China Kembali Jadi Perhatian Dunia
Angka kematian yang rendah akibat Covid-19 di China terjadi setelah pemerintah mengubah definisi kematian akibat penyakit ini. Tapi, dampak riilnya bisa dilihat di lapangan. Pemerintah AS menawarkan bantuan.
BEIJING, JUMAT — Upaya Pemerintah China untuk menanggulangi penyebaran Covid-19 kembali jadi perhatian dunia. Pascapelonggaran protokol kesehatan yang ketat, China dikhawatirkan mengalami lonjakan penularan yang bisa berdampak pada perlambatan ekonomi dan memengaruhi perekonomian global.
Mengutip data Worldometer, Jumat (23/12/2022), yang merujuk data Komisi Kesehatan Nasional (NHC) Pemerintah China, jumlah kasus baru hingga Jumat pagi mencapai 3.761 kasus. Tidak ada kematian yang dilaporkan. Jumlah kematian di China sejak kasus ini diumumkan sebagai pandemi global pada Maret 2020, sebanyak 5.241 kasus.
Media yang terafiliasi dengan Pemerintah China CGTN menyebut, jumlah kematian akibat Covid-19 di China mencapai 31.309 jiwa. Akan tetapi, jumlah tersebut adalah jumlah gabungan tingkat kematian di Taiwan dan Hong Kong. Taiwan, yang diklaim sebagai wilayah teritorial China, jumlah kematian tercatat 14.950 jiwa. Sementara di Hong Kong, jumlah kematian mencapai 11.212 jiwa.
Baca juga : China Bersiap Hadapi Lonjakan Kasus Covid-19 Pascapelonggaran
Mike Ryan, Direktur Kedaruratan Organisasi Kesehatan Dunia menyebut angka itu tidak mencerminkan situasi di lapangan. Pada saat yang sama, di Ibu Kota Beijing, rumah duka dan krematorium kesulitan untuk menambah kapasitas karena permintaan yang terus bertambah.
Jumlah kematian yang kecil diyakini akibat adanya perubahan definisi kematian akibat Covid-19 oleh Pemerintah China. Pakar penyakit menular di China, Profesor Wang Guiqiang, dalam konferensi pers, Selasa (20/12/2022), mengatakan, Komisi Kesehatan Nasional telah merevisi pedomannya soal kematian yang disebabkan Covid-19. Jumlah kematian akan dimasukkan dalam data resmi Pemerintah China jika kematian itu hanya disebabkan pneumonia dan gagal napas pada pasien yang dinyatakan positif mengidap Covid-19.
“Kematian yang disebabkan oleh penyakit lain seperti penyakit kardiovaskular atau serebrovaskular dan serangan jantung tidak diklasifikasikan sebagai kematian yang disebabkan oleh virus korona,” kata Wang.
Dia menambahkan, kegagalan pernapasan yang secara langsung disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2 varian baru jarang terjadi sehingga bisa diabaikan.
Chen Jiming, peneliti di Universitas Foshan, China, menilai kekhawatiran soal ketidakmampuan sistem layanan kesehatan di China untuk menghadapi gelombang baru penularan terlalu dibesar-besarkan. Dia menilai, sistem medis China bisa mengatasi kondisi saat ini karena negara telah mengakhiri kebijakan karantina untuk penularan tanpa gejala dan kasus ringan.
"Saya pikir, sekarang China dapat dengan baik mengurangi tsunami Covid-19 yang membayangi. Tentu, sistem medis berada di bawah tekanan besar akhir-akhir ini, tetapi saya pikir pemerintah bisa mengelolanya,” kata Chen.
Baca juga : Longgarkan Protokol, China Nonaktifkan Aplikasi Pelacak Perjalanan
Di lapangan, yang terjadi sebaliknya. Di Tianmen, kota kecil dekat Wuhan, menurut seorang warga yang mengirimkan gambarnya pada Reuters, pasien yang terinfeksi terpaksa berkemah di luar klinik saat mereka menerima infus. Mereka terpaksa berada di luar karena klinik tidak mampu menampung pasien lagi.
Sementara di Hanchuan, Provinsi Hubei, sebuah rekaman yang dikirimkan kepada Reuters pada 14 Desember memperlihatkan seorang pasien duduk di mobil untuk menerima cairan infus melalui jendela kendaraan.
Di rumah sakit umum di Beijing, seorang dokter senior mengatakan, semua operasi telah dibatalkan kecuali untuk kasus darurat dan mengancam jiwa. Dokter yang tidak mau disebutkan namanya itu mengatakan, 80 persen dokter yang berdinas di rumah sakit tersebut terinfeksi virus. Akan tetapi, mereka harus bekerja karena tidak ada yang menggantikannya.
