Kasus Covid-19 Melonjak Tajam, Beijing Terapkan Karantina Parsial
Otoritas kesehatan China memberlakukan penguncian wilayah parsial, tes swab massal, dan karantina menyusul lonjakan kasus Covid-19 di ibu kota Beijing.
Oleh
LUKI AULIA, DARI BEIJING, CHINA
·5 menit baca
BEIJING, KOMPAS — Setelah enam bulan relatif ”tenang” tanpa gejolak penambahan kasus Covid-19 secara signifikan, kota Beijing mengalami lonjakan penderita Covid-19. Kasus Covid-19 di ibu kota China itu, Selasa (22/11/2022), melonjak menjadi 274 kasus bergejala dan 1.164 kasus tanpa gejala.
Dua orang dilaporkan tewas akibat Covid-19. Keduanya berusia lanjut: seorang perempuan berusia 91 tahun yang memiliki sejarah penyakit strok serta alzheimer serta seorang pria berusia 88 tahun yang sakit kanker, bronkitis, dan strok. Ini kasus kematian akibat Covid-19 yang pertama di Beijing sejak Mei 2022.
Sehari sebelumnya, Senin, tercatat 154 kasus bergejala dan 962 kasus tanpa gejala. Untuk mengantisipasi memburuknya kasus Covid-19, otoritas kesehatan China memberlakukan penguncian wilayah (lockdown) parsial, tes swab (nucleic test) massal, dan karantina.
Sekolah dan sebagian perkantoran ditutup, khususnya di distrik yang terdampak paling parah, seperti Distrik Chaoyang. Distrik ini merupakan distrik terpadat dengan 3,5 juta penduduk. Di distrik itu juga terdapat banyak kantor kedutaan besar asing serta kediaman warga asing.
Proses pembelajaran di sekolah untuk sementara dilakukan secara daring. Para pekerja diimbau untuk bekerja dari rumah.
Warga juga diimbau untuk membatasi mobilitas atau tetap tinggal di rumah. Warga diimbau hanya keluar rumah apabila ada keperluan yang mendesak. Mereka yang baru datang dari luar kota Beijing diharuskan melakukan tes swab setiap hari selama tiga hari dan diimbau tidak keluar rumah atau kompleks perumahan selama tiga hari itu.
Untuk bisa mengakses aplikasi status kesehatan di Beijing, warga harus mengonfirmasi terlebih dahulu ia datang dari daerah mana. Setelah bisa diakses, sekitar 2-3 jam kemudian ada telepon dari otoritas kesehatan Beijing dan SMS berisi pesan imbauan bagi warga tersebut untuk melakukan tes swab setiap hari.
”Situasi pencegahan dan pengendalian Covid-19 di Beijing kali ini paling kompleks dan parah sejak merebaknya Covid-19,” kata Liu Xiaofeng, Wakil Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kota Beijing.
Selain Beijing, kota Guangzhou yang berpenduduk sekitar 19 juta jiwa juga ”memerah”. Distrik Baiyun, distrik terpadat di kota itu, juga harus memberlakukan penutupan wilayah selama lima hari.
Di Beijing, ada satu pertokoan di daerah Ritan—seperti ITC di Jakarta—yang ditutup otoritas kesehatan tanpa kejelasan batasan waktu bisa kembali beroperasi. Meski demikian, transaksi jual-beli ternyata masih tetap bisa dilakukan hanya secara diam-diam dengan menghubungi langsung penjual atau pemilik toko.
”Kalau tidak begini, dari mana saya bisa dapat penghasilan kalau disuruh tutup terus,” kata Lili, salah seorang penjual tas koper di Russian Market, Ritan, kepada Kompas.
Di Beijing, ada satu pertokoan di daerah Ritan—seperti ITC di Jakarta—yang ditutup otoritas kesehatan tanpa kejelasan batasan waktu bisa kembali beroperasi.
Di dalam Russian Market, juga masih terlihat beberapa toko yang buka, tetapi tidak tampak ada satu pun pembeli.
Di pintu masuk setiap gedung, selalu ada petugas satpam atau petugas yang memeriksa secara ketat aplikasi status kesehatan di ponsel. ”Scan the code (pindai kodenya).” Begitu kalimat yang selalu keluar dari mereka dan akrab di telinga warga Beijing.
