Lebanon-Israel, Dua Musuh Bebuyutan, Ternyata Bisa Ukir Kesepakatan
Melihat sejarah konflik dan permusuhan yang panjang antara Lebanon dan Israel, tidak terbayangkan dua negara itu bisa menjalin kesepakatan.
BEIRUT, KAMIS – Dua musuh bebuyutan, Lebanon dan Israel, mengesampingkan perbedaan dan permusuhan di antara mereka demi mengusung kepentingan bersama, yaitu eksploitasi minyak bumi dan gas alam. Mereka hendak menandatangani perjanjian bersejarah untuk membagi pengelolaan wilayah perairan perbatasan kedua negara di Laut Tengah.
“Ini adalah hal yang bersejarah dan penting bagi Israel. Kita akan mendatangkan perdamaian sekaligus menjadikan negara kita sebagai penghasil energi sehingga tidak perlu tergantung dari impor,” kata Perdana Menteri Israel Yair Lapid, dikutip oleh media Arutz Sheva, Selasa (11/10/2022).
Satu hari setelahnya, pada Rabu (12/10/2022), Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa (UE) Joseph Borrell menyampaikan selamat kepada Lebanon dan Israel. Ia juga mengirim ucapan terima kasih kepada Amerika Serikat yang menjadi penengah serta penjamin berjalannya negosiasi kedua negara. Menurut Borrell, ini adalah preseden baik dari Lebanon dan Israel untuk membawa permasalahan mereka ke meja perundingan.
Baca juga : Penyelesaian Konflik Palestina-Israel
Presiden AS Joe Biden, Selasa (11/10/2022), memuji kesepakatan yang dimediasi negaranya guna menyelesaikan sengketa perbatasan maritim itu dan menyebutnya sebagai "terobosan bersejarah". "Kesepakatan yang diumumkan oleh kedua pemerintahan pada hari ini bakal memberi kesempatan pembangunan ladang-ladang energi demi keuntungan kedua negara, memberi ruang terciptanya kawasan yang lebih stabil dan sejahtera, serta memanfaatkan sumber-sumber energi vital bagi dunia," kata Biden melalui pernyataan yang dirilis Gedung Putih, Selasa (11/10/2022).
Kedua pihak telah menyepakati isi dan substansi perjanjian. Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati telah menemui Presiden Lebanon Michel Aoun. Mereka memeriksa naskah perjanjian yang dibuat dalam bahasa Arab serta bahasa Inggris. Naskah perjanjian diserahkan oleh Wakil Ketua Parlemen Lebanon Elias Bou Saab.
Menurut Bou Saab, isi naskah perjanjian tersebut telah memuaskan kedua pihak. "Lebanon telah memperoleh hak-hak penuhnya, dan seluruh catatan yang disampaikan juga telah menjadi pertimbangan," katanya, seperti dikutip Al Jazeera, Rabu (12/10/2022).
Kepresidenan Lebanon juga telah menyuarakan harapan agar "kesepakatan tentang demarkasi bakal diumumkan sesegera mungkin". Meski demikian, Aoun sebelumnya menggarisbawahi bahwa kesepakatan yang terjalin bukan menandai jalinan "kemitraan" dengan Israel. Kedua negara secara teknis masih dalam status perang.
Baca juga : Lebanon-Israel Rundingkan Batas Laut
Penasihat Keamanan Nasional Israel Eyal Hulata, yang juga ketua juru runding Israel, juga merasa puas dengan naskah perjanjian. "Seluruh tuntutan kami telah tercakup. Perubahan-perubahan yang kami minta juga telah diperbaiki. Kami melindungi kepentingan keamanan Israel dan saat ini sedang menuju ke arah kesepakatan bersejarah," ujarnya.
Sementara itu, kelompok Hezbollah mengatakan mengikuti kehendak Lebanon. “Jika memang kerja sama itu yang diinginkan oleh Pemerintah Lebanon, kami menurut. Kami juga menginginkan kesejahteraan bagi masyarakat Lebanon,” kata Ketua Hezbollah Lebanon Hassan Nasrallah, dikutip oleh CNN. Lebanon saat ini mengalami krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah mereka.
Negosiasi antara Lebanon dan Israel dalam sengketa tersebut berlangsung secara timbul-tenggelam selama lebih dari satu dekade. Negosiasi terakhir mereka dimulai lagi sejak 2020, dimediasi oleh Utusan AS, Amos Hochstein. Beberapa kali sempat terjadi kemunduran dalam perundingan.
