Laporan Intelijen Sebut, Iran Bukan Lagi Sumber Ancaman Utama bagi Israel
Direktorat Intelijen Angkatan Bersenjata Israel (IDF) merilis laporan terbaru yang tidak menempatkan Iran sebagai ancaman utama bagi Israel. Meski berbeda dengan penilaian Mossad, laporan itu akan diserahkan kepada PM.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
TEL AVIV, SELASA – Direktorat intelijen militer Israel tidak menempatkan Iran sebagai sumber ancaman utama negara itu pada 2023. Pihak militer juga menganjurkan pemerintah Israel mendorong kesepakatan baru nuklir Iran. Bagi militer Israel, konflik Amerika Serikat dengan China dan Rusia menjadi sumber ancaman utama bagi Israel pada 2023.
Klasifikasi ancaman itu dicantumkan dalam bahan pengarahan Direktorat Intelijen Militer Angkatan Bersenjata Israel (IDF) untuk pemerintahan Benjamin Netanyahu. Setelah Netanyahu kembali dilantik sebagai Perdana Menteri Israel, pengarahan itu akan resmi disampaikan. Rencananya, pelantikan Netanyahu akan digelar, Kamis (29/12/2022).
Salinan pengarahan itu dikutip media Israel, Israel Hayom, yang menurunkan laporannya, Minggu dan Senin (25-26/12/2022). Meski memasukkan Iran sebagai salah satu sumber ancaman, Direktorat Intelijen IDF tidak lagi mengkategorikan Iran sebagai ancaman utama. Bagi IDF, Iran hanya salah satu kepingan dari rangkaian ancaman terhadap Israel.
IDF memandang, Israel perlu lebih fokus pada ketidakstabilan global. Ketidakstabilan itu dipicu persaingan dan konflik AS serta sekutunya melawan China-Rusia dan sekutunya. Persaingan AS-China dikhawatirkan semakin meningkat pada 2023.
Persaingan AS-Rusia telah terwujud dalam perang Ukraina yang tidak jelas kapan akan berakhir. Ancaman akibat persaingan dan konflik itu dapat melebar ke berbagai negara, termasuk Israel.
Adapun konflik AS-China akan mengancam rantai pasok global. AS berusaha mengajak sekutu dan mitranya memangkas hubungan ekonomi dengan China. Padahal, China memasok sekaligus mengimpor berbagai komoditas di pasar global. Dunia akan kesulitan mencari pemasok dan pembeli sebesar China.
Seperti sepanjang 2022, perang di Ukraina akan semakin meningkatkan krisis pangan dan energi pada 2023. IDF menyebut, krisis itu bisa memicu ketidakstabilan di negara-negara sekitar Israel. Mesir, negara Arab pertama yang berdamai dengan Israel, dikhawatirkan menjadi tidak stabil gara-gara krisis pangan yang dipicu perang di Ukraina.
“Israel harus berusaha sekuatnya membantu Mesir dan Jordania. Bentuknya termasuk membantu pengolahan air laut menjadi air tawar atau membantu pengembangan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) sehingga bisa mengatasi krisis energi dan air di Jordania. Dengan demikian, potensi ancaman akibat ketidakstabilan bisa ditekan,” demikian tertulis di laporan tersebut.
Penilaian Mossad
Pantauan Israel pada Ukraina tidak dilepaskan dari Iran. Perang Ukraina menjadi salah satu wahana peningkatan kerja sama militer Iran-Rusia. Iran memasok pesawat nirawak ke Rusia. Israel khawatir, Moskwa akan membalasnya dengan memasok teknologi rudal hipersonik ke Teheran.
Kekhawatiran itu terutama dikemukakan badan intelijen Israel, Mossad. Namun, IDF memandang transaksi itu sejauh ini sepenuhnya urusan bisnis. IDF menyimpulkan hal itu berdasarkan informasi bahwa Rusia membayar Iran secara tunai dengan euro.
IDF dan Mossad juga berbeda pendapat soal posisi Iran dalam daftar ancaman bagi Israel. Bagi Mossad, Iran tetap dianggap sebagai sumber ancaman utama. IDF menempatkan Iran di peringkat kedua ancaman bagi Israel.
Secara kelembagaan di Israel, Mossad tidak di bawah IDF dan bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Bersama Badan Keamanan Israel (Shin Bet), Mossad dan Direktorat Intelijen IDF (A'man) merupakan tiga pilar dalam struktur komunitas intelijen Israel.
