Dalam setiap perang, muncul dua narasi utama, yakni narasi interdependensi ekonomi dan kontestasi kekuatan. Oleh sebab itu, negara-negara besar harus memperkuat narasi interdependensi ekonomi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Deklarasi Para Pemimpin G20 Bali atau G20 Bali Leaders’ Declaration yang dihasilkan dalam pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali menutup Presidensi G20 Indonesia 2022. Tak hanya soal ekonomi global, kepemimpinan Indonesia pada forum kerja sama multilateral yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia turut mendorong perdamaian di tengah perang antara Rusia dengan Ukraina.
Deklarasi yang terdiri atas 52 poin tersebut disepakati oleh seluruh pemimpin negara, terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa, yang hadir di Bali pada Rabu-Kamis (15-16/11/2022). Beberapa poin utama dalam deklarasi yang dibacakan oleh Presiden Joko Widodo tersebut terkait dengan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, transisi energi berkelanjutan, dan perang antara Rusia-Ukraina.
Perang antara dua negara di Eropa itu bahkan mendapatkan perhatian khusus dengan menempatkan poin terkait perang antara Rusia-Ukraina pada urutan ketiga dari 52 paragraf Deklarasi Bali setelah dua paragraf pembuka. Para pemimpin G20 menyatakan perang di Ukraina berdampak lebih buruk terhadap ekonomi global.
Sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan perang tersebut menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global, menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, mengganggu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan, serta meningkatkan risiko stabilitas keuangan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan, perang antara Rusia-Ukraina memiliki dimensi yang beragam. Jalan menuju perdamaian tersebut tentu membutuhkan usaha dan jalan yang cukup panjang. Semua negara, termasuk Indonesia mesti berkontribusi untuk menyelesaikan perang tersebut, mengingat akhir-akhir ini konflik antara kedua negara itu turut melibatkan negara-negara lain.
Oleh sebab itu, Indonesia sebagai salah satu dari beberapa negara anggota G20 dan komunitas internasional harus bersama-sama mendorong agar konflik itu mengalami deeskalasi, terutama konflik militer. Semua negara harus mendorong Rusia dan Ukraina agar mematuhi kembali mekanisme multilateral sehingga masalah-msalah yang selama ini memunculkan konflik militer dapat diselesaikan dalam perundingan.
"Tentu tidak mudah, tetapi deklarasi yang disampaikan bapak Presiden bisa digunakan sebagai salah satu awal, milestone, untuk menuju kepada satu proses panjang menuju perdamaian," ujar Ruhaini dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk "G20 dan Nasib Rusia-Ukraina" yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (16/11/2022) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, turut hadir Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu, Analis Pertahanan dan Militer Connie Rahakundini Bakrie, serta Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Dave Akbarsyah Fikarno.
Menurut Ruhaini, Indonesia sebagai Presidensi G20 perlu mendorong perdamaian antara Rusia-Ukraina karena hal tersebut merupakan mandat dari konstitusi. Selain itu, Indonesia merasa perlu mendorong isu tersebut secara global karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di kedua negara, melainkan turut berdampak pada masyarakat global yang masih belum benar-benar pulih dari pandemi Covid-19.
Dalam perumusannya, poin-poin dalam deklarasi disampaikan melalui proses-proses dialog dan negosiasi yang sangat intens dan penuh pertimbangan. Diksi yang digunakan pun disepakati sesuai dengan bahasa yang paling ringan.
"Persoalan konflik ini harus ditangani secara serius, tetapi juga mendorong penyelesaian melalui mekanisme multilateral dengan mendorong para pihak untuk kembali mematuhi efektivitas dari mekanisme multilateral," ujarnya.
Aleksius menilai, Deklarasi Bali tidak dimulai dari kesepakatan di tingkat menteri yang menghasilkan komunike. Hal tersebut membuatnya pesimis terhadap kepatuhan dari negara-negara G20 untuk mengimplementasikan Deklarasi Bali. Apalagi, nuansa politis dalam poin tentang Rusia-Ukraina sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan polarisasi.
"Saya pikir kita harus kritis melihatnya karena mungkin komitmen itu bisa dikatakan tidak ada. Karena kalau di tingkat menteri tidak ada kesepakatan, masak presidennya langsung mensahkan. Mari kita lihat kepatuhan dari negara-negara G20 dalam satu tahun ke depan dalam menjalankan poin-poin dari deklarasi ini," katanya.
Dalam setiap perang, lanjut Aleksius, muncul dua narasi utama, yakni narasi interdependensi ekonomi dan kontestasi kekuatan. Oleh sebab itu, negara-negara besar harus memperkuat narasi interdependensi ekonomi yang bisa menghasilkan perdamaian agar persaingan antarnegara tidak hanya fokus pada kontestasi kekuatan.
Connie menyesalkan penggunaan kata "mengutuk" dalam Deklarasi Bali. Sebab diksi tersebut sudah tidak lagi digunakan negara-negara termasuk PBB. Bahkan penggunaan diksi "menuntut penarikan penuh dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina" mengartikan seolah-olah Rusia kalah perang. Apalagi Indonesia sebagai negara gerakan non-blok seharusnya tidak boleh dibajak oleh kepentingan lain.
Untuk meredakan perang, lanjutnya, forum G20 seharusnya bisa menjadi forum untuk menurunkan ego masing-masing negara. Negara-negara non-blok seperti Indonesia pun mesti mengupayakan dunia yang sama dan mendorong penghapusan aliansi pertahanan. "Dunia harus adil bagi semua bangsa, tuturnya.
Dave mengingatkan, semua negara harus sepakat menurunkan tensi agar perang bisa segera diakhiri. Sebab perang tidak hanya menyengsarakan masyarakat Rusia dan Ukraina, tetapi juga berdampak pada masyarakat di negara lain. Salah satunya mereka mesti menanggung kenaikan harga gas dan potensi inflasi hingga dua digit sehingga menggangu rantai pasok yang berujung pada kenaikan harga barang.
Ia pun mendorong agar pemerintah Indonesia tetap menjalankan diplomasi. Pendekatan mesti dilakukan ke negara-negara lain, terutama negara di Eropa. "Bisa dimulai dari negara G7 di luar Amerika Serikat untuk melunakkan pandangan dan sikap politik mereka, lalu meminta Rusia untuk menurunkan tensi perang," ujar Dave.