”Revolusi Kertas Kosong” dan Pertaruhan Reputasi Xi Jinping
Unjuk rasa anti-kebijakan nihil Covid-19 di China kini dijuluki ”revolusi kertas kosong”. Rakyat tidak puas, pemerintah serba salah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Unjuk rasa menentang kebijakan nihil Covid-19 di China masih berlangsung. Rakyat, dengan cara yang damai dan tidak konfrontatif, mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap sistem pencegahan penularan virus yang merenggut kemerdekaan pribadi ataupun publik. Bagi Presiden China Xi Jinping, lanjut atau berhentinya kebijakan tersebut sama-sama akan mencederai reputasinya.
Apabila membuka media sosial China, Weibo ataupun Baidu, dan mengetik kata-kata kunci antara lain ”Shanghai”, ”Urumqi”, dan ”Beijing”, tidak akan muncul informasi mengenai unjuk rasa yang terjadi di kota-kota itu. Pada Senin (28/11/2022), ketika mengetik kata ”A4”, masih muncul berbagai tulisan, foto, dan video demonstrasi menolak kebijakan nihil Covid-19.
Kata kunci ”A4” ini berasal dari ukuran kertas kosong yang dibawa oleh para demonstran. Menulis pesan-pesan protes, apalagi anti-pemerintah, merupakan tindakan pidana serius. Sebagai kompensasi, pengunjuk rasa menjadikan selembar kertas kosong sebagai lambang perlawanan mereka. Akan tetapi, pada Selasa (29/11/2022), kata ”A4” juga disensor dari semua peramban di China.
Warga kemudian membagikan situasi untuk rasa itu melalui media sosial asing, terutama Facebook dan Twitter, yang mereka akses melalui jaringan virtual pribadi (VPN). Media-media arus utama di Taiwan dan Hong Kong kemudian cepat menamai aksi unjuk rasa ini bai zhi ge ming atau jika diterjemahkan secara harfiah menjadi ’revolusi kertas kosong’.
Para pengunjuk rasa menyerukan yel-yel meminta pemerintah menghentikan kebijakan nihil Covid-19. Sudah selama tiga tahun rakyat China tersandera kebijakan itu. Pemerintah beralasan tidak membiarkan ada satu pun kasus penularan. Jika kasus terjadi, satu wilayah langsung dikarantina total (lockdown). Publik banyak yang kehilangan mata pencarian, usaha-usaha mikro hingga makro pun terpukul. Apalagi, publik mulai mengalami tekanan mental.
Tiga kasus kematian akibat penguncian wilayah menjadi pemicu kemarahan publik. Kasus-kasus itu ialah kebakaran di apartemen di Urumqi, Provinsi Xinjiang, yang menewaskan 10 orang; meninggalnya bayi berumur empat bulan di Zhengzhou, Provinsi Henan, akibat muntaber; dan meninggalnya anak laki-laki berumur tiga tahun di Lanzhou, Provinsi Gansu, akibat keracunan gas kompor yang bocor. Semua kematian itu bisa dicegah apabila tenaga kesehatan sigap dan tidak terhalang aturan nihil Covid-19 yang mengharuskan setiap orang melewati proses birokrasi berjenjang, bahkan untuk sekadar meminta pertolongan pertama.
Di Shanghai, pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel meminta Xi turun baik dari jabatannya sebagai Presiden China maupun Sekretaris Partai Komunis China (PKC). Bahkan, ada juga orang-orang yang menyerukan pembubaran PKC. Beredar kabar para pengunjuk rasa ditangkap polisi, tetapi tidak ada informasi jelas mengenai jumlah ataupun alasan mereka ditangkap karena unjuk rasa berlangsung damai.
Selain di dalam negeri, unjuk rasa juga menyebar ke luar negeri. Para diaspora China mendatangi kedutaan-kedutaan besar mereka di London (Inggris), Sydney (Australia), Paris (Perancis), dan Tokyo (Jepang) untuk berunjuk rasa. Jumlah mereka dikabarkan hanya belasan hingga puluhan orang per demonstrasi, tetapi ini signifikan karena sentimen menolak aturan nihil Covid-19 juga dirasakan oleh kelompok diaspora.
Ekonom utama firma Goldman Sachs China, Shin Hui, memperkirakan kecil kemungkinan China membuka diri pada akhir tahun 2022. Bahkan, untuk triwulan kedua tahun 2023 kemungkinannya hanya 30 persen. ”Paling masuk akal bagi China untuk membuka diri pada permulaan ataupun pertengahan triwulan ketiga 2023,” ujarnya kepada media Taiwan, SET News.
Ia menjelaskan, dengan kemungkinan seperti itu, ekonomi China hanya akan naik maksimal 3 persen. Padahal, pemerintah mengharapkan ada kenaikan minimal 3,3 persen.
Sementara itu, mantan diplomat Inggris yang kini menjadi pengamat isu China, Charles Parton, menjelaskan kepada Bloomberg bahwa unjuk rasa ini bisa membuat Pemerintah China gamang. Apabila pemerintah memakai kekerasan untuk menghentikan unjuk rasa, reputasi Xi dan PKC akan tercemar. Apabila pemerintah melanjutkan aturan nihil Covid-19, ekonomi terperosok. Apabila pemerintah mencabut aturan itu, secara tidak langsung mereka mengakui aturan itu gagal.
Sejumlah pakar kesehatan di China sejatinya telah menerangkan bahwa penularan hanya bisa dicegah dengan pola hidup sehat, yaitu memakai masker dan menjaga jarak. Covid-19 sudah hadir secara permanen di dunia. Kegunaan vaksin ialah meningkatkan daya tahan tubuh agar tidak sakit parah jika tertular.
”Menargetkan nihil penularan ini mustahil. Tugas kita ialah terus mengembangkan vaksin dan pengobatan yang bisa meringankan gejala dan meningkatkan daya tahan tubuh,” kata Guan Yi, virolog dari Universitas Hong Kong, kepada Phoenix TV.
Surat kabar nasional China, GlobalTimes, tetap membela aturan nihil Covid-19. Mereka menekankan pentingnya penerapan aturan itu dengan memperhatikan kondisi lokal. Ada 20 aturan tambahan yang memungkinkan setiap wilayah melakukan adaptasi sesuai kekhasan masalah masing-masing. ”Kekeliruan selama ini ialah pemerintah daerah menerapkan aturan dengan memukul rata semua wilayah, tidak melihat persoalan kelompok rentan ataupun orang-orang dalam keadaan darurat,” tulis koran itu. (REUTERS)