Pesta Sepak Bola Berakhir, Pekerja Migran di Qatar Kembali Khawatir
Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia menyerukan perlunya dana kompensasi khusus bagi pekerja yang meninggal dalam proyek-proyek pembangunan stadion Piala Dunia 2022. FIFA maupun Qatar belum menyepakati hal itu.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
DOHA, SENIN — Pesta itu sudah berakhir. Tim juara sudah ditahbiskan: Argentina. Para suporter dan penggemar dari negara manca mulai meninggalkan Qatar. Namun, para pekerja migran—salah satu tulang punggung kesuksesan penyelenggaraan Piala Dunia 2022—dihadapkan kembali pada kekhawatiran akan nasib dan perlindungan mereka.
Laga final, yang dimenangi Argentina atas Perancis lewat adu penalti di Stadion Lusail, Minggu (18/12/2022), ikut dirayakan para pekerja migran di Qatar. Hari Minggu itu kebetulan juga Hari Migran Internasional. Namun, perayaan dan kegembiraan para pekerja migran di negara tersebut hanya sesaat itu.
Rasheed adalah salah satu dari pekerja migran yang menonton tayangan laga final tersebut di Souq Waqif, pasar di pusat kota Doha, ibu kota Qatar. Ia bersukacita setelah tim dukungannya, Argentina, tampil sebagai juara. Ia dan puluhan rekannya sesama pekerja asal negara-negara Asia Selatan menyanyi dan menari, meluapkan kegembiraan mereka.
”Messi! Messi! Messi!” teriak mereka di salah satu sudut Souq Waqif. Area itu juga menjadi tempat berkumpul dan ajang kongko-kongko para pendukung tim atau penggemar sepak bola dari mancanegara. Kantor berita Qatar, QNA, Minggu (18/12/2022), menyebutkan bahwa sebanyak 1,4 juta orang berkunjung ke Qatar selama turnamen Piala Dunia. Angka itu lebih banyak daripada perkiraan sebelum turnamen.
”Awalnya mereka menertawakan kami sebagai ’suporter gadungan’, tetapi saya pikir mereka akhirnya menerima kami saat ini,” ujar Rasheed. Ia memakai t-shirt bertuliskan ”hak asasi”. Rasheed tidak berkenan memberi tahu nama lengkapnya karena khawatir mendapat tindakan dari perusahaan dan atasannya asal Qatar.
Warga asal India, Bangladesh, Pakistan, Nepal, dan Sri Lanka berperan besar sebagai tenaga kerja dalam pembangunan delapan stadion Piala Dunia. Mereka juga kerap dikerahkan untuk mengisi tribune stadion pada sejumlah laga. Selain itu, India juga menjadi salah satu negara dengan pembeli terbesar tiket laga-laga Piala Dunia.
Namun, menjelang turnamen Piala Dunia dimulai, foto wajah-wajah pekerja yang membangun Stadion Lusail, lokasi laga final antara Argentina dan Perancis, diturunkan dari tembok stadion. Tidak banyak juga dari 88.000 penonton laga final itu berasal dari negara-negara Asia Selatan.
”Sangat jarang kami bisa keluar dan bersenang-senang seperti ini,” ujar Shafiq, pekerja asal Negara Bagian Kerala, India. Seperti kebanyakan rekannya sesama pekerja migran yang menonton tayangan laga final di Souq Waqif, ia memakai kostum timnas Argentina.
”Biasanya kami semua harus berada di zona-zona pekerja. Kami semua khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah Piala Dunia berakhir,” lanjut Shafiq.
Biasanya kami semua harus berada di zona-zona pekerja. Kami semua khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah Piala Dunia berakhir.
Hak-hak pekerja menjadi isu panas di Qatar, terutama sejak negara itu terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 12 tahun silam. Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia mengatakan, angka kematian pekerja pada sejumlah megaproyek Qatar tidak dilaporkan. Mereka juga mengecam keras kondisi yang dialami para pekerja migran. Lebih dari 80 persen populasi Qatar (2,9 juta jiwa) adalah pekerja migran.
