Hukuman mati atas tahanan yang dituduh sebagai pelaku kerusuhan pada unjuk rasa anti-Pemerintah Iran berlanjut. Eksekusi atas terpidana mati kedua ini dilaksanakan secara terbuka di kota Mashhad, 740 km timur Teheran.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
DUBAI, SENIN — Pemerintah Iran menghukum mati terpidana kedua terkait unjuk rasa yang dipantik oleh kematian Mahsa Amini. Eksekusi berupa hukum gantung ini dilakukan di depan umum. Negara-negara Barat, pegiat hak asasi manusia, dan warganet mengecam pelaksanaan hukuman itu karena tidak melalui pengadilan yang terbuka dan adil.
Terhukum bernama Majid Reza Rahnavard (23) dieksekusi di kota Mashhad, sekitar 740 kilometer sebelah timur Teheran, Senin (12/12/2022). Sebelumnya, Kamis (8/12/2022), Iran mengeksekusi mati Mohsen Shekari (23) di penjara di Teheran.
Rahnavard divonis mati atas dakwaan melawan Tuhan. Ia didakwa ketika berunjuk rasa melawan pemerintah pada 17 November, ia menusuk dua anggota kelompok sipil bersenjata, Basij, yang beroperasi di bawah komando Garda Revolusi Iran, hingga tewas dan melukai empat anggota lain. Ia berusaha melarikan diri ke luar negeri, tetapi ditangkap oleh aparat penegak hukum, 23 hari lalu.
Setelah itu, Rahnavard diadili di Pengadilan Revolusi di Mashhad. Warganet dan para pegiat HAM mengkritisi pengadilan ini karena Rahnavard tidak boleh memilih sendiri kuasa hukumnya ataupun diberi tahu mengenai bukti-bukti yang memberatkannya. Serupa dengan pengadilan yang dialami Shekari, publik menduga, kedua terdakwa disiksa di penjara dan dipaksa mengaku.
Kantor berita Mizan yang terafiliasi dengan lembaga peradilan Iran mengatakan, ada bukti video dari telepon genggam ketika Rahnavard menusuk dua anggota Basij. Di pengadilan, Rahnavard dikabarkan juga mengaku membenci Basij setelah melihat kelompok itu melakukan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa.
Atas pengakuan tersebut, Iran sebagai negara teokratik mengategorikan kejahatan Rahnavard ataupun Shekari melukai anggota Basij sebagai menentang Tuhan.
”Ini bukan pengadilan, tetapi hanya formalitas administrasi,” kata Mahmood Amiry-Moghaddam, Direktur Hak Asasi Iran yang berkantor di Norwegia.
Tidak ada sistem banding di pengadilan Shekari ataupun Rahnavard. Proses vonis hingga eksekusi dilakukan tidak sampai dua pekan.
Lembaga Amnesty International menyebut, ada 21 tahanan lain yang telah divonis mati oleh pengadilan Iran. Tidak ada yang tahu jadwal pelaksanaan hukuman, tetapi mereka mengkhawatirkan pemerintah melakukan segera. Sejumlah pegiat HAM dalam negeri mengungkapkan, sebenarnya sudah ada beberapa tahanan yang dieksekusi diam-diam dalam penjara tanpa melalui proses pengadilan yang diketahui oleh publik.
Terdapat beberapa versi tentang data jumlah korban. Pemerintah Iran menyebut 200 korban tewas, sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan ada 300 orang. Media independen HIRANA melaporkan, ada 488 korban tewas, mencakup 68 remaja di bawah umur 17 tahun. Dari pihak aparat penegak hukum ada 62 orang tewas. Total pengunjuk rasa yang ditahan ada 18.259 orang.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Joseph Borrell mengecam eksekusi tersebut. Ia menuturkan, Uni Eropa tengah menggodok sanksi ekonomi yang lebih berat lagi untuk Iran. Negara itu sejatinya telah dilanda krisis ekonomi akibat pandemi dan nilai mata uangnya terpuruk.
Kecaman serupa dilontarkan Pemerintah Jerman. ”Jerman berpihak kepada rakyat Iran yang memperjuangkan hak-hak mereka. Jerman mengecam pemerintahan yang menindas rakyat sendiri,” kata Menlu Negeri Jerman Annalena Baerbock.
Juru Bicara Kemenlu Iran Nasser Kanaani mengatakan, Iran telah melalui proses hukum sesuai dengan aturan mengenai penangkapan, pengadilan, dan penjatuhan vonis kepada para perusuh yang menyusup dalam unjuk rasa. Ia memperingatkan negara-negara lain agar tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran.
Suasana di Iran masih tegang. Toko-toko tutup dan para pekerja, termasuk guru, menggelar mogok massal. Mereka berunjuk rasa melawan pemerintah yang di bawah kepemimpinan Ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Ebrahim Raisi dinilai otoriter.
Unjuk rasa dalam tiga bulan terakhir ini dipantik oleh kematian Mahsa Amini (22), perempuan Kurdi yang ditangkap oleh polisi moral karena dianggap tidak mengenakan jilbabnya sesuai aturan negara.
Amini meninggal di rumah sakit pada 16 September yang diduga karena disiksa oleh polisi moral. Pemerintah Iran menyangkal tuduhan itu dan mengatakan bahwa Amini memiliki penyakit bawaan. (AP/AFP/REUTERS)