudi, Juli 2022. Arab Saudi dan dunia Arab kini mengambil kebijakan lebih berimbang antara AS-China.
AS pun harus melihat kenyataan bahwa gerakan China di dunia Arab sudah tidak bisa dibendung lagi. China kini memiliki berbagai megaproyek di dunia Arab. China dan Arab Saudi, misalnya, telah menandatangani kerja sama bidang energi, kimia, dan kontruksi. Aramco dari Arab Saudi, perusahaan energi terbesar di dunia, menandatangani kerja sama bidang energi dan kimia dengan Shandong Group dari China.
Di Mesir, perusahaan kereta api China, CREC, dan perusahaan teknologi dirgantara China, AVIC, mengerjakan proyek jaringan kereta listrik. China juga mengambil peran besar dalam pembangunan ibu kota baru Mesir. Masih banyak lagi megaproyek China di berbagai negara Arab.
Proyeksi China-Iran
Namun, dalam konteks dinamika regional, China menghadapi tantangan yang tidak mudah di Timur Tengah, khususnya dalam menempatkan posisinya di tengah persaingan antara Arab Saudi dan Iran.
Arab Saudi tampak terus berusaha agar China menjaga jarak dengan Iran. Secara politis, Arab Saudi cukup berhasil. Dalam pernyataan bersama yang dirilis kantor berita Arab Saudi, SPA, disebutkan China turut menyoroti intervensi Iran di berbagai negara Arab selama ini.
Dalam konteks ekonomi, ini tidak mudah bagi China. Iran dan China telah menandatangani kesepakatan kemitraan strategis selama 25 tahun yang ditandatangani di Teheran pada 27 Maret 2021. Saat itu, Arab Saudi dan UEA cukup resah melihat kesepakatan kemitraan strategis Iran-China tersebut.
Karena itu, China bisa disebut bermain dua kaki antara Iran dan Arab Saudi dalam konteks ekonomi di Timur Tengah. China tidak mungkin membatalkan kesepakatan kemitraan strategis dengan Iran karena hal itu juga membawa keuntungan kepada China mengingat posisi strategis Iran sebagai negara besar di kawasan.
Secara geografis pun, China butuh Iran sebagai jalur proyek Sabuk dan Jalan. Iran bisa menjadi jalur penghubung antara Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
Namun, kesepakatan kemitraan strategis Iran-China tidak bisa berjalan secara maksimal selama belum tercapai kesepakatan nuklir Iran yang saat ini masih buntu. Iran saat ini masih di bawah sanksi AS dan Barat.
Maka, Arab Saudi dan UEA selama ini sangat menentang tercapainya kesepakatan nuklir Iran dalam upaya melemahkan ekonomi Iran dan sekaligus agar kesepakatan kemitraan strategis Iran-China tidak bisa berjalan.
Bisa jadi pula, pertemuan puncak Arab-China, Desember lalu, yang menghasilkan berbagai kesepakatan ekonomi skala besar, secara tidak langsung sebagai upaya agar China tidak terlalu getol lagi dengan kesepakatan kemitraan Iran-China. Apalagi, jika China bisa diyakinkan sudah mendapat keuntungan besar dalam kesepakatan kemitraan strategis dengan dunia Arab.
Teheran harus membuat kalkulasi baru pascapertemuan puncak Arab-China, yang bisa mengantarkan Iran tidak menjadi prioritas lagi di mata China. Bagian dari kalkulasi baru itu adalah Iran harus berusaha dengan segala cara agar tercapai kesepakatan nuklir baru dengan AS agar China mau melirik Iran lagi.