Para pejabat Qatar menyatakan, mereka telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi situasi para pekerja asing. ”Hal terpenting yang perlu diingat bahwa Piala Dunia telah mengangkat olahraga dan memainkan peran luar biasa dalam menyatukan rakyat dan negara-negara,” ujar Sheikh Alya al-Thani, Duta Besar Qatar untuk PBB, dalam upacara menandai penyerahan tuan rumah Piala Dunia 2026 di Amerika Utara.
Namun, pada hari Minggu lalu, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, yang memimpin delegasi utusan Presiden Joe Biden pada final Piala Dunia, masih mengangkat isu pekerja dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman al-Thani. Melalui pernyataan tertulis, ia menggarisbawahi pentingnya ”kemitraan strategis AS-Qatar”, tetapi juga mendorong Qatar menunjukkan komitmen pada refomasi ketenagakerjaan dan hak-hak asasi setelah Piala Dunia.
Pesan senada disampaikan sejumlah menteri asal negara-negara lain yang datang ke Qatar selama turnamen Piala Dunia.
Isu perundang-undangan
Menghadapi tekanan tersebut, Qatar merujuk pada perubahan-perubahan dalam lima tahun terakhir. Dijelaskan mengenai upah minimum, misalnya, negara itu telah mengakhiri sistem perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang dinilai sewenang-wenang serta mengurangi jam kerja pada musim panas, yang ditandai dengan suhu membakar tubuh.
Menteri Tenaga Kerja Qatar Ali bin Samikh Al Marri menyatakan, Qatar akan berpegang pada upaya reformasi ketenagakerjaan yang telah dirintis.
Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia telah menyerukan perlunya dana kompensasi khusus bagi para pekerja yang meninggal dalam proyek-proyek pembangunan stadion Piala Dunia 2022. Pada Mei lalu, koalisi para pegiat hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International mendesak Qatar dan Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) untuk menyiapkan dana kompensasi sedikitnya setara dengan hadiah uang Piala Dunia sebesar 440 juta dollar AS bagi para pekerja di Qatar.
Namun, baik FIFA maupun Qatar tak sepakat mengenai pembentukan dana kompensasi tersebut. Pemerintah Qatar mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dana khusus untuk membayar upah pekerja yang dicuri dan hilang sebesar lebih dari 350 juta dollar AS. Dana itu juga bisa untuk membayar kompensasi atas pekerja yang mengalami luka-luka dan meninggal saat bekerja.
FIFA berjanji untuk memberikan rincian dana legasi (legacy fund) untuk Piala Dunia. Menurut FIFA, dana bisa digunakan untuk membantu para pekerja di negara-negara lain. FIFA mengalokasikan dana 100 juta dollar AS setelah Piala Dunia 2018 Rusia.
Namun, tak ada acara resmi yang digelar FIFA pada Hari Internasional Migran, yang bersamaan dengan hari laga final Piala Dunia. Kelompok-kelompok pegiat HAM ragu akan masa dengan dana legasi FIFA tersebut. ”Piala Dunia ini bahkan akan dikenang atas alasan-alasan yang salah: sebagai ajang olahraga termahal—dan paling mematikan,” ujar Minky Worden dari HRW.
Otoritas Qatar menyebut kritik selama satu dekade terakhir yang diarahkan pada negaranya tidak adil dan lebih banyak berupa misinformasi. Mereka merujuk pada reformasi UU Ketenagakerjaan sejak tahun 2018. Mereka menuding para pengritiknya bertindak rasis dan berstandar ganda.
”Kami sudah mengupayakan turnamen ini menjadi ajang yang mempercepat peningkatan kondisi reformasi ketenagakerjaan karena situasi sebelumnya tidak dapat diterima meski sudah ada niat terbaik (untuk memperbaikinya),” kata Hassan al-Thawadi, Sekretaris Jenderal Komite Tertinggi Pelaksanaan dan Warisan, penyelenggara Piala Dunia Qatar, dalam wawancara yang disiarkan Sky News. (AFP/REUTERS)