Hezbollah Lebanon Kehilangan Mayoritas di Parlemen
Koalisi pimpinan Hezbollah meraih 61 kursi dari 128 kursi legislatif di parlemen Lebanon. Koalisi ini kehilangan 10 kursi sejak pemungutan suara terakhir empat tahun lalu.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
BEIRUT, SELASA — Hasil akhir pemilu parlemen Lebanon yang dirilis pada Selasa (17/5/2022) menunjukkan, Hezbollah dan sekutunya kehilangan mayoritas suara yang diraih sejak pemilu 2018. Para lawan yang paling vokal dan lebih dari belasan kandidat independen ”mencuri” kursi mereka.
Koalisi pimpinan Hezbollah meraih 61 kursi dari 128 kursi legislatif atau kehilangan 10 kursi sejak pemungutan suara terakhir empat tahun lalu. Kehilangan kursi terjadi di mitra Hezbollah, Gerakan Patriotik Bebas, yang didirikan Presiden Michel Aoun, dan beberapa sekutu tradisional Hezbollah lainnya.
Partai Pasukan Lebanon yang dipimpin Samir Geagea, salah satu kritikus paling keras terhadap Hezbollah dan sekutunya, Iran, mengantongi 19 suara. Hal itu membuat partai ini memegang blok terbesar di parlemen yang baru. Kelompok Druze, yang dipimpin Walid Joumblatt, memenangi seluruh delapan kursi yang diperebutkan.
Pasukan Lebanon, salah satu partai Kristen di negara itu, menyalip Gerakan Partiotik Bebas, partai Kristen yang menjadi sekutu utama Hezbollah. Gerakan ini sekarang mendapat 17 kursi atau kehilangan tiga kursi dari 20 kursi yang diperolehnya pada pemilu empat tahun silam.
Meski mengalami kemunduran, Hezbollah dan sekutu utamanya, kelompok Amal yang dipimpin Ketua Parlemen Nabih Berri, mempertahankan 27 kursi yang dialokasikan untuk kelompok Syiah. Kubu independen dan pendatang baru meraup 14 kursi. Ini merupakan pencapaian terbesar mengingat mereka sering mendapat intimidasi dan ancaman partai-partai arus utama.
Dengan dukungan Iran, Hezbollah menjadi kekuatan politik dan bersenjata yang besar di Lebanon. Hezbollah juga menjadi salah satu kekuatan yang kerap berhadapan dengan Israel. Penculikan tentara Israel oleh milisi Hezbollah berujung para serbuan Israel ke Lebanon pada 2006. Selepas perang 2006, Teheran mengirimkan banyak uang untuk pemulihan Lebanon.
Unggulnya kubu independen dan kemunculan partai baru mengirimkan pesan kuat kepada politisi kelas penguasa yang selama beberapa dekade bertahan di kursi mereka. Krisis ekonomi telah memiskinkan negara dan memicu gelombang emigrasi terbesar sejak perang saudara 1975-1990.
Perubahan komposisi kursi parlemen menunjukkan parlemen yang terpolarisasi secara tajam. Namun, anggota parlemen yang pro dan anti-Hezbollah bakal kesulitan bekerja sama untuk membentuk pemerintahan baru. Mereka juga bakal kesulitan mengesahkan UU yang diperlukan untuk reformasi pemulihan keuangan Lebanon.
Menurut para analis, Hezbollah dan Pasukan Lebanon adalah dua kubu utama yang saling bertentangan di Parlemen Lebanon. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kelumpuhan besar pada saat negara yang sedang tidak stabil itu sangat membutuhkan persatuan.
Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, menyerukan pembentukan pemerintah inklusif lebih cepat di Lebanon. Pemerintahan inklusif dapat menyelesaikan kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan mempercepat reformasi yang diperlukan untuk memulihkan kembali Lebanon.
”PBB mendesak parlemen baru untuk segera mengadopsi semua undang-undang yang diperlukan guna menstabilkan ekonomi dan meningkatkan pemerintahan,” kata Dujarric. Pemilu parlemen pada Minggu lalu adalah yang pertama sejak krisis ekonomi Lebanon dimulai pada akhir 2019.
Faksi-faksi pemerintah selama ini hampir tidak melakukan apa-apa untuk mengatasi kehancuran ekonomi. Warga Lebanon berjuang sendiri-sendiri ketika mereka jatuh ke dalam kemiskinan tanpa listrik, obat-obatan, pengumpulan sampah, atau masalah lainnya yang jauh dari normal.
Analis Ziad Majed mengatakan, konteks ekonomi dapat menguntungkan kaum reformis yang untuk pertama kalinya akan mendorong dari dalam parlemen, bukan hanya sebagai pihak luar. ”Ini akan menciptakan tekanan politik dan populer bagi reformis dan kekuatan perubahan untuk bekerja sama,” katanya.
Sami Nader, analis Levant Institute for Strategic Affairs, mengatakan, Hezbollah menderita kekalahan secara simbolis. Dia skeptis jika pemilu bisa membawa perubahan radikal. ”Hezbollah dan poros Iran mendapat pukulan, tetapi apakah ini akan membuka jalan bagi perubahan di Lebanon? Saya ragu,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)