Timur Tengah Tetap Jadi Pusat Konflik Sepanjang 2022
Meskipun perang besar paling menonjol yang pecah pada 2022 adalah perang Ukraina-Rusia, secara kuantitas konflik terbanyak berada di Timur Tengah. Enam dari 10 konflik besar dunia pada 2022 berkecamuk di kawasan itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Beberapa hari lagi, dunia akan meninggalkan tahun 2022 dan segera memasuki tahun baru 2023. Sepanjang tahun 2022, dunia masih diwarnai konflik berdarah. Peperangan berkobar di sana-sini. Menurut laporan tahunan harian Asharq al-Awsat tentang konflik internasional, terdapat 10 konflik besar dunia pada tahun 2022.
Meskipun perang besar paling menonjol yang pecah pada tahun 2022 adalah perang Ukraina-Rusia, secara kuantitas konflik terbanyak berada di kawasan Timur Tengah. Asharq al-Awsat mencatat, 6 dari 10 konflik besar dunia pada tahun 2022 berkecamuk di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya.
Dari enam konflik tersebut, yang menonjol adalah konflik klasik Palestina-Israel. Kemudian, ada konflik Yaman, Afghanistan, Suriah, Libya, dan merebaknya terorisme di kawasan Sahel Sahara (kawasan yang meliputi Libya selatan, Aljazair selatan, Mali, Chad, Niger, dan Sudan barat).
Karakter konflik di Timur Tengah jauh lebih rumit dan berlangsung lebih panjang dibandingkan konflik di kawasan lain. sebab, konflik di Timur Tengah sering mengundang campur tangan asing akibat banyak kekuatan internasional dan regional yang memiliki kepentingan di kawasan itu.
Pakar politik pada Akademi Militer Al Nasser di Kairo, Sayyed Ghanem, mengatakan bahwa konflik di Timur Tengah selalu memiliki dua dimensi, yakni lokal dan regional/internasional. Ia menyebut, konflik di Timur Tengah, meskipun semula bersifat lokal, segera menjadi konflik regional atau internasional karena selalu menarik campur tangan regional atau internasional.
Menurut Ghanem, kenyataan bahwa konflik Timur Tengah selalu menarik campur tangan asing adalah suatu hal yang wajar. Hal ini karena sangat pentingnya nilai kawasan Timur Tengah di mata kekuatan regional dan internasional.
Letak geografis Timur Tengah sangat strategis sejak zaman dahulu sampai saat ini. Kawasan itu menjadi persimpangan lalu lintas antara Eropa dan Asia.
Pada era modern, kawasan Timur Tengah semakin strategis menyusul dibukanya Terusan Suez pada abad ke-19 Masehi, yang mempersingkat perjalanan dari Eropa ke Asia dan sebaliknya. Pada awal abad ke-20 Masehi, nilai kawasan Timur Tengah semakin strategis lagi di mata internasional menyusul ditemukannya minyak di Arab Saudi dan kemudian juga di negara Arab Teluk lainnya, seperti di Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Terakhir ini, nilai kawasan Timur Tengah pun kian berkilau menyusul ditemukannya gas dalam jumlah sangat besar di kawasan Laut Tengah bagian timur yang sebagian besar bertepi ke negara-negara Timur Tengah. Diperkirakan Laut Tengah bagian timur menyimpan 120 triliun meter kubik gas. Cadangan gas ini kini menjadi perebutan antara negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur itu.
Konflik di Timur Tengah, meskipun semula bersifat lokal, segera menjadi konflik regional atau internasional karena selalu menarik campur tangan regional atau internasional.
Pada Januari 2019, tujuh negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur sepakat membentuk Forum Gas Laut Tengah Bagian Timur (The EastMed Gas Forum) dengan kantor pusat di Kairo, Mesir. Tujuh negara tersebut adalah Mesir, Yunani, Siprus, Israel, Italia, Jordania, plus Otoritas Palestina. Forum tersebut bertujuan untuk mencegah konflik dan sekaligus koordinasi terkait manajemen dan pemasaran penjualan gas di kawasan perairan itu.
Karena itu, apa pun konflik di Timur Tengah sangat mudah menjadi perhatian internasional dan sekaligus turut campur didalam konflik tersebut.
Konflik klasik Palestina-Israel, misalnya, telah berlangsung lebih dari enam dekade. Sampai saat ini tidak ada ujung penyelesaiannya. Konflik tersebut dikenal sebagai konflik paling rumit di muka bumi ini.
Menurut pakar politik Palestina, Jihad Harazein, tidak akan ada stabilitas di kawasan Timur Tengah selama konflik Palestina-Israel belum terselesaikan. Ia menyebut, terus berlarut-larutnya konflik Palestina-Israel tak lepas dari sikap dan posisi negara-negara Barat yang masih menerapkan standar ganda atas konflik tersebut.
Menurut Harazein, negara-negara Barat, khususnya Amerika Sserikat, sering memberi payung hukum dan politik atas Israel, seperti penggunaan hak veto oleh AS atas semua resolusi yang merugikan Israel di forum Dewan Keamanan PBB.
Adapun berlarut-larutnya konflik di Suriah juga akibat intervensi kekuatan regional dan internasional di negara itu. Kekuatan regional yang melakukan intervensi di Suriah adalah Turki, Iran, dan Israel. Turki malah menempatkan pasukannya semipermanen di Suriah utara.
Adapun Iran juga mengirim milisi bersenjata ke kawasan sekitar kota Damaskus dan kawasan perbatasan Suriah-Lebanon. Israel pun langganan mengirim pesawat-pesawat tempurnya ke Suriah untuk menggempur sasaran milisi Iran dan Hezbollah yang loyalis Iran di Suriah.
Sementara kekuatan internasional adalah Rusia yang menempatkan pasukannya secara permanen di Suriah sejak tahun 2015. Bahkan, Rusia memiliki pangkalan angkatan laut secara permanen di kota Pelabuhan Tartus dan pangkalan udara militer di pangkalan udara Khmeimim. AS juga menempatkan pasukan di Suriah timur, dekat perbatasan dengan Irak. AS memiliki pangkalan militer pula di Tanf, dekat perbatasan dengan Irak dan Jordania.
Hal yang sama terjadi juga di Libya. Turki menempatkan pasukannya secara permanen di kota Tripoli sejak tahun 2019. Rusia mendapat fasilitas pangkalan udara militer di kota Jafra, Libya tengah.
Di Yaman juga terjadi hal yang sama. Arab Saudi dan UEA menempatkan pasukannya secara permanen di Yaman selatan dan timur. Sementara Iran menyuplai senjata secara rutin lewat laut kepada kelompok Houthi yang menguasai ibu kota Sana’a.
Intervensi kekuatan regional dan internasional dalam konflik Palestina-Israel, Suriah, Libya, dan Yaman berandil besar memperpanjang konflik di Timur Tengah. Pakar politik pada Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah di Fez, Maroko, Saeed Sadiqi, mengatakan bahwa perang di Timur Tengah telah menghentikan laju ekonomi dan produksi serta menghambat semua proyek pembangunan di negara yang dilanda perang tersebut.
Ia menyebut, banyak generasi muda di negara-negara Arab tersia-sia akibat perang berkepanjangan. Sadiqi mengimbau segera dibangun sistem kerja sama Arab yang efektif dan modern, seperti Uni Eropa dan ASEAN, agar bisa berandil mengurangi atau menghentikan kekerasan di sejumlah negara Arab. Ia menambahkan pula agar segera ada reformasi lembaga Liga Arab yang tampak tak berdaya menghadapi berbagai krisis dan konflik di dunia Arab.