Piala Dunia Qatar Ubah Imaji Global tentang Bangsa Arab
Keberhasilan Qatar menyelenggarakan Piala Dunia 2022 telah mengubah imaji global yang cenderung negatif tentang bangsa dan masyarakat Arab.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Piala Dunia 2022, yang berakhir kurang dari dua pekan lalu setelah hampir sebulan menyuguhkan drama demi drama di lapangan hijau, boleh dikata juga menjadi ajang ”perdamaian” bagi kawasan yang penuh gejolak, Timur Tengah. Lihat saja cuplikan rekaman atau foto di sekitar tribune VVIP di Stadion Al-Bayt pada saat upacara pembukaan perhelatan akbar sepak bola empat tahunan itu.
Anda bisa melihat Putra Mahkota sekaligus penguasa de facto Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Raja Jordania Abdullah II, dan Perdana Menteri Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum bergembira bersama Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani.
Padahal, lima tahun lalu, negara mereka—Arab Saudi, Mesir, UEA plus Bahrain—memblokade Qatar dari udara, laut, dan darat. Mereka menuding Doha mendukung terorisme karena memiliki kedekatan dengan kelompok Taliban dan Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Qatar menolak dan membantah semua tudingan tersebut.
Atau jangan kaget jika Anda menemukan foto Sisi dan Erdogan sedang bersalaman setelah negara mereka nyaris berperang di negeri orang. Di Libya tepatnya.
Atau Anda melihat di layar kaca Presiden Perancis Emmanuel Macron bersorak ketika tim nasional negaranya melaju ke final setelah mengalahkan Maroko, tapi kemudian tersenyum pahit ketika tim nasional negaranya gagal mempertahankan gelar seusai takluk dari Argentina melalui adu penalti.
”Dampak Piala Dunia melampaui komunitas sepak bola,” kata Ali al-Ansari, juru bicara Pemerintah Qatar. ”Dunia tidak pernah lebih terpecah belah. Jadi, momentum ini adalah pengingat tepat waktu bahwa kita memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang kita kira.”
Wakil Tetap Qatar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Hend al-Muftah, seperti dikutip laman World Intelectual Property Organization (WIPO), mengatakan bahwa perhelatan olahraga yang diselenggarakan di negaranya telah memperkuat imaji global tentang negara kaya minyak itu. Menurut dia, diplomasi olahraga menjadi alat komunikasi yang kuat untuk mendukung upaya internasional memperkuat dan memperbarui hubungan diplomatik di saat krisis.
”Perhelatan olahraga memungkinkan kami menunjukkan apa yang dapat ditawarkan Qatar kepada dunia dan komitmen kami terhadap pembangunan berkelanjutan, inklusi sosial, serta nilai-nilai komunitas dan saling menghormati di antara orang-orang dari budaya dan bangsa yang berbeda. Kami percaya pada kekuatan olahraga untuk mempromosikan dan memperkuat nilai-nilai universal pemersatu ini di seluruh dunia,” kata Muftah.
Pusat olahraga
Seperti halnya Arab Saudi yang memiliki visi mengubah kebergantungannya atas minyak, Qatar juga memiliki visi yang sama, yang disebut Visi Nasional Qatar 2030. Sebanyak empat pilar utama Visi Nasional Qatar 2030 termasuk kerja sama internasional dan pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.
Fluktuasi harga energi yang besar ditambah lagi kemungkinan habisnya cadangan minyak di negara tersebut, mau tidak mau, membuat para pengambil kebijakan mencoba mengembangkan sektor ekonomi baru sebagai sumber pundi-pundi uang. Dengan visi 2030 itu, Qatar bercita-cita untuk menjadi pusat bisnis, pariwisata regional, dan pusat olahraga di kawasan. Menjadi tuan rumah Piala Dunia menjadi salah satu kunci Qatar untuk mewujudkan hal itu.
Menjadi pusat olahraga dunia tidak terlepas dari tradisi bangsa Arab yang sebenarnya memiliki kedekatan dengan kegiatan fisik yang kompetitif. Tradisi Arab yang penuh dengan cerita dan legenda tentang pacuan kuda dan unta, berburu, balapan burung elang, hingga memanah dan berlayar adalah beberapa olahraga yang memiliki tradisi mengakar di kalangan bangsa Arab.
Mahfoud Amara, Associate Professor bidang Manajemen Olahraga dan Ilmu Sosial Universitas Qatar dalam bukunya, Sport and Political Leaders in The Arab World, menulis, pemanfaatan olahraga dan tempat untuk ”memasarkan sebuah negara” di fora internasional mulai terjadi setelah Perang Teluk pertama tahun 1990-1991.
Para elite penguasa dan pengusaha di Jazirah Arab mencoba menarik minat para pemilik bisnis dan operator multinasional untuk meningkatkan ekonomi lokal dan regional serta mempersiapkan era pasca-minyak. Perhelatan olahraga besar diselenggarakan di kawasan ini untuk menghubungkan perusahaan multinasional asing dan domestik, organisasi olahraga internasional, dan proyek raksasa untuk mendukung ”pesta olahraga” agar terus berjalan.
Tidak hanya itu, posisi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 dirayakan tidak hanya menjadi momentum bersejarah bagi olahraga dan rakyat Qatar semata, tetapi juga seluruh kawasan. ”Olahraga dapat dilihat sebagai kendaraan par excellence untuk promosi Qatar,” kata Amara.
”Soft power”
Melihat apa yang terjadi di tribune VVIP atau di belakangnya, saat Erdogan dan Sisi bersalaman dengan Emir Qatar, menunjukkan wajah semringah, tersenyum, adalah bagian dari keberhasilan diplomasi negeri berpenduduk kurang dari tiga juta jiwa ini. Olahraga, seperti dikatakan Muftah, mengubah imaji global, bukan hanya tentang Qatar, melainkan juga bangsa Arab, yang mungkin dalam benak sebagian besar ”orang Barat” sebagai bangsa yang tertinggal, tidak beradab, dan sebagainya.
Dengan perhelatan Piala Dunia, mungkin sebagian pandangan itu sudah mulai bergeser. Hal ini sejalan seperti yang disampaikan teoretisi hubungan internasional Joseph Nye. Nye dan sebagian besar pemikir hubungan internasional sepakat memasukkan olahraga sebagai sarana bagi negara-negara untuk memperlihatkan kemampuannya untuk memengaruhi melalui daya tarik atau tindakan persuasif, tanpa paksaan (coercion), tanpa persaingan atau konflik. Hal ini, dalam konsep Nye, disebut sebagai soft power.
Kebalikan dengan soft power, hard power adalah tindakan untuk memengaruhi atau mengubah pandangan pemerintah atau negara lain dengan ancaman, paksaan. Perang adalah contoh dari hard power berdasarkan konsep di atas.
Asisten profesor sastra Amerika dan Pascakolonial Universitas Qatar Thomas Ross Griffin, seperti dikutip laman CNN, mengatakan bahwa apa yang terjadi di Qatar adalah sebuah perubahan dan gambaran positif tentang upaya sebuah negara yang sebelumnya sangat konservatif menjadi ”terbuka” dengan tamu-tamu global.
”Qatar ingin menunjukkan kepada dunia bahwa perubahan mereka akan terus berlanjut,” kata Griffin.