Konflik panjang
Proses negosiasinya jauh lebih terbatas dibandingkan dengan kesepakatan normalisasi hubungan antara tiga negara Arab dan Israel tahun 2020. Kedua negara itu tidak memiliki hubungan diplomatik. Lebanon menolak berdirinya Israel di tahun 1948. Secara teknis, kedua negara tersebut juga masih dalam status perang.
Lebanon dan Israel memiliki sejarah konflik yang panjang. Israel pernah menduduki sebagian wilayah selatan Lebanon sejak 1982 hingga 2000. Selain itu, di Lebanon ada kelompok Hezbollah dengan sayap militernya yang kuat. Israel menganggap kelompok itu sebagai ancaman terbesar. Pada tahun 2006, Israel dan Hezbollah terlibat perang selama satu bulan. Lebih dari 1.500 orang--kebanyakan adalah warga Lebanon--tewas dalam perang tersebut.
Baca juga : Serangan Roket Kembali Panaskan Perbatasan Lebanon-Israel
"Jika dimungkinkan mencegah perang, menjadi tanggung pemerintahlah untuk mencegah perang itu," kata Yair Lapid, Perdana Menteri Israel, dalam konferensi pers, Rabu (12/10/2022). "(Kesepakatan) ini mungkin tidak menjamin keamanan kita, (kesepakatan) ini memperluas keamanan kita."
Ia bersikukuh, kesepakatan tersebut mencegah ancaman konflik dengan milisi Hezbollah. Kelompok ini sebelumnya mengultimatum akan terus mengganggu upaya-upaya Israel mengadakan eksplorasi dan eksploitasi ladang gas di Karish, yang disengketakan dengan Lebanon, sebelum tercapai kesepakatan.
Melihat sejarah konflik dan permusuhan tersebut, tidak terbayangkan sebelumnya dua negara itu bisa menjalin kesepakatan. "Tak seorang pun dari kita memiliki ilusi bahwa ini adalah kesepakatan damai atau yang semisal dengan itu," ujar Ariel Ezrahi, pakar diplomasi energi di Timur Tengah, seperti dikutip harian The New York Times
Meski demikian, lanjut Ezrahi, "Kita tidak bisa meremehkan pentingnya kesepakatan ini, bukan hanya bagi Lebanon dan Israel, tetapi bagi kawasan secara keseluruhan dan lebih luas lagi." "(Kesepakatan) ini membawa perdamaian dan ketenangan di Laut Tengah timur, yang juga menjadi kabar baik bagi Eropa ketika Eropa tengah berupaya mendiversifikasi pasokan energinya," lanjut analis pada lembaga riset AS, Atlantic Council, itu.
AS sebagai penjamin
Meski kedua pihak telah menyepakati isi dan substansi kesepakatan, hingga saat ini belum diketahui, kapan kesepakatan Lebanon-Israel tersebut akan mulai berlaku. Mengingat kedua negara tidak mempunyai hubungan dan jalur diplomatik, proses pemberlakukan kesepakatan terbilang unik. Tidak akan ada upacara penandatanganan, seperti pada lazimnya kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Kesepakatan Lebanon-Israel itu akan otomatis berlaku saat kedua pihak mengirim surat ke Washington, sang penjamin. Pemerintah AS kemudian akan mengeluarkan pemberitahuan dan pengumuman bahwa kesepakatan tersebut mulai berlaku.
Baca juga : Gerak Cepat Israel Merasuk Kawasan
Pada hari tersebut, Lebanon dan Israel secara simultan akan mengirim titik koordinat, yang menandai lokasi perbatasan, ke PBB. Jika sudah dinyatakan sesuai satu sama lain oleh PBB, perbatasan akan mulai berlaku di sebelah barat bui yang dipasang memanjang sejak perbatasan darat yang disengketakan. Menurut draf kesepakatan, keberadaan bui-bui itu dipertahankan.
AS akan bertindak sebagai penjamin jika suatu waktu terjadi persengkataan maritim. Draf juga menyebutkan, kesepakatan tersebut dibuat untuk menjadi "resolusi yang permanen dan adil" terkait persengketaan maritim, tetapi tidak dianggap sebagai bagian dari penyelesaian atas persengketaan perbatasan darat antara Lebanon dan Israel.
Masing-masing dapat apa?
