Rakyat Jepang Tolak Kenaikan Pajak untuk Biayai Kenaikan Anggaran Pertahanan
Keinginan Pemerintah Jepang menaikkan anggaran pertahanan mendapat tantangan. Dalam jajak pendapat mutakhir, mayoritas warga Jepang menolak kenaikan pajak untuk membiayai kenaikan belanja pertahanan itu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
MAHDI MUHAMMAD
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida (kiri) mengendarai tank Pasukan Bela Diri Darat Jepang di Kemah Asaka, Tokyo, Sabtu (27/11/2021). (Kiyoshi Ota/Pool Photo via AP, File)
TOKYO, MINGGU – Mayoritas warga Jepang menolak kenaikan pajak demi meningkatkan postur anggaran pertahanan negara. Situasi ini menjadi tantangan bagi Perdana Menteri Fumio Kishida yang berambisi meningkatkan alokasikan anggaran pemerintah untuk memperkuat pertahanan Jepang, dari 1 persen ke 2 persen produk domestik bruto.
Media Kyodo menyelenggarakan jajak pendapat tentang tanggapan masyarakat terhadap rencana Pemerintah Jepang menaikkan pajak guna membiayai peningkatan anggaran pertahanan. Hasil survei yang dirilis Minggu (18/12/2022) menyebutkan, mayoritas warga Jepang menolak rencana pemerintah itu.
Hasil jajak pendapat menyebutkan, 65 persen responden tidak menginginkan kenaikan pajak apapun, termasuk untuk peningkatan belanja pertahanan. Adapun 87 persen responden menganggap penjelasan Kishida tidak cukup untuk menjadi landasan kenaikan pajak.
Pada Jumat (16/12), Kishida mengumumkan rencana menaikkan alokasi belanja pertahanan Jepang menjadi 318 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dalam anggaran pemerintah, mulai 2023-2027. Rencananya, uang itu akan dipakai untuk membeli lebih banyak rudal balistik jarak menengah dan jauh. Jepang berencana membeli rudal Tomahawk produksi Raytheon di AS.
Jepang juga ingin membeli lebih banyak pesawat siluman F-35 dari Lockheed Martin. Selain itu, Jepang juga ingin memproduksi sendiri sejumlah persenjataan dan peralatan militer mereka. Mitsubishi menjadi salah satu perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah. Untuk melakukan ini semua, Jepang juga tengah mengupayakan perubahan atas Undang-Undang Dasar (UUD) mereka.
REUTERS/KANTOR STAF GABUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN JEPANG
Di dalam foto yang diambil dan disebarluaskan oleh Pasukan Bela Diri Laut Jepang tampak kapal induk Liaoning milik China melintasi Laut China Timur pada tanggal 25 Desember 2016. Joint Staff Office of the Defense Ministry of Japan/HANDOUT via REUTERS
UUD ini sejatinya ditulis oleh AS setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II. Di dalamnya dinyatakan bahwa Jepang tidak boleh memiliki, membeli, maupun membuat senjata pemusnah massal. Akan tetapi, Kishida berargumen bahwa situasi sekarang tidak bisa lagi diwadahi oleh aturan tersebut.
Kenaikan anggaran pertahanan itu akan dibiayai dari kenaikan pajak. Kishida berjanji kenaikan pajak tidak langsung diterapkan pada 2023. Akan tetapi, penerapannya baru dimulai pada 2024 hingga 2027. Kenaikan pajak dilakukan secara bertahap.
Targetnya, anggaran pertahanan Jepang mencapai 2 persen dari produk domestik bruto negara sampai dengan 2027. Dengan itu, Jepang akan menjadi negara dengan belanja militer terbesar ketiga setelah AS dan China.
Sekretaris Kabinet Jepang untuk Urusan Kebijakan Publik Noriyuki Shikata dalam wawancara khusus dengan Kompas pada 15 November lalu di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 menjelaskan, Jepang tidak berminat untuk ikut adu kekuatan militer. Langkah ini diambil karena Jepang merasa sejumlah negara tetangga menunjukkan perilaku berbahaya.
“Korea Utara terus melakukan uji coba rudal balistik untuk memanas-manasi AS. Kemudian, terjadi invasi Rusia ke Ukraina yang membuka risiko ke perang nuklir. Di China, Tentara Pembebasan Rakyat terus melakukan latihan militer besar-besaran di Selat Taiwan,” tutur Shikata.
Salah satu pemicu bagi Jepang ialah ketika lima rudal China jatuh ke perairan Jepang pada bulan Agustus. Ketika itu, Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan. China membalas dengan melakukan latihan perang berskala besar. Mereka menembakkan rudal yang lima di antaranya jatuh ke wilayah laut Jepang.
REUTERS/KCNA
Di dalam foto yang disebadated photo released by North Korea's Korean Central News Agency (KCNA) May 22, 2017. KCNA/via REUTERS/File photo ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY. EDITORIAL USE ONLY. REUTERS IS UNABLE TO INDEPENDENTLY VERIFY THIS IMAGE. NO THIRD PARTY SALES. SOUTH KOREA OUT.
“Jepang mengecam peristiwa itu. Di saat yang sama, kami menyadari harus melakukan sesuatu untuk menyeimbangkan keadaan di kawasan Asia Timur,” kata Shikata.
Ia menerangkan, jumlah 2 persen itu juga tidak banyak dari skala militer. Negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) misalnya, wajib menyumbang 2 persen pendapatan mereka kepada organisasi tersebut.
Pada Minggu, Korea Utara melakukan uji coba dua rudal balistik yang ditembakkan dari wilayah Tongchangri di barat daya negara itu. Rudal melaju hingga jarak 500 kilometer sebelum jatuh ke perairan di antara Semenanjung Korea dengan Jepang. Baik Jepang dan Korea Selatan sama-sama mengumumkan bahwa uji coba itu adalah reaksi Korut atas pengumuman Kishida.
Analisis militer Korsel mengatakan, rudal ditembakkan dari sudut yang curam sehingga hanya terbang melintasi jarak 500 kilometer. Apabila ditembak dari sudut yang sesuai, rudal bisa mencapai jarak sesuai dengan tujuan pembuatannya. Lebih lanjut, mantan pengajar Universitas Pertahanan Korsel Kwon Yong Soo mengatakan, rudal itu adalah Pukguksong-2 yang pertama kali diuji pada 2017.
“Jarak tempuh Pukgoksong-2 adalah 1.200-2.000 kilometer. Rudal ini bisa mencapai Jepang, terutama ke pangkalan-pangkalan militer AS di sana,” ujar Kwon.
Adapun China melalui tajuk di kantor berita nasional Xinhua mengkritisi Jepang yang memilih untuk meningkatkan anggaran membeli senjata, bukannya membuka berbagai dialog damai dengan para tetangga. Padahal, Jepang menganggap diri mereka adalah negara pasifis. (AP/REUTERS)