Ada kekhasan dalam relasi Indonesia dengan Korea Selatan dibandingkan dengan negara-negara lain. Sama-sama kekuatan menengah, dengan perbedaan yang ada, dua negara punya sejumlah kemiripan dari sudut pandang jurnalisnya.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
Sebanyak 14 jurnalis Indonesia dan 6 jurnalis Korea Selatan bertemu di bilangan Seminyak, Bali, Jumat (16/12/2022), dan mendiskusikan berbagai isu yang melingkupi hubungan kedua negara asal mereka. Digelar dalam format aturan Chatham House, dialog berlangsung secara terbuka. Setiap jurnalis memaparkan pandangan dan informasi secara terbuka, serta mengemukakan sejumlah insight.
Dialog ditutup dengan kunjungan ke Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, tempat Presiden Joko Widodo menerima para tamu pemimpin negara-negara G20 dalam resepsi makan malam pada KTT G20, tepat sebulan sebelumnya. Penyelenggara diskusi, lembaga Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan The Korean Foundation (KF), berseloroh, lantaran diikuti 20 wartawan, dialog tersebut dipelesetkan menjadi J20, singkatan dari ”Jurnalis 20”.
Hubungan Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) menarik dicermati bukan saja karena akan menginjak 50 tahun pada 2023. Pendiri dan Ketua FPCI Dino Patti Djalal menyebut hubungan kedua negara memiliki potensi strategis dan komprehensif yang benar-benar hidup. Indonesia-Korsel telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) pada 18 Desember 2020.
Setelah diratifikasi pada Agustus lalu, CEPA Indonesia- Korsel ditargetkan mulai diimplementasikan pada Januari 2023. Menurut Dino, sejumlah CEPA telah ditandatangani Indonesia dengan negara lain, tetapi tidak sedikit yang hanya berjalan ”di atas kertas”.
Tidak demikian halnya dengan Korsel, lanjut mantan wakil menteri luar negeri itu. ”Dengan Korea Selatan, potensinya terbuka lebar. Sama-sama negara kekuatan menengah, hubungan Indonesia-Korsel tidak serumit dan tidak terbebani ’bagasi’, seperti dalam hubungan dengan China atau AS,” ujar Dino dalam pengantar dialog.
Di bawah pemerintahan baru Presiden Yoon Suk Yeol, dengan strategi dan kebijakan luar negeri yang berbeda dari pendahulunya, Moon Jae-in, hubungan Korsel-Indonesia tak terpengaruh. Yoon telah menegaskan kebijakan dasar luar negerinya, yang dia sebut sebagai ”negara poros utama dunia (global pivotal state)”.
Dengan kebijakan itu, Yoon seolah mengoreksi langkah diplomasi Moon yang dinilai terlalu terpaku pada isu Korea Utara. Seperti ditulisnya sendiri dalam jurnal Foreign Affairs, 8 Fabruari 2022, Yoon ingin menjadikan Korsel negara yang lebih dihormati di komunitas internasional dengan ”mendorong kebebasan, perdamaian, dan kemakmuran melalui nilai-nilai demokrasi liberal dan kerja sama substansial”.
Apa pun dinamika yang terjadi di Korsel, secara umum hubungan negara itu dengan Indonesia tak banyak terpengaruh.
Korsel di bawah nakhoda Yoon ingin mengambil peran dan inisiatif lebih proaktif di kawasan yang lebih luas. Di Indo-Pasifik, misalnya, Seoul akan lebih aktif mendorong tatanan yang bebas, terbuka, dan inklusif. Untuk mencapai tujuan itu, di bidang keamanan Korsel tak mau tersandera oleh jalinan kerja sama ekonomi—dengan China, misalnya—lewat keinginannya bergabung dengan Dialog Keamanan Kuadrilateral (Quad) bersama AS, Australia, India, dan Jepang.
