Akhirnya, ada pelonggaran dari berbagai pembatasan wilayah yang sangat ketat di China. Meski demikian, unjuk rasa masih terjadi di beberapa tempat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Pemerintah China memberlakukan pelonggaran karantina wilayah total (lockdown) di sejumlah kota. Alasannya, virus korona jenis baru varian Omicron ini tidak seganas jenis-jenis sebelumnya sehingga pembatasan pergerakan masyarakat secara ketat tidak diperlukan lagi. Pada saat yang sama, warga masih melakukan unjuk rasa menolak kebijakan nihil Covid-19.
Pengumuman pelonggaran itu disampaikan Wakil Perdana Menteri China Sun Chunlan kepada kantor berita nasional Xinhua, Kamis (1/12/2022). ”Gejala penyakit yang diakibatkan penularan Covid-19 jenis Omicron relatif lebih ringan dan tidak mengakibatkan kematian. Oleh sebab itu, pemerintah melonggarkan pembatasan dan warga diperbolehkan berkegiatan kembali,” tuturnya.
Kota-kota yang menerapkan pelonggaran, antara lain, Guangzhou, Shanghai, dan Beijing. Ketiga kota itu terhitung memiliki jumlah kasus aktif yang cukup tinggi untuk standar China, yaitu 1.000 kasus. Data per Rabu (30/11/2022) menyebutkan, secara nasional ada 36.000 kasus aktif.
Terdapat pula kabar bahwa pemerintah mengizinkan orang positif Covid-19 isolasi mandiri di rumah masing-masing apabila mereka tidak bergejala ataupun bergejala ringan. Selama ini pasien positif wajib diisolasi di rumah sakit dan jika tidak ada tempat di fasilitas kesehatan, mereka dibawa ke hotel khusus isolasi. Berdasarkan aturan terbaru, hanya pasien dengan gejala berat, perempuan hamil, dan orang lansia yang harus dibawa ke tempat isolasi khusus.
Pemerintah juga akan menggenjot vaksinasi untuk penduduk berumur di atas 60 tahun. Baru 86,4 persen lansia China yang sudah divaksin lengkap dan 68,2 persen telah menerima dosis penguat. Penelitian Universitas Fudan yang terbit pada September 2022 menjelaskan, ada keraguan di kalangan orang lansia terhadap vaksin. Mereka takut terhadap efek samping vaksin dan risiko vaksin bisa bereaksi dengan berbagai penyakit penyerta ataupun pengobatan yang mereka miliki.
”Saya mau divaksin jika dokter yang merawat saya menulis surat anjuran dan menjamin tidak akan ada efek samping. Kalau disuruh ke posko vaksinasi, sendiri saya tidak mau,” kata Ye Weifang (83), warga Shanghai.
Sun dalam mengumumkan pelonggaran itu sama sekali tidak menyinggung mengenai kebijakan nihil Covid-19. Padahal, terjadi unjuk rasa di 17 kota di China serta enam kota di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia yang memprotes kebijakan tersebut. Kebijakan nihil Covid-19 berarti pemerintah tidak menoleransi satu pun kasus penularan. Dengan demikian, jika ada kasus, seluruh wilayah dikarantina total.
Para pakar kesehatan masyarakat telah menasihati pemerintah bahwa mustahil mencegah penularan. Hal yang bisa dilakukan ialah meningkatkan daya tahan tubuh dengan vaksinasi lengkap dan dosis penguat sehingga gejala yang dialami pasien tidak parah.
Secara statistik, sejak pandemi bermula pada 2020 hingga sekarang, angka kematian akibat Covid-19 di China mencapai 5.200 jiwa. Jumlah ini sangat rendah untuk negara berpenduduk 1,4 miliar. Artinya, ada tiga dari 1 juta orang yang meninggal akibat Covid-19. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang angka kematiannya sebanyak 3.000 dari 1 juta jiwa dan Inggris yang mencapai 2.400 per 1 juta penduduk. China membanggakan kebijakan nihil Covid-19 sebagai kesuksesan ini. Akan tetapi, perekonomian terganggu. Usaha-usaha mikro hingga makro merugi.
Masyarakat stres karena hidup mereka terkurung. Selain itu, ada beberapa tragedi yang merenggut nyawa gara-gara pertolongan medis terlambat datang akibat birokrasi kebijakan yang berbelit-belit. Kejadian itu, antara lain, kebakaran gedung apartemen di Urumqi yang menewaskan 10 orang; kematian bayi berumur 4 bulan di Zhengzhou karena muntaber dan terlambat ditolong; dan kematian anak laki-laki berumur 3 tahun di Lanzhou akibat keracunan gas kompor dan tidak bisa segera dilarikan ke rumah sakit.
Unjuk rasa ini oleh beberapa media disebut ”revolusi kertas kosong”. Ini karena para peserta membawa sehelai kertas putih yang tidak ditulisi apa pun. Mereka tidak mau menorehkan pesan-pesan antipemerintah sehingga kertas menjadi simbol perlawanan. Akan tetapi, di Shanghai, ada sejumlah peserta yang berani meneriakkan kemarahan kepada Presiden Xi Jinping yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC). Mereka pun menyerukan agar PKC dibubarkan.
Aparat penegak hukum menangkap wartawan dan pengunjuk rasa. Menurut pengacara di kota Zhengzhou, Wang Shengsheng, ia menerima 24 kasus orang yang ditangkap polisi karena dituduh mengikuti unjuk rasa. “Polisi menggunakan aplikasi pengenalan wajah di kamera-kamera pengawas dan melacak koordinat telepon genggam mereka yang hadir di lokasi unjuk rasa. Setelah itu, mereka diciduk di rumah masing-masing,” ujarnya.
Wang mengungkapkan, beberapa dari kasus yang ditanganinya ialah kasus salah tangkap. Artinya, individu tersebut kebetulan melewati tempat unjuk rasa atau sekadar melihat karena penasaran. Mereka mengaku tidak ikut memprotes pemerintah, tetapi polisi menangkap mereka karena berada di lokasi. (AFP/Reuters)