China masih mempertahankan kebijakan nirkasus baru untuk menghadapi pandemi Covid-19. Karena tidak kunjung berakhir, warga mulai marah dan protes. Unjuk rasa di China mencemaskan pelaku pasar global
Oleh
KRIS MADA, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
London, Senin-Pasar global menunjukkan kecemasan atas unjuk rasa di China. Pasar khawatir pencabutan karantina wilayah (lockdown) untuk pengendalian Covid-19 di China menjadi semakin kabur gara-gara unjuk rasa itu.
Rangkaian unjuk rasa terjadi di beberapa kota di China sepanjang pekan lalu. Kebakaran di salah satu rumah susun di Xinjiang pada 25 November 2022 menjadi salah satu faktor pemicu unjuk rasa. Warga marah dan menuding lockdown terlalu ketat berkontribusi pada kematian 10 orang di rusun itu.
“Pembukaan kembali tidak akan mudah. Sepertinya perekonomian China akan semakin tertekan, bisa karena karantina yang tidak kunjung berakhir atau karena krisis kesehatan,” kata analis senior Swissquote Bank, Ipek Ozkardeskaya, dalam catatan yang diedarkan pada Senin (28/11/2022).
Ekonom Natixis, Gary NG, mengingatkan pasar Asia sangat terhubung satu sama lain. Karena itu, dampak gangguan pasar China bisa meluas ke berbagai negara. “Pasar tidak suka ketidakpastian. Unjuk rasa di China menyebabkan kondisi ini,” ujarnya.
Seperti dikhawatirkan Ozkardeskaya, pasar pun bereaksi negatif atas perkembangan di China. Ketidakpastian pemulihan China membuat harga minyak anjlok. Dalam perdagangan senin, minyak WTI dijual 74 dollar AS per barel dan Brent 81 dollar AS. Pedagang khawatir permintaan minyak akan semakin berkurang kala perekonomian China tidak kunjung pulih.
China merupakan importir minyak terbesar. “Permintaan akan terus terpangkas,” kata Direktur Pasar Minyak China pada S&P Global Commodity Insights, Fenglei Shi.Sejumlah analis memprediksi, kebutuhan harian minyak China sepanjang triwulan IV 2022 hanya 15,11 juta barel. Di periode yang sama tahun lalu, China butuh 15,82 juta barel per hari.
Penurunan permintaan energi China gara-gara pembatasan gerak terlihat antara lain aras kemacetan. Data dari Baidu, sejenis Google di China, menunjukkan arus lalu lintas Beijing pekan lalu berkurang 45 persen dibandingkan periode sama pada 2021. Sementara di Guangzhou, penurunannya hanya 35 persen.
Dorongan
Ekonom Kepala Nomura kantor Singapura, Robert Subbaraman, mengatakan unjuk rasa tidak sepenuhnya berdampak buruk. “Protes bisa menjadi katalis bagi pemerintah (China) untuk menetapkan rencana lebih jelas dalam menghadapi pandemi. China akan hidup berdampingan dengan Covid-19,” ujarnya kepada Bloomberg.
Ekonom Goldman Sachs kantor Hong Kong, Hui Shan, menyebut Beijing harus segera memilih akan terus melakukan kuncitara atau tambahan kasus baru Covid-19. “Kondisi sekarang berpeluang membuat pertumbuhan produk domestik bruto di bawah target,” ujarnya.
Beijing terus melaporkan kenaikan jumlah kasus baru sepanjang November 2022. Dari rata-rata 1.000 kasus per hari, China melaporkan 40.347 kasus baru pada Minggu (27/11/2022). Lonjakan semakin tinggi selepas rangkaian unjuk rasa terjadi di berbagai daerah.
Ekonom pada Commonwealth Bank Of Australia Joe Capurso mengatakan, sulit bagi China segera mengakhiri kuncitara. Salah satu perintangnya adalah banyak orang lanjut usia belum divaksinasi lengkap. “Dampak ekonominya akan besar,” kata dia.
Perumus strategi pasar pada RBC Capital, Alvin Tan, menyebut Beijing bukan hanya harus menghadapi lonjakan kasus baru. Protes bisa mengalihkan fokus China dari mengelola reaksi pasar pada renminbi. “Pasar merasakan risiko politis,” kata dia.
Jenuh
Masyarakat China muak dan jenuh dengan kebijakan nihil Covid-19 yang ketat. Ini cara pemerintah mengendalikan pandemi, yaitu memastikan tidak ada penularan sama sekali di masyarakat. Jika ada satu orang saja yang terjangkit, tidak hanya satu gedung apartemen, tetapi bisa-bisa satu daerah terkena kuncitara.
Para pelaku usaha mengeluh kebijakan seperti ini merusak perekonomian karena jadwal buka dan tutup tempat usaha terganggu. Bahkan, perusahaan-perusahaan internasional turut mengutarakan keluhan serupa. Berdasarkan Biro Statistik Nasional China, angka pengangguran pemuda sejak pandemi menjadi 18,7 persen.
Selain tidak bebas bergerak, masyarakat marah akibat berbagai kejadian yang berujung kematian gara-gara pertolongan yang terlambat datang. China News Weekly dua pekan lalu melaporkan, di Zhengzhou, Provinsi Henan, seorang bayi berumur 4 bulan meninggal akibat diare dan muntah-muntah. Bayi itu dan orangtuanya sedang diisolasi karena ibunya positif Covid-19. Ayah si bayi sudah dua kali menelepon ambulans meminta pertolongan, tetapi petugas kesehatan menolak dengan alasan gedung tempat mereka diisolasi sedang terkena lockdown.
Terdapat pula kasus anak laki-laki berumur 3 tahun di Lanzhou, Provinsi Gansu, yang meninggal akibat keracunan gas. Kompor gas di apartemen keluarganya bocor. Orangtua berusaha mencari pertolongan medis, tetapi datangnya lama sekali. Bahkan, butuh waktu satu jam untuk membuka gedung apartemen mereka akibat kebijakan nihil Covid-19.
Unjuk rasa berlangsung antara lain di Urumqi, Beijing, Wuhan, dan Shanghai. Kebanyakan peserta yang merupakan mahasiswa berunjuk rasa dengan menampakkan sehelai kertas kosong. Unjuk rasa memprotes kebijakan pemerintah adalah kejahatan serius di China. Oleh sebab itu, kertas kosong, walaupun tidak ditulisi pesan-pesan protes, menjadi lambang kemarahan dan ketidakpuasan rakyat.
Di Shanghai, peserta unjuk rasa lebih frontal. Media arus utama lokal dan nasional tidak melaporkan aksi tersebut, tetapi media sosial dan media arus utama asing menulis serta menyiarkan unjuk rasa itu. Para pendemo meneriakkan yel-yel yang meminta Presiden Xi Jinping mundur dari tampuk kepemimpinan.
Presiden China sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis China itu baru terpilih lagi untuk ketiga kalinya. Ini dipandang sebagai kemenangan politik gemilang. Pada saat yang sama, kebijakan nihil Covid-19 ini membuat masyarakat tidak simpatik kepada Xi. (AFP/REUTERS)