Cuitan yang mempertanyakan busana para pemimpin negara G20 saat jamuan makan malam bergulir menjadi sentimen bernapaskan identitas budaya. Pasalnya, yang dikenakan adalah kain tradisional Bali, endek.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Momen para pemimpin negara G20 mengenakan kain endek saat gala dinner mestinya bisa jadi gerbang diskusi budaya. Namun, yang tampak di media sosial malah gerakan “nasionalisme dadakan” lantaran endek dipertanyakan orang asing. Setelah heroik membela kain tradisionalnya, ternyata masih ada yang salah menganggap itu batik pula. Walah…
Obrolan panas di Twitter terjadi usai jamuan makan malam G20 di Bali, Rabu (16/11/2022). Saat itu, para pemimpin negara G20 mengenakan kemeja yang dibuat dari kain endek warna-warni. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, hingga Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak kompak mengenakan endek.
Pemandangan itu menyita perhatian influencer politik yang berbasis di Inggris, Mahyar Tousi. Tousi mengunggah foto beberapa pemimpin G20 yang sedang berbincang di Twitter. Ia juga menulis cuitan, “What on earth are these idiots wearing?!” atau “Apa yang dikenakan para idiot ini?!”
Sementara itu, penyiar Inggris Sophie Corcoran menulis, “Why are they all dressed the same—and like that,” atau “Kenapa mereka semua berpakaian sama—dan seperti itu.”
Cuitan keduanya bisa dibilang multitafsir. Terlepas dari ambiguitasnya, cuitan tersebut terlanjur menyulut api di media sosial. Buat sebagian warganet Indonesia, cuitan Tousi dan Corcoran menyinggung.
Beberapa warganet lantas menjelaskan (ada juga yang marah-marah) ke Tousi dan Corcoran bahwa yang dikenakan para pemimpin G20 adalah kain tradisional Indonesia. Ada yang tepat menyebut itu endek, tapi ada juga yang menyebut batik.
“Batik berbeda dengan endek. Batik dibuat dengan canting atau cap dan ragam hiasnya dibuat dengan cairan malam. Sementara itu, endek dibuat dengan teknik tenun,” ucap Pelaksana Tugas Ketua Himpunan Wastraprema Sri Sintasari “Neneng” Iskandar saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (18/11/2022).
Neneng menduga kesalahan ini berhubungan dengan popularitas batik. Saking populernya, semua kain tradisional di Indonesia disebut batik. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa pengetahuan publik tentang kain tradisional masih kurang.
Kurangnya pemahaman bisa menyebabkan seseorang salah kaprah. Jika hal ini dilumasi perilaku “nge-gas” di media sosial, yang terjadi bisa-bisa malah salah kaprah massal. Niat mengangkat kekayaan budaya negeri pun meleset. Ibaratnya, heroisme warganet kali ini offside.
Kurator wastra independen Benny Gratha mengatakan, kejadian ini momentum untuk meningkatkan kesadaran publik. Ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan dasar kain tradisional dibutuhkan. Pengetahuan itu bisa mencakup jenis-jenis kain tradisional Indonesia, ciri-cirinya, hingga daerah sebarannya.
“Dari situ, publik akan tergerak untuk mencari tahu lebih jauh kain yang mereka punya atau lihat. Dari pengetahuan pula akan tumbuh rasa cinta terhadap wastra,” tutur Benny yang juga penulis Tradisi Tenun Ikat Nusantara (2016).
Endek
Endek merupakan kain tenun khas Bali. Endek termasuk salah satu kain tradisional bernilai sosial tinggi karena kain ini hanya dikenakan para bangsawan di masa lampau. Menurut Neneng, endek merupakan simbol bahwa Indonesia menghormati para tamu G20.
Endek pernah pula dikenakan para tamu negara saat Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC) di Bali pada 2013. Sama seperti G20, endek dipakai saat jamuan makan malam.
Seiring berjalannya waktu, endek dikenakan oleh semua kalangan, tidak hanya bangsawan. Walakin, kandungan nilai sejarah dan budaya endek tidak berkurang.
Endek juga mengandung nilai seni, ketekunan dan kesabaran penenun, hingga pengetahuan warisan nenek moyang. Pemerintah Provinsi Bali lantas mencatatkan endek sebagai kekayaan intelektual Bali ke Kementerian Hukum dan HAM. Sertifikat kekayaan intelektual ini terbit pada 2021.
Di sisi lain, endek pernah digunakan sebagai bagian dari koleksi busana musim semi-musim panas 2021 bagi rumah mode Dior. Koleksi itu dipamerkan pada hajatan mode Paris Fashion Week, 29 September 2020.
Bukan kali pertama
Kegaduhan di media sosial seperti ini bukan kali pertama terjadi. Pada 2021, warganet Indonesia ramai-ramai “menggeruduk” akun media sosial Adidas Singapura karena menyebut wayang kulit sebagai produk budaya Malaysia. Hal serupa juga tampak saat reog Ponorogo dan batik diklaim Malaysia.
Militansi digital pun tampak saat warganet Indonesia memberi ulasan buruk untuk Sungai Aare di Swiss tahun ini. Sungai itu merupakan lokasi hilangnya anak pertama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang lantas ditemukan meninggal.
Sikap sebagian warganet yang reaktif dinilai pakar komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan tidak bijaksana. Hal ini bisa menciptakan stigma bahwa orang Indonesia tidak bisa menanggapi perbedaan dengan dialog. Stigma ini bisa terbawa ke dunia nyata.
“Padahal, warganet yang reaktif mungkin hanya sebagian kecil dari 190 juta pengguna media sosial Indonesia saat ini. Mereka tidak mewakili keseluruhan pengguna media sosial Indonesia,” ujar Firman.
Sikap reaktif juga menutup ruang dialog yang semestinya bisa terwujud di media sosial. Menurut Firman, cuitan Tousi dan Corcoran bisa jadi murni sebuah pertanyaan. Jika direspons dengan baik, cuitan itu bisa tumbuh menjadi diskusi budaya. Warganet pun berpeluang mengenalkan budaya negeri.
Semoga lain kali ada kesempatan untuk diskusi soal endek di Twitter dengan kepala dingin. Itu pun jika Twitter tidak ditutup, sih…