Apa pun dinamika yang terjadi di Korsel, secara umum hubungan negara itu dengan Indonesia tak banyak terpengaruh. Akhir Juli 2022, Presiden Joko Widodo bertandang ke Korsel, bertemu Presiden Yoon, sekitar 2,5 bulan setelah pelantikannya, dalam tur Asia Timur. Terjalin penguatan kerja sama ekonomi, pertahanan, dan budaya.
”Tak seperti banyak pemimpin negara G20 lain yang sempat ragu (datang atau tidak), Presiden Yoon sejak awal menyatakan akan hadir pada KTT G20,” ujar Dino, merujuk KTT yang digelar di Bali, 15-16 November.
Saat menghadiri pelantikan Yoon sebagai presiden ke-13 Korsel, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri sudah dianggap seperti ”ibu sendiri” oleh Ibu Negara Korsel Kim Keon Hee. Kedekatan Jakarta- Seoul akan semakin panjang jika relasi nonpemerintah—kerap diistilahkan diplomasi jalur kedua—disebut.
Tetap prioritas
Meski ada pergeseran orientasi kebijakan di bawah Yoon, Korsel tidak meninggalkan kebijakan sebelumnya, ”menoleh ke selatan” melalui inisiatif New Southern Policy. Kebijakan ini diluncurkan Presiden Moon pada 2017 dengan menjadikan ASEAN dan India mitra strategis.
”Negeri kami mengalami populasi yang menua, sementara sebagai negara pengekspor, Korsel harus mencari pasar baru. Indonesia dan ASEAN serta India menyediakan peluang pasar baru dengan kondisi yang stabil dan penduduknya yang terus tumbuh,” kata salah satu jurnalis Korsel dalam forum dialog FPCI.
Itu sebabnya, sembari membidik strategi dan kebijakan baru luar negerinya, pemerintahan Yoon tetap merawat jalinan ”relasi dengan selatan”. Berbagai jalur dan dialog, melibatkan berbagai trek diplomasi, diselenggarakan. Melalui The Korea Foundation, diplomasi antarwarga (people-to-people) digelar. Forum Dialog Jurnalis Indonesia-Korea tak lepas dari konteks itu.
”Kami ingin media berperan sebagai jembatan dalam hubungan antarnegara kita,” kata Moon Young-ju, Konsul Jenderal Korsel di Bali.
Tak selalu baik-baik
Dalam diskusi, jurnalis dari kedua negara berbagi cerita dan membahas sejumlah isu. Mulai dari tantangan media di negara masing-masing, isu demokrasi, kebebasan pers, strategi dan kebijakan luar negeri, hingga beberapa isu geopolitik kawasan dan global. Dengan aturan Chatham House yang disepakati, para jurnalis leluasa dan blak-blakan mengungkapkan isu-isu itu di negaranya, termasuk mengkritisi negara masing-masing.
Hal tersebut, misalnya, saat topik diskusi memasuki isu demokrasi dan kebebasan pers. Ada kemiripan situasi di Indonesia ataupun Korsel mengenai tantangan dalam isu tersebut. Jika di Indonesia kebebasan pers menghadapi tekanan dari para pendengung (buzzer) pendukung penguasa, kelompok politik, atau kelompok keagamaan, hal hampir serupa juga terjadi Korsel.
Rekan jurnalis Korsel, misalnya, bercerita soal intimidasi yang dialaminya saat mengungkap kasus-kasus pengusaha, termasuk pemilik perusahaan pemasang iklan di media. Intimidasi itu berupa ancaman keselamatan fisik dan ancaman penghentian belanja iklan. Gesekan juga terjadi antara media dan pemerintah.
”Dari dialog semacam ini, saya menjadi tahu, dengan perbedaan kondisi setiap negara, kita ternyata mengalami tantangan yang hampir sama,” kata Jung Mingyu, wartawan KBS di Busan, seusai acara.
Menurut Direktur The Korea Foundation Choi Hyun-soo, dialog semacam itu penting dalam meningkatkan relasi Indonesia-Korsel. Lembaga KF berada di bawah Kementerian Luar Negeri Korsel. ”Tidak masalah jika sejumlah pandangan kritis dan tajam oleh media diarahkan kepada pemerintah,” ujar Choi.