IDF menyebut Iran akan tetap berulah di kawasan. Walakin, IDF meyakini Teheran akan mengendalikan diri selama tidak ada provokasi serius pada Iran. Provokasi bisa membuat Teheran memacu pengayaan uranium hingga mencapai kemurnian 90 persen. Pada aras itu, uranium mendekati kriteria untuk dijadikan bom nuklir.
IDF menyebut Iran akan tetap berulah di kawasan. Walakin, IDF meyakini Teheran akan mengendalikan diri selama tidak ada provokasi serius pada Iran.
IDF menilai, Iran semakin termotivasi memiliki senjata nuklir karena perang Ukraina. Dalam berbagai kesempatan, Kyiv selalu menyebut Rusia tidak akan berani menyerbu jika Ukraina tetap punya nuklir. Seluruh nuklir Ukraina sudah dilucuti beberapa dekade lalu.
Dalam konteks Iran, IDF meyakini Teheran setuju meredam pengembangan nuklirnya jika mendapat kompensasi. Karena itu, IDF merekomendasikan pemerintah Israel untuk mendorong kesepakatan nuklir baru untuk Iran. Hanya saja, kesepakatan nuklir itu diharapkan bisa mencegah Iran menggunakan pengetahuannya untuk membuat bom nuklir.
Posisi itu membuat IDF berseberangan dengan Mossad. Bagi Mossad, Israel harus berusaha sekuat tenaga mencegah Iran mendapat kesepakatan baru soal nuklir. Sejauh ini, pemerintahan Israel cenderung setuju dengan Mossad.
IDF mengakui, tidak mudah mencapai kesepakatan baru untuk nuklir Iran. Teheran telanjur tidak percaya pada Washington setelah AS secara sepihak keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran pada 2018.
Dalam putaran perundingan sejak April 2021, Teheran menuntut jaminan Washington tak akan mundur secara sepihak jika ada pergantian pemerintahan di AS. Teheran tidak mau mengulangi pengalaman sebelumnya: sepakat dengan pemerintahan Barack Obama, tetapi diabaikan pemerintahan Donald Trump. Sampai sekarang, tuntutan Iran soal jaminan itu tidak bisa dipenuhi AS.
Teheran menilai Washington tidak serius mencabut sanksi dan akan terus mencari alasan untuk terus mengekang Iran. Kalau pun bukan karena nuklir, menurut IDF, AS akan menyanksi Iran dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia.
Prospek kesepakatan nuklir
Sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani menyebut, masih ada peluang menghidupkan lagi kesepakatan nuklir. “Masalahnya di AS. Tindakan dan ucapan mereka bertolak belakang,” ujarnya, sebagaimana dikutip media Iran, Tasnim.
Ia mengklaim, Iran dan Uni Eropa sudah mendekati tahap akhir perundingan. Sebaliknya, AS terus menunda penuntasan dengan berbagai alasan. Perunding AS tidak menghadiri sebagian sesi yang mengagendakan penuntasan perundingan. “Padahal, penandatanganan sudah semakin dekat,” kata Kanaani.
Belakangan, dalam rekaman yang bocor ke khalayak, Presiden AS Joe Biden malah menyebut kesepakatan nuklir Iran sudah sepenuhnya mati. Bagi Biden, kesepakatan itu tidak bisa dihidupkan ulang.
Sementara Menlu Iran Hossein Amirabdollahian mengatakan, Teheran siap menuntaskan kesepakatan itu kapan pun. Ia meminta para mitra Iran dalam perundingan tidak melakukan politisasi atas isu tersebut. Permintaan itu, antara lain, disampaikannya kepada Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell di Jordania pekan lalu.
Amirabdollahian juga meminta AS dan sekutunya tidak terus menggunakan alasan hak asasi manusia (HAM) untuk meneruskan sanksi pada Iran. Bagi Teheran, justru Washington dan sekutunya telah melanggar HAM warga Iran lewat serangkaian sanksi ilegal tanpa henti selama puluhan tahun. “Barat mengucurkan air mata buaya soal pelanggaran HAM di Iran sambil meneruskan sanksi ilegal,” ujarnya, sebagaimana dikutip Tasnim.
Perundingan untuk menghidupkan ulang kesepakatan nuklir Iran dimulai pada April 2021 di Vienna, Austria. UE menjadi penengah di antara Iran dan AS. Delegasi AS tidak hadir secara langsung karena telah keluar dari kesepakatan yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA). Pesan AS dan Iran disampaikan oleh UE. Selain AS, Iran, dan UE, perundingan juga melibatkan delegasi Rusia, China, Inggris, Perancis, dan Jerman. (AFP/REUTERS)