KTT G20 Bali, Forum Panas untuk Mencari Solusi Krisis Dunia
”Forumnya panas atau agak panas, tidak apa-apa. Ramai-ramai sedikit juga tidak apa-apa. Yang paling penting, semua bisa menyampaikan pandangan,” kata Presiden Joko Widodo mengenai kemungkinan suasana KTT G20 Bali.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·4 menit baca
Dalam dua pekan terakhir, ketika pertempuran antara pasukan Ukraina dan Rusia mencapai salah satu titik didihnya, dua kabar membahagiakan muncul di titik panas konflik belahan dunia lain. Pertama, pada 27 Oktober 2022 Lebanon dan Israel menandatangani kesepakatan bersejarah mengenai perbatasan maritim di antara mereka dan pengelolaan ladang gas alam di Laut Tengah.
Kedua, pada 2 November 2022 Pemerintah Etiopia dan pemberontak Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) menandatangani kesepakatan gencatan senjata. Ditandatangani di Pretoria, Afrika Selatan, dengan mediasi Uni Afrika, kesepakatan itu menghentikan perang saudara hampir dua tahun. Ribuan orang tewas, jutaan orang telantar, dan ratusan ribu orang lainnya kelaparan akibat perang tersebut.
”Andai gencatan senjata ini disepakati lebih cepat, tentu akan lebih baik. Tak banyak rakyat jadi korban tewas maupun telantar,” ujar Million Tadesse, pebisnis di Etiopia, kepada kantor berita AFP.
Dua kesepakatan di dua titik konflik dalam rentang sepekan itu membuktikan: konflik bersenjata bisa diakhiri, perang bisa dicegah. Kesepakatan Lebanon-Israel tak hanya bersejarah, kesepakatan tersebut juga unik. Secara teknis, Lebanon-Israel masih dalam status perang.
Teringat dalam memori, saat meliput kejuaraan sepak bola Piala Asia tahun 2000 di Lebanon, penulis diingatkan oleh warga setempat untuk tidak mudah menyebut kata ”Israel” di Beirut dan daerah-daerah lain negeri itu. Dengan status perang melawan Israel, warga Lebanon bisa dihukum penjara jika diketahui menelepon atau bepergian ke Israel.
Sesuai undang-undang Lebanon, menjalin kontak dengan Israel oleh warga negeri itu termasuk tindakan ilegal. Sedemikian sensitif hubungan kedua negara, pada 2015 Ratu Kecantikan Lebanon Saly Greige memantik kecaman sengit dan kemarahan di Lebanon dalam insiden swafoto dengan Ratu Kecantikan Israel Doron Matalon.
Sudah tak terhitung kobaran dan percikan permusuhan antara Lebanon dan Israel. Tahun 1982, pasukan Israel menginvasi Lebanon hingga Beirut. Setelah 22 tahun menduduki wilayah selatan, baru pada 2000 Israel menarik pasukannya dari Lebanon. Enam tahun kemudian, pecah lagi perang Israel-Hezbollah selama lima pekan, menewaskan sedikitnya 1.200 warga Lebanon dan 158 warga Israel.
”Jika dimungkinkan mencegah perang, menjadi tanggung jawab pemerintahlah mencegah perang itu,” kata Yair Lapid, PM Israel, pertengahan Oktober lalu. ”Kami juga menginginkan kesejahteraan bagi masyarakat Lebanon,” kata Pemimpin Hezbollah Lebanon Hassan Nasrallah.
Keinginan memenuhi rasa aman dengan mengeliminasi faktor-faktor yang bisa memicu perang, serta harapan memperoleh potensi kesejahteraan, menjadi titik temu kesepakatan dua negara bermusuhan itu. Tidak hanya menyepakati perbatasan laut, kesepakatan Lebanon-Israel juga mengatur pengelolaan ladang gas Karish (Israel) dan Qana (Lebanon).
Bergeser ke kawasan tanduk Afrika. Kesepakatan gencatan senjata antara pemerintahan PM Abiy Ahmed dan TPLF di Etiopia tak hanya menghentikan pertumpahan darah. Dari kesepakatan itu, dihasilkan pula cetak biru yang mengatur hubungan Tigray dengan pemerintahan federal. Beberapa pejabat Kementerian Keuangan Etiopia, seperti dikutip The Economist, berharap program bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan dana donor untuk rekonstruksi segera mengalir ke negara itu.
Konflik bersenjata adalah salah satu krisis yang melanda dunia saat ini. Daftar krisis dunia masih panjang, antara lain terkait perubahan iklim, ancaman senjata pemusnah massal, kesehatan global, kemiskinan, dan ketimpangan negara maju-berkembang atau miskin.
Saat berpidato memaparkan berbagai aneka krisis dunia di sidang Majelis Umum PBB, September lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut kerja sama multilateral sebagai langkah menyelesaikan krisis-krisis tersebut. Multilateralisme adalah diplomasi dalam tindakan, katanya.
Indonesia dalam hitungan hari ke depan akan menggelar hajatan multilateral Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Meski hanya diwakili 19 negara dan satu organisasi kawasan, forum KTT G20 diharapkan bisa mengurai dan menawarkan solusi atas sebagian krisis tersebut. Seperti perjalanan keketuaan Indonesia, KTT G20 berlangsung di tengah konflik kekuatan-kekuatan utama dunia yang mengeras menyusul invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari lalu.
Melihat situasi geopolitik saat ini, Presiden Joko Widodo membayangkan kemungkinan sidang-sidang KTT G20 akan berlangsung panas. Pertemuan-pertemuan sebelumnya dalam rangkaian G20 pun demikian. Tak terhitung aksi boikot dan keluar sidang mewarnai sidang-sidang G20. Tiadanya komunike bersama sudah tak asing dan bukan berita lagi.
Dalam wawancara khusus dengan Kompas, pekan lalu, Presiden Joko Widodo santai menyikapi kemungkinan itu. ”Forumnya panas atau agak panas, tidak apa-apa. Ramai-ramai sedikit juga tidak apa-apa. Yang paling penting, semua bisa menyampaikan pandangan,” kata Presiden.
”Justru itu awal bagus untuk forum dialog. Kita menyediakan forum agar bisa dicarikan solusi bersama. Dunia ini dalam masalah besar dan ingin mencari solusi bersama sebagai tanggung jawab kita bersama,” tutur Presiden.
Kesadaran semacam itulah yang menggerakkan pihak-pihak yang bermusuhan, seperti di Lebanon dan Israel serta di Etiopia mencapai kesepakatan. Dengan semangat yang sama, kesepakatan atau setidaknya tekad bersama menyelesaikan solusi bukan hal mustahil bisa dicapai di G20. Ini menjadi ujian, sekaligus peluang kepemimpinan Indonesia di dunia pada titik final keketuaan G20.