Operasi Mossad di Iran dan Kalkulasi Politik Netanyahu
Operasi pembunuhan ilmuwan nuklir Iran, yang santer disebut didalangi dinas intelijen Mossad, pada 27 November lalu dilaksanakan dengan kalkulasi politik yang matang oleh PM Israel Benjamin Netanyahu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Kasus pembunuhan ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh (59), di dekat kota Teheran, 27 November lalu, sesungguhnya bukan sekadar kasus pembunuhan besar atau perang terbuka Iran-Israel. Kasus itu juga sarat dilatarbelakangi kalkulasi situasi politik di dalam negeri Israel, Iran, regional dan internasional.
Hampir dipastikan Mossad, dinas luar negeri intelijen Israel, berada di balik pembunuhan Fakhrizadeh itu. Berbagai isyarat dari Israel, yang disampaikan media ataupun pejabat Israel mengarah kepada pengakuan atas keterlibatan Mossad dalam kasus tersebut.
Televisi Al Arabia yang berbasis di Dubai, UEA, Sabtu (5/12 /2020), mengungkapkan, Mossad telah menempatkan agennya di dekat Fakhrizadeh sejak 1993 atau sejak 27 tahun lalu. Aksi Mossad tersebut adalah bagian dari perang terbuka Iran-Israel, baik secara militer maupun intelijen saat ini.
Sejak revolusi Suriah meletus tahun 2011, Iran dan Israel terlibat konflik militer terbuka di Suriah. Israel mengklaim telah melancarkan ratusan serangan atas sasaran Iran di Suriah sejak tahun 2013. Sebaliknya Iran dan loyalisnya juga sering melancarkan serangan balasan dengan rudal dan pesawat tanpa awak (drone) atas sasaran Israel di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, sebagai politikus ulung yang menjabat PM terlama dalam sejarah negara Israel sejak berdiri tahun 1948, memiliki kalkulasi politik matang dalam memilih waktu pembunuhan Fakhrizadeh.
Dalam tradisi dan sistem kerjanya, Mossad harus mendapat restu atau lampu hijau dari PM sebagai pemimpin eksekutif tertinggi untuk eksekusi operasi besar. Mossad hanya melakukan tugas intelijen dan mengeksekusi. Keputusan politik dalam eksekusi tersebut berada di tangan PM. Mossad sering membatalkan eksekusi operasi pada saat-saat terakhir karena tidak mendapat restu atau dibatalkan PM karena pertimbangan politik.
Dalam kasus pembunuhan Fakhrizadeh, tentu sudah ada koordinasi yang matang antara Mossad dan Netanyahu. Netanyahu memiliki misi tidak hanya sekadar membunuh Fakhrizadeh, yang disebutnya sebagai Bapak Nuklir Iran dan telah menjadi incaran Mossad sejak lama, tetapi juga memiliki target kalkulasi politik.
Sasaran domestik
Dalam konteks politik domestik Israel, atmosfer politik di dalam negeri mengarah pada digelarnya pemilu dini. Dinamika politik itu semakin kuat, menyusul keputusan Knesset (parlemen) pada Rabu (2/12/2020) dalam voting suara pendahuluan atau tahap pertama persetujuan draf undang-undang pembubaran Knesset. Masih butuh voting suara kedua dan ketiga atau terakhir agar draf undang-undang itu menjadi undang-undang (UU) secara resmi untuk pembubaran Knesset dan pelaksanaan pemilu dini.
Partai Biru-Putih pimpinan Benny Gantz, mitra Netanyahu dalam pemerintah persatuan nasional saat ini, mendukung pembubaran Knesset itu dan digelar pemilu dini. Netanyahu membaca atmosfer politik domestik Israel tersebut dan dengan segera mengambil keputusan besar untuk mengangkat popularitasnya menghadapi kemungkinan pemilu dini itu. Keputusan besar tersebut berupa instruksi pada Mossad untuk mengeksekusi pembunuhan Fakhrizadeh.
Netanyahu menginginkan tewasnya Fakhrizadeh dianggap oleh publik Israel, khususnya kubu kanan dan agama, sebagai prestasinya dan pada gilirannya dapat membantu mendapat dukungan suara padanya jika digelar pemilu dini. Netanyahu menghendaki partai Likud dan partai koalisinya bisa menang mutlak pada pemilu dini tanpa harus lagi berkoalisi dengan partai tengah atau kiri.
