Selain dinamika geopolitik, Konferensi Tingkat Tinggi G20 juga dipenuhi simbol. Simbol-simbol itu antara lain muncul dalam sejumlah gestur diplomasi. Makna dari simbol-simbol itu adalah kerja sama dan kemitraan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Konferensi Tingkat Tinggi G20 telah berlalu. Akan tetapi, menarik untuk melihat kembali berbagai gestur diplomasi yang digelar mengiringi perhelatan utama. ”Gerak diplomasi” itu antara lain muncul dalam sejumlah kegiatan yang berlangsung di luar meja KTT ataupun di luar kelompok-kelompok kerja, entah dari jalur keuangan atau jalur serpa.
Ragam diplomasi itu bernuansa di luar kepentingan geopolitik, ekonomi, atau keamanan kawasan. Tujuannya adalah semata-mata mempererat persahabatan, menumbuhkan kedekatan antarwarga atau biasa dikenal sebagai pendekatan people to people contact, dan kedekatan antarnegara melalui jalur personal.
Jika biasanya peran itu diambil oleh antarkelompok warga, pada perhelatan KTT G20 lalu, peran itu dimainkan oleh Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Ia menjamu para pasangan kepala negara melalui acara Spouse Programme pada Selasa (15/11/2022). Dalam keterangan pers Tim Komunikasi dan Media G20, acara itu tidak hanya makan siang dan minum teh. Nyonya Iriana memperkenalkan musik, kuliner, dan pakaian tradisional Nusantara.
Sambil menikmati musik yang dimainkan secara langsung, para pendamping juga menjalankan berbagai kegiatan kreatif, misalnya melukis tas yang terbuat dari anyaman pandan. Ada juga acara belajar membatik dan menenun. Pada akhir waktu kegiatan, mereka dibekali beragam cendera mata hasil kerajinan usaha mikro, kecil, dan menengah Indonesia. Tampak kain tenun dan bros-bros perak bakar ”laku” di kalangan para ibu negara.
Satu hari sesudahnya, yaitu pada hari terakhir KTT, Rabu (16/11), Nyonya Iriana dalam dua waktu berbeda secara pribadi menjamu Ibu Negara China Peng Liyuan dan Ibu Negara Korea Selatan Kim Keon Hee. Kedua kegiatan itu dilangsungkan di Hotel Apurva, tempat para kepala negara menggelar konferensi yang kemudian menelurkan Deklarasi Bali 2022.
Mitra dekat
Kedua negara, China dan Korea Selatan, memang memiliki kedekatan hubungan dengan Indonesia. Korea, misalnya, sebelum terbagi menjadi dua negara, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan, telah menjalin relasi dengan Indonesia. Bahkan Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hubungan bilateral langka dengan Semenanjung Korea karena memiliki hubungan diplomatik baik dengan Korut maupun Korsel. Di era Presiden Soekarno, Indonesia memiliki hubungan dekat dengan Korut.
Hingga saat ini, hubungan itu tetap terjaga baik meskipun Korut saat ini tengah dikucilkan sejumlah negara, terutama karena isu nuklir. Sementara itu, di kawasan, Indonesia adalah salah satu negara yang mengadvokasi pelucutan senjata nuklir, tetapi tidak menjatuhkan sanksi kepada Korut.
Sebaliknya, Korsel yang berpaham politik demokratis juga memiliki relasi erat dengan Indonesia. Seoul dan Jakarta telah memiliki Kemitraan Strategis Khusus. Di ASEAN, Indonesia-lah satu-satunya yang memiliki jalinan seerat itu dengan Korsel.
Dengan China, Indonesia pun kini memiliki relasi yang bisa digambarkan hangat. Dalam jamuan minum teh antara Ibu Negara Iriana dan Nyonya Peng ada pertunjukan istimewa, yaitu paduan suara yang menyanyikan lagu ”Bengawan Solo”. Lagu itu disajikan dalam bahasa Mandarin. Peng memberi pujian untuk penampilan tersebut.
Kedua ibu negara kemudian bertukar alat musik tradisional. Nyonya Peng memberi alat musik ruan yang berbentuk mirip gambus. Ini adalah alat musik petik dengan badan bundar dan gagang panjang. Sebaliknya, Nyonya Iriana memberi hadiah sasando dari Pulau Rote. Kebetulan, Peng Liyuan adalah penyanyi dan pemusik tradisional China.
Dari sisi penampilan, baik Iriana maupun Peng sama-sama terkenal gemar menggunakan wastra tradisional. Ketika menjamu Peng, Iriana mengenakan sarung tenun Bali dan baju kurung berbordir yang dilengkapi selendang. Adapun Peng selalu konsisten memakai gaun qipao selutut. Dalam acara Spouse Programme, ia mengenakan qipao berwarna merah dan ketika minum teh bersama Iriana, Peng mengenakan qipao berwarna abu-abu keperakan.
Diplomasi Indonesia yang menekankan rasa ini juga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Ketika menghadiri acara peluncuran kereta api cepat dengan Presiden China Xi Jinping, Jokowi memanggilnya dengan sebutan ”kakak besar”. Memang ada kritik dari berbagai pihak karena istilah ”kakak besar” atau da ge dalam bahasa Mandarin seolah menempatkan China di atas xiao di atau ”adik”.
Namun, kepada beberapa pemimpin negara lain, Jokowi juga memiliki panggilan tersendiri, misalnya ”seniorku” kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden, atau ”saudara” kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Ketiganya memiliki nuansa senada, yaitu saudara.
Dalam perspektif kebudayaan, ada pepatah dalam bahasa Jawa, yaitu ngeli ning ora keli. Secara harfiah dapat diterjemahkan: mengikuti arus, tetapi tidak hanyut. Kendali tetap berada di tangan sendiri.
Dalam relasi dan pergaulan internasional, Indonesia—bisa jadi digambarkan—menuruti kemauan negara-negara sahabat. Akan tetapi, sejatinya tidak demikian. Ambil contoh, dalam presidensi G20 lalu, ada tekanan sangat kuat bagi Indonesia untuk mengeluarkan Rusia. Namun, Indonesia memiliki pilihan lain.
Dengan pendekatan personal dan komunikasi intensif dengan semua mitra di semua level di G20, Indonesia tetap mampu mempertahankan forum itu tetap utuh. Tak ada satu negara pun yang diabaikan. Bahkan Ukraina yang bukan anggota G20 juga diakomodasi.
Semua diberi tempat dengan terhormat. Rivalitas, seperti dikatakan Presiden Jokowi, wajar. Namun, Indonesia memiliki posisi jelas, yaitu mengajak setiap anggota G20 menyelamatkan forum itu sehingga tidak menjadi ”batu sandungan” bagi dunia yang kini tengah dilanda aneka krisis. Sikap itu menyiratkan kepercayaan diri Indonesia. Ngeli ning ora keli.