Di dalam dokumen kebijakan baru, China tidak disebut sebagai ancaman, tetapi ”kekhawatiran serius” dan ”tantangan strategis terbesar” Jepang. Jepang juga menyebut Rusia sebagai ”tantangan”.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
TOKYO, RABU — Pemerintah Jepang akan merombak besar-besaran kebijakan pertahanannya dengan menaikkan anggaran pertahanan, membentuk ulang komando militer, dan memiliki rudal baru untuk mengantisipasi ancaman dari China. Kebijakan baru yang tertuang di dalam tiga dokumen pertahanan dan keamanan ini kemungkinan akan diumumkan pada Jumat (16/12/2022). Kebijakan baru ini tidak hanya mengubah, tetapi juga membentuk ulang lanskap pertahanan Jepang yang selama ini memiliki konstitusi pasifis atau antiperang.
”Memperkuat kemampuan pertahanan kita menjadi tantangan paling mendesak dalam situasi keamanan yang parah sekarang ini. Kami akan segera meningkatkan kemampuan pertahanan selama lima tahun ke depan,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada akhir pekan lalu.
Perubahan Jepang ini akibat dari kekhawatiran pada situasi keamanan dunia yang semakin tidak menentu akhir-akhir ini, mulai dari kekuatan militer China yang terus meningkat, ancaman peluncuran rudal Korea Utara, hingga invasi Rusia ke Ukraina. Kunci dari perubahan kebijakan pertahanan ini terletak pada peningkatan anggaran pertahanan hingga 2 persen dari pendapatan domestik bruto pada 2027. Ini akan menempatkan posisi Jepang menjadi sejajar dengan anggota-anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Peningkatan anggaran 1 persen saja sudah dianggap bersejarah serta memicu kritik dan perdebatan mengenai cara pembiayaannya. Kenaikan anggaran 2 persen itu akan digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang disebut Jepang sebagai ”kapasitas serangan balik”, yakni kemampuan menyerang balik dengan presisi, bahkan melancarkan serangan lebih dulu (preemptive). Selama ini, Jepang tidak mengejar kemampuan itu karena khawatir akan melanggar konstitusi yang menekankan penggunaan militer hanya untuk kepentingan membela diri.
Untuk menepis kekhawatiran, di dalam dokumen kebijakan baru ditegaskan Jepang tetap berkomitmen pada kebijakan keamanan yang berorientasi pada pertahanan diri dan tidak akan menjadi kekuatan militer. Peningkatan kapasitas untuk mempertahankan diri diwujudkan dalam bentuk pembelian 500 rudal jelajah Tomahawk buatan Amerika Serikat. Jepang sedang mempertimbangkan untuk membeli rudal itu sebagai penahan sementara karena Jepang masih mengembangkan rudal jarak jauh di dalam negeri.
Harian Jepang, Yomiuri, menyebutkan, Jepang akan mengerahkan lebih dari 1.000 rudal jelajah jarak jauh yang mampu mencapai Korea Utara atau wilayah pesisir China. Untuk mengembangkan kapasitas rudal domestik jarak jauh, kemungkinan Jepang akan menghabiskan anggaran hingga 5 triliun yen atau 37 miliar dollar AS.
Jepang juga mengumumkan rencana mengembangkan pesawat jet tempur generasi baru bersama dengan Italia dan Inggris. Selain itu, ada pula rencana membangun depot amunisi baru dan meluncurkan satelit untuk membantu mengarahkan serangan balik.
Harian Nikkei melaporkan, perubahan postur pertahanan Jepang ini akan memengaruhi organisasi militer. Tiga cabang Pasukan Bela Diri Jepang nantinya akan berada di bawah satu komando.
Akan ada unit baru yang khusus menangani pesawat nirawak dan unit lain yang didedikasikan untuk perang dunia maya serta peningkatan kapasitas untuk mengumpulkan informasi dan merespons persenjataan berteknologi tinggi, seperti bom luncur dan senjata hipersonik. Jumlah Pasukan Bela Diri Jepang di Okinawa, pulau paling selatan Jepang, bertambah dari 2.000 menjadi 3.000 tentara.
Di dalam dokumen kebijakan baru, China tidak disebut sebagai ancaman, tetapi ”kekhawatiran serius” dan ”tantangan strategis terbesar” Jepang. Kekhawatiran kepada China semakin besar sejak China melakukan latihan militer besar-besaran di sekitar wilayah Taiwan, Agustus lalu. Pada waktu itu, ada rudal yang jatuh di wilayah perairan Jepang.
Jepang juga menyebut Rusia sebagai ”tantangan”, sama seperti China. Padahal, di dalam dokumen kebijakan sebelumnya pada 2013, baik China maupun Rusia disebut sebagai pihak-pihak yang diajak kerja sama demi meningkatkan kualitas hubungan. Jepang ikut bergabung dengan negara-negara Barat dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina. Ini membuat hubungan keduanya kian beku.
Perombakan pertahanan Jepang yang radikal ini kemungkinan akan membuat marah China dan memicu perdebatan lagi di dalam negeri. ”Bagi para pembuat kebijakan pertahanan Jepang, perkembangan ini tidak mewakili kebangkitan militer, tetapi langkah baru dalam normalisasi pertahanan dan keamanan nasional yang lambat dan bertahap,” kata James Brady, Wakil Presiden Konsultan Teneo. (AFP)