Adapun dalam konteks politik domestik Iran, Netanyahu melihat Iran akan menggelar pemilu presiden, Juni 2021. Ia menginginkan rakyat Iran melihat pemerintahan Presiden Hassan Rouhani, yang berasal dari kubu moderat, telah gagal menjaga keamanan nasional Iran. Hal itu ditunjukkan oleh kasus tewasnya Komandan Brigade al-Quds Mayjen Qassim Soleimani, Januari lalu, di dekat bandar udara internasional Baghdad dan tewasnya Fakhrizadeh,yang terjadi pada masa Presiden Rouhani.
Target Iran lemah
Netanyahu ingin kandidat kubu moderat kalah dari kandidat kubu konservatif dalam pemilu presiden, Juni nanti. Jika kandidat kubu konservatif memenangi pemilu presiden, diprediksi Iran akan sulit mencapai kesepakatan kompromi soal program nuklir Iran dengan pemerintah Presiden terpilih AS Joe Biden. Apabila gagal tercapai kesepakatan nuklir, sanksi ekonomi AS atas Iran akan terus berlanjut. Hal ini yang diinginkan Israel karena terus berlanjutnya sanksi ekonomi atas Iran akan melemahkan Neger Para Mullah itu.
Sebaliknya apabila kandidat kubu moderat memenangi pemilu presiden Iran, sangat terbuka peluang kembalinya AS pada kesepakatan nuklir Iran yang dikenal dengan nama resmi Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Ini yang tidak diinginkan Israel. Israel menolak keras JCPOA, yang hanya akan memperkuat Iran, baik ekonomi maupun militer.
Seperti dimaklumi, JCPOA tahun 2015 dicapai Iran dan enam negara Barat pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama dari partai Demokrat di AS dan pemerintahan Rouhani dari kubu moderat Iran.
Dalam konteks regional, telah tercapai kesepakatan Abraham atau Abraham Accord antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan. Bahkan, Netanyahu diberitakan telah bertemu secara rahasia dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) di kota Neom, Arab Saudi barat laut, 22 November lalu.
Seperti dimaklumi semua negara Arab yang mencapai kesepakatan Abraham dengan Israel adalah musuh Iran. Karena itu, PM Netanyahu merasa yakin situasi regional cukup kondusif untuk mengeksekusi operasi pembunuhan Fakhrizadeh. Netanyahu percaya akan mendapat dukungan negara Arab yang terlibat dalam Abraham Accord plus Arab Saudi dalam pedehmbunuhan Fakhrizadeh.
Dalam konteks situasi internasional, kekalahan Presiden Donald Trump pada pemilu AS, 3 November, mendorong Netanyahu mempercepat eksekusi terhadap Fakhrizadeh. Hampir dipastikan Netanyahu telah berkoordinasi dan sekaligus mendapat lampu hijau dari Trump dalam eksekusi pembunuhan Fakhrizadeh.
Isyarat kuat bahwa Trump mengetahui dan mendukung eksekusi pembunuhan Fakhrizadeh itu adalah AS mengirim pesawat pengebom raksasa B-52 ke Timur Tengah pada 21 November lalu dan kapal induk USS Carl Nimitz ke perairan Teluk Persia pada akhir November lalu. Biasanya AS mengirim pesawat pengebom B-52 setiap menghadapi perang besar. Pengiriman pesawat pengebom B-52 dan kapal induk USS Nimitz ke Timur Tengah jelas untuk menghadapi kemungkinan Iran melancarkan serangan atas sasaran AS di Timur Tengah sebagai balasan atas tewasnya Fakhrizadeh.
Netanyahu melihat, jika Fakhrizadeh tidak dieksekusi saat ini hingga Presiden AS terpilih Joe Biden resmi menghuni Gedung Putih pada 20 Januari mendatang, bisa jadi Biden akan menolak eksekusi pembunuhan Fakhrizadeh. Netanyahu membaca situasi politik dalam negeri Israel, Iran, regional, dan internasional sehingga ia meyakini waktu yang tepat membunuh Fakhrizadeh jatuh pada 27 November lalu.