Wabah Covid-19 di China, Belasan Orang Mati Tiap Hari di Shanghai
China sedang menghadapi wabah terburuk pertama sejak puncak gelombang pertama Covid-19 pada awal 2020. Shanghai timur mencatat belasan kasus kematian setiap hari
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
GUANGZHOU, KAMIS – Pandemi Covid-19 galur Omicron kembali meledak di beberapa kota di China. Salah satu megakota, Guangzhou, yang merupakan pusat perdagangan dan manufaktur utama di China bagian selatan, Kamis (28/4/2022), menggelar tes usap massal terhadap 5,6 juta penduduknya.
Bersamaan dengan tes usap terhadap 5,6 juta orang itu, otoritas Guangzhou pun membatalkan ratusan penerbangan. Situasi ini berlangsung di saat otoritas berwenang China berjuang untuk menghentikan penyebaran virus yang telah menjangkau sebagian besar negeri itu.
China sedang menghadapi wabah terburuk pertama sejak puncak gelombang pertama Covid-19 pada awal 2020. Shanghai timur mencatat belasan kasus kematian setiap harinya. Hingga 25 April ada 51 kasus meninggal, dengan rata-rata 18 kasus kematian tiap hari, terhitung hingga Kamis ini.
Di bawah kebijakan ketat “nirkasus Covid-19”, Pemerintah China telah menerapkan pembatasan mobilitas secara ketat, pengujian massal, dan pembatasan perjalanan untuk mencegah penularan yang luas. Pembatasan ketat bermingu-minggu terhadap 26 juta penduduk Shanghai telah merusak kegiatan ekonomi dan ikut mengganggu rantai pasok global.
Sementara itu otoritas kota Guangzhou, Kamis ini, mengumumkan tes usap massal untuk hampir sepertiga dari 19 juta penduduk warga kota itu. Langkah itu diambil setelah terdeteksi hasil tes sebelumnya di bandara terindikasi "tidak normal". Hasil tes itu membuat ratusan penerbangan dibatalkan.
Di sisi lain, pusat teknologi Hangzhou di dekat Shanghai, Rabu (27/4/2022) malam meminta 9,4 juta penduduk di pusat kota mengikuti tes massal setiap 48 jam jika mereka ingin mengakses ruang publik dan transportasi. Jumlah total penduduk di kota itu sekitar 12,2 juta jiwa.
Pemerintah kota Hangzhou dalam sebuah pernyataan menyebutkan, tujuan tes massal itu adalah agar virus tidak memiliki tempat untuk bersembunyi. Meskipun demikian, tes itu berdampak pada meningkatnya kekhawatiran warga pada kebijakan pembatasan lanjutan di Hangzhou.
Menurut kantor berita Agence-France Presse (AFP), China pada Kamis ini melaporkan 11.367 kasus infeksi baru di China daratan. Kasus harian hingga 27 April itu mengguncang pihak berwenang China, tempat Covid-19 pertama kali terdeteksi pada Desember 2019 dan menular ke seluruh dunia.
Dari total kasus tersebut, lebih dari 10.000 kasusnya terdeteksi di Shanghai. Namun di kota ini kasusnya cenderung menurun setelah pembatasan mobilitas selama berminggu-minggu. Pembatasan itu membuat penduduk marah karena membuat mereka kesulitan mencari nafkah.
Dalam beberapa hari terakhir, lebih banyak kompleks perumahan telah mencabut pembatasan mobilitas. Pihak berwenang mengatakan 90 persen infeksi baru ditemukan di daerah karantina.
Sekitar 50 kasus baru ditemukan di Beijing. Kantor berita Xinhua melaporkan, 42 kasus Covid-19 terkonfirmasi sebagai penularan lokal,. Otoritas kota menutup seluruh lingkungan di mana beberapa kasus penularan terdeteksi.
Pang Xinghuo, Wakil Kepala Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kota Beijing mengatakan, sejak 22 April lalu tercatat ada 138 infeksi lokal, tersebar di delapan distrik. “Anak-anak dari enam sekolah dan dua sekolah taman kanak-kanak menyumbang 31 persen dari kasus infeksi itu”, kata Pang.
Tiga komunitas di Beijing, Rabu kemarin, telah diklasifikasikan sebagai area berisiko tinggi Covid-19 galur Omicron. Lima wilayah lainnya sebagai area berisiko sedang. Hingga kini, jumlah total area berisiko tinggi di Beijing menjadi lima dan area berisiko sedang menjadi 16.
Dalam minggu ini, pemerintah kota Beijing telah menggelar uji usap massal atas 21 juta penduduk kota itu. Otoritas setempat juga menutup lebih banyak kompleks perumahan di Distrik Chaoyang yang padat penduduknya. Penutupkan dilakukan mulai Kamis ini hingga 14 hari ke depan. Selain kegiatan bersama, proses belajar mengajar di sejumlah sekolah di ibu kota juga dialihkan ke dalam jaringan (daring).
Otoritas kota Beijing menutup beberapa ruang publik dan meningkatkan pemeriksaan di sejumlah tempat lain. Pengujian massal terhadap sebagian besar dari 22 juta penduduk ibu kota Beijing dilakukan untuk mencegah pembatasan ketat sebagaimana terjadi di Shanghai.
Terkait lonjakan kasus di China, dikhawatirkan negara itu bisa terjebak dalam situasi terburuk pada beberapa bulan mendatang. Kondisi itu terjadi bila pembatasan ketas dicabut kembali. Situasi itu menunjukkan adanya dilema karena jika penguncian ketat berlangsung lama, kinerja ekonomi akan terganggu dan berpotensi memicu gejolak sosial.
Sementara itu di Taiwan, yang sebelumnya dinilai berhasil menekan Covid-19, sebagaimana China kini justru tengah menghadapi gelombang baru. Pada Kamis ini, angka kasus baru dilaporkan telah melewati 11.000 kasus.
Pada April ini, pemerintah Taiwan mengumumkan, mereka tidak akan lagi mempertahankan kebijakan "nirkasus-Covid 19" seperti yang dilakukan Pemerintah China. Sebaliknya, pemerintah Taiwan meminta orang untuk dikarantina di rumah jika terkonfirmasi positif, kecuali jika bergejala sedang hingga berat.
Chen Shih-chung, Menteri Kesehatan Taiwan, hari ini mengumumkan bahwa pihaknya telah menemukan 11.353 kasus baru dan dua kasus kematian. Dalam konferensi pers harian yang diadakan oleh Pusat Komando Epidemi Pusat, dia mengatakan 99,7 persen kasus tidak memiliki gejala atau memiliki gejala ringan. (AFP/REUTERS/AP)