Demonstrasi terjadi di sebuah sekolah kedokteran karena mahasiswa menuntut perlindungan dan pasokan medis yang lebih baik untuk melindungi mereka yang bertugas. Kematian seorang mahasiswa kedokteran berusia 23 tahun di Chengdu, 14 Desember lalu, memicu kemarahan publik atas tekanan pada sistem kesehatan China.
"Kami adalah rantai makanan terbawah di rumah sakit. Jika kami berada di garis depan, kami tidak memiliki perlindungan yang cukup untuk diri kami sendiri: kami bahkan diminta untuk menggunakan kembali masker wajah (yang sudah tidak layak),” kata seorang mahasiswa yang tidak mau disebutkan namanya.
Di rumah sakit umum di Shanghai tempat Nora, seorang dokter berusia 30 tahun, bekerja, ketegangan meningkat sejak China melonggarkan kebijakan nol-Covid yang ketat mulai 7 Desember lalu. Pasien bertengkar dengan dokter untuk mengakses persediaan obat yang terbatas, seperti obat batuk dan pereda nyeri. Petugas medis kelebihan beban; staf yang terinfeksi terus bekerja karena kekurangan personel.
Baca juga : Covid-19 Kembali Melonjak, China Genjot Vaksinasi Lansia
"Kebijakan pengendalian Covid dilonggarkan sangat tiba-tiba," kata Nora yang enggan menyebutkan nama lengkapnya karena sensitivitas isu tersebut. "Rumah sakit seharusnya sudah diberitahu sebelumnya untuk melakukan persiapan yang memadai.”
Komisi Kesehatan Nasional China tidak menanggapi permintaan komentar tentang ketahanan sistem kesehatan dan pasokan staf medis. Sejumlah pertanyaan masih menggantung, seperti apakah ada rencana darurat untuk mengatasi melonjaknya penerimaan rumah sakit dan apakah tindakan pencegahan virus korona yang ketat telah menghambat peningkatan kapasitas medis.
Peningkatan produksi obat
Untuk mencegah bencana akibat tekanan yang berlebihan pada layanan kesehatan, Pemerintah China telah memerintahkan produksi obat-obatan, vaksin, dan suplai peralatan medis ke seluruh wilayah. Lebih dari selusin perusahaan farmasi dan alat kesehatan diminta untuk membantu mengamankan pasokan obat-obatan.
Menurut laporan beberapa media lokal, setidaknya 11 dari 42 perusahaan pembuat alat tes dilaporkan telah menyerahkan seluruh produknya atau menerima pesanan dari pemerintah. Wiz Biotech, pembuat tes antigen cepat di Kota Xiamen, mengkonfirmasi kepada AFP, Kamis lalu, bahwa semua alat yang mereka hasilkan akan diminta oleh pemerintah setempat.
Di Beijing, pihak berwenang telah mengirim staf tambahan ke enam produsen kit antigen untuk membantu mereka meningkatkan produksi.
Baca juga : Pengenduran di China Legakan Dunia
Peningkatan produksi obat-obatan dan peralatan medis harus dilakukan karena di lapangan, pembatasan atau penjatahan obat-obatan telah dilakukan oleh pemerintah. Di Nanjing, Ibu Kota Provinsi Jiangsu, persediaan obat demam diketahui sebanyak dua juta tablet. Akan tetapi, warga hanya diperbolehkan membeli maksimal enam tablet selama sepekan.
Di Zhuhai, pemerintah telah memerintahkan apotek dan toko obat untuk mewajibkan warga mencatatkan nomor kartu identitasnya sebelum membeli obat-obatan. Sama seperti Nanjing, warga kota ini hanya dibolehkan membeli enam tablet obat demam seminggu.
Rantai apotek terbesar di kota semi-otonom Mannings juga telah membatasi pembelian obat demam, pilek, flu dan batuk merek Barat yang populer, serta kapsul Lianhua Qingwen China, dengan alasan lonjakan permintaan yang tiba-tiba.
Berbagi data
Pemerintah Amerika Serikat berharap Pemerintah China mau berbagi data mengenai penularan Covid-19 yang terjadi di negaranya. Pada saat yang sama, Pemerintah AS juga menawarkan secara terbuka untuk mengirim vaksin produk perusahaan-perusahaan farmasi AS bagi China.
Baca juga : Strategi ”Tembok Besar” China untuk Hadapi Pandemi Covid-19
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, situasi yang tengah dihadapi China akan berdampak tidak hanya di internal China, tetapi juga ke seluruh dunia.
"Sangat penting bagi semua negara, termasuk China, untuk memfokuskan diri untuk memvaksinasi warganya, menyediakan tes dan pengobatan, dan yang terpenting, berbagi informasi dengan dunia tentang apa yang mereka alami," kata Blinken.
Ia menambahkan, Washington sepenuhnya siap mengirimkan bantuan pada siapapun yang memintanya, termasuk China. (AFP/REUTERS)