Setelah mampu menjadi pengekspor bersih ("net exporter") energi, AS akan mengurangi perhatiannya dalam memastikan aliran minyak dan gas dari Timur Tengah.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
AP PHOTO/EMRAH GUREL
Kapal tanker pengangkut minyak membuang jangkar di Laut Hitam, dekat Selat Bosphorus, di Istanbul, Turki, Kamis (15/12/2022).
Pada 1973, perang Arab-Israel yang diikuti dengan embargo minyak oleh negara Arab mengingatkan orang betapa penting posisi Timur Tengah dalam jaringan suplai minyak dunia. Maka, setelah perang tersebut, Amerika Serikat berupaya memastikan Timur Tengah di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, industri dan kehidupan rakyat AS tetap berjalan lancar berkat pasokan minyak yang tak terganggu.
Namun, dalam satu dekade terakhir, AS mengalami peningkatan produksi minyak sangat besar. Teknologi baru eksplorasi minyak (fracking) menjadi faktor penyebabnya.
”Sebelum itu, produksi (minyak) AS mengalami penurunan yang signifikan. Namun, sekarang orang-orang membicarakan pertumbuhan produksi AS. Kita sesungguhnya telah menjadi pengekspor bersih minyak mentah,” tutur Helima Croft, Managing Director and Global Hof Commodity Strategy RBC Capital Markets, dalam wawancara dengan media AS, NPR, awal 2020.
AP PHOTO/MARTA LAVANDIER
Stasiun pengisian bahan bakar minyak Chevron and Shell memasang harga yang sama di Miami, Florida, Amerika Serikat, Senin (12/12/2022). Dalam satu dekade terakhir, produksi minyak Amerika Serikat mengalami peningkatan sangat besar.
Tim Marshall dalam bukunya, Prisoners of Geography (2015), menulis, setelah mampu menjadi pengekspor bersih energi, AS akan mengurangi perhatiannya dalam memastikan aliran minyak dan gas dari Teluk. ”Saat tingkat kebutuhan China terhadap minyak dari negara asing meningkat, kebutuhan minyak asing AS justru berkurang,” ungkap Harris, wartawan yang 25 tahun meliput isu internasional dan melakukan perjalanan ke banyak wilayah yang didera konflik, antara lain Kosovo, Irak, dan Suriah.
Menurut Marshall, kondisi mutakhir tersebut memiliki dampak besar dalam hubungan luar negeri AS, khususnya dengan Timur Tengah, dengan dampak lanjutan pada negara-negara lain. ”AS tetap memiliki kepentingan strategis di kawasan itu, tetapi fokusnya tidak lagi begitu intensif,” ujarnya.
PHOTO BY BANDAR AL-JALOUD / SAUDI ROYAL PALACE / AFP)
Foto yang dikeluarkan oleh Istana Kerajaan Arab Saudi memperlihatkan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menyambut kedatangan Presiden China Xi Jinping, Kamis (8/12/2022), di Riyadh.
Dalam ”The Middle East in a Multipolar Era” (Foreign Affairs, 7 Desember 2022), Managing Director and Lane-Swig Senior Fellow at the Washington Institute for Near East Policy Michael Singh menyatakan, AS tengah mengalami perubahan dalam penentuan prioritas internasionalnya. Hal ini membuat mitra-mitranya menjadi kurang yakin bahwa kawasan serta isu yang menjadi fokus Washington pada hari ini akan tetap menjadi perhatiannya pada masa mendatang.
Tak mengherankan jika kemudian negara-negara Teluk akan berusaha mencari aliansi baru. Salah satu kandidat kuat untuk menjalin kemitraan lebih kuat dengan negara-negara Teluk tentu saja China, yang telah berkembang menjadi kekuatan utama pesaing AS. Kebutuhan China akan impor energi juga sangat besar. Faktor ini menjadi alasan krusial bagi China untuk menjalin hubungan sangat kuat dengan penghasil energi di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.
Hal lain yang juga diperkirakan bakal menggeser fokus AS dari Timur Tengah, menurut Marshall, ialah perubahan demografi di negara adidaya itu. Keturunan imigran Asia serta Hispanik dalam jumlah besar di AS akan membuat Washington lebih menaruh perhatian pada kawasan Asia Timur dan Amerika Latin. Bisa jadi, hubungan mesra AS-Israel di era Presiden Donald Trump dan PM Israel Benjamin Netanyahu menjadi titik tertinggi relasi kedua negara. Setelah itu, hubungan keduanya terus menurun.