Harian People's Daily, Senin (21/11/2022), menerbitkan artikel yang menegaskan kembali perlunya upaya mendeteksi Covid-19 lebih awal. Namun, pendekatannya memang tak bisa sama untuk semua daerah. Harian milik Partai Komunis China ini menyebutkan, kebijakan ”nol Covid dinamis” China akan tetap dipertahankan meski ada penyesuaian yang sedikit melonggar.
Pergeseran strategi
Serangkaian aturan baru yang diumumkan pada awal bulan ini menunjukkan pergeseran strategi ”nol Covid dinamis”, seperti meringankan persyaratan karantina untuk masuk China dan menyederhanakan sistem untuk menetapkan area yang berisiko tinggi. Keputusan melonggarkan kebijakan itu muncul seiring dengan melonjaknya kasus Covid-19 yang kini hampir mencapai 30.000 kasus.
Namun, karena kasus kembali naik, protokol kesehatan semakin diperketat. Yanzhong Huang, ahli kesehatan dunia di Dewan Hubungan Luar Negeri, menilai terlalu dini untuk mengatakan bahwa China akan mau menghentikan kebijakan Covid-19-nya dalam waktu dekat.
”Otoritas tingkat daerah belum menyesuaikan dengan aturan baru sehingga membuat publik bingung. Di tingkat nasional sudah dibilang akan sedikit melonggarkan. Tetapi, di tingkat bawah, masih sama saja seperti sebelumnya,” kata Huang.
Sejumlah kota di China membatalkan tes swab reguler wajib pada minggu lalu. Distrik Chaoyang, salah satu distrik terbesar di Beijing, tiba-tiba menutup tempat tes swab di area komersial pada awal pekan lalu. Tidak ada penjelasan alasannya. Hanya disebutkan bahwa hal itu sudah sesuai dengan aturan Covid-19 baru dari pemerintah pusat.
Keesokan harinya, penutupan dibatalkan setelah media lokal melaporkan banyak pekerja kantor yang harus mencari tempat tes swab selama berjam-jam. Karena frustrasi dengan pembatasan dan aturan yang tidak jelas, banyak protes dari publik dalam beberapa bulan terakhir, termasuk di Guangzhou. Ratusan orang turun ke jalan dan menggelar protes.
”Sebagian besar pejabat China tahu kebijakan itu tidak lagi masuk akal, tetapi tetap harus jalan karena sudah menjadi keputusan Presiden China Xi Jinping,” kata Direktur SOAS China Institute di London, Inggris, Steve Tsang.
Pemerintah China menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi jika tetap bertahan dengan kebijakan "nol Covid dinamis", dikhawatirkan perekonomian China akan sulit pulih dan ketegangan sosial akan kian meningkat. Hal ini, kata Huang, bisa mengancam stabilitas rezim dan menyebabkan krisis legitimasi.
Namun, sebaliknya, di sisi lain, jika kebijakan itu dicabut, akan berisiko juga karena China akan kewalahan membendung Covid-19 dan melumpuhkan sistem layanan kesehatannya.
Terkait vaksin, sampai sejauh ini China belum menyetujui vaksin mRNA yang lebih efektif untuk digunakan warga. Di China, baru 85 persen warga dewasa di atas usia 60 tahun yang sudah menerima dua dosis vaksin domestik pada pertengahan Agustus.
Ada desakan publik agar vaksin luar negeri digunakan untuk publik China. Namun, tak ada respons dari pemerintah.
Guru Besar Hubungan Internasional di Georgia Tech, Amerika Serikat, Fei-Ling Wang, menilai bahwa propaganda menakutkan tentang Covid-19 dan nasib negara lain yang lebih buruk ketimbang China membuat para pemimpin China terpaksa kembali memikirkan ulang rencana melonggarkan kebijakan "nol Covid dinamis".
”Padahal, kebijakan anti-Covid itu sangat invasif dan mahal. Tetapi, jika China mencabut kebijakan itu, bisa berisiko para pemimpinnya kehilangan muka,” ujarnya. (REUTERS/AFP)