Pada tahun 2011, Israel dan Lebanon sama-sama menyatakan klaim kepemilikan atas perairan seluas 860 kilometer persegi di Laut Tengah. Di dalam perairan itu, terdapat ladang minyak Karish dan ladang gas Qanaa. Bagi kedua negara, keberadaan sumber energi itu sangat penting untuk memberdayakan ekonomi masing-masing.
Baca juga : Hezbollah Lebanon Kehilangan Mayoritas di Parlemen
Mereka terlibat perseteruan. Di forum internasional, masing-masing bersikeras bahwa perairan itu milik salah satu negara. Akhirnya, Amerika Serikat berinisiatif menjadi penengah dan juru damai. Ketiganya lalu duduk bersama untuk merumuskan batas-batas geografis serta pengelolaan hasil alam di wilayah tersebut.
Seperti dilansir MENA FN, pembagian wilayahnya adalah Israel menguasai Karish. Sementara itu, khusus untuk Qanaa akan dibagi menjadi dua kepemilikan, Israel dan Lebanon. Akan tetapi, Lebanon menjadi pengelola tunggal di Qanaa. Negara itu akan membayar royalti kepada Israel untuk setiap unit gas alam yang mereka ambil dari Qanaa di sisi Israel.
Baca juga : Tantangan Dunia Arab dari 2021 Menuju 2022
Israel bekerja sama dengan perusahaan Inggris, Energean, untuk mengeksploitasi Karish. Adapun Lebanon menggandeng perusahaan Perancis, Total, untuk menggarap Qanaa. Diharapkan, kedua perusahaan negara Eropa itu segera turut mengelola perairan tersebut begitu kesepakatan berlaku. Wakil Ketua Parlemen Lebanon Elias Bou Saab menambahkan, tidak ada kemitraan dalam eksplorasi maupun eksploitasi dua ladang gas tersebut.
Beberapa pengamat menyebut, kesepakatan sama-sama menguntungkan Israel maupun Lebanon, bahkan dalam kadar tertentu juga Eropa. Dengan kesepakatan itu Israel memperoleh jaminan keamanan dan tidak akan mendapat gangguan disrupsi dari Hezbollah saat mengeksplorasi dan mengeksploitasi ladang gas Karish.
"(Kesepakatan) ini bisa membantu dan memperkuat pencegahan bersama (atas kemungkinan konflik) antara Israel dan Hezbollah. Ini sangat positif bagi Israel," ujar Yoel Guzansky, peneliti senior pada lembaga Institute for National Security Studies di Israel.
Bagi Lebanon, kesepakatan itu memberikan secercah harapan dalam jangka panjang untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang dilanda krisis berkepanjangan. "Memonetisasi dari ladang gas semacam itu butuh waktu bertahun-tahun. Tetapi, itu langkah maju yang bagus menuju pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan yang sukses di Lebanon," kata Asaad Joubran, investor pada pasar energi Timur Tengah kepada The New York Times.
Baca juga : Menatap Masa Depan Lebanon
Bukan itu saja. Dalam cakupan lebih luas, kesepakatan Lebanon-Israel itu juga memberi opsi tambahan bagi negara-negara Eropa dalam mencari sumber energi dalam jangka panjang sebagai alternatif dari gas Rusia. Bagi Eropa, hal itu sangat penting mengingat Rusia memangkas pasokan gasnya ke benua itu terkait konflik di Ukraina.
Peneliti Institut Kajian Keamanan Nasional Israel, Yoel Guzansky, kepada CNN menjelaskan bahwa jika perjanjian itu ditandatangani, menjadi perkembangan positif dalam hubungan luar negeri Israel dan Lebanon. Kedua negara akan memiliki landasan untuk tidak memulai konflik. Harapannya, jika terjadi kemelut, penyelesaiannya melalui perundingan sesuai dengan perjanjian tersebut.
Baca juga: Krisis Lebanon dan Perang Proksi Iran-Arab Saudi
Namun, tidak semua orang mendukung. Oposisi terkuat justru datang dari dalam Israel sendiri. Mantan perdana menteri yang kini menjadi tokoh oposisi sayap kanan, Benjamin Netanyahu, mengutarakan kekecewaan dan kemarahannya atas niat perjanjian dengan Lebanon.
“Menang apanya? (Yair) Lapid justru bertekuk lutut kepada musuh Israel,” kata Netanyahu di video yang disebarluaskan melalui akun resmi Facebook miliknya. (AP/REUTERS)