Raksasa Tambang Diminta Dukung Referendum Masyarakat Adat
Masyarakat adat, apabila referendum 2023 memutuskan, akan memiliki satu suara permanen di parlemen.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SYDNEY, KAMIS — Pemerintah Australia meminta agar perusahaan-perusahaan raksasa pertambangan mendukung referendum untuk memberi masyarakat adat satu suara permanen di parlemen. Isu pertambangan sangat lekat dengan keseharian dan kelanjutan budaya masyarakat adat yang dikenal dengan istilah Bangsa-bangsa Pertama atau First Nations.
”Suara ini penting untuk mewakili pandangan Bangsa-bangsa Pertama agar industri dan ekonomi kita bisa berlangsung secara berkelanjutan dan berkeadilan,” kata Menteri Sumber Daya Mineral Australia Madeleine King, di Sydney, Rabu (2/11/2022). Ia berbicara di pertemuan pelaku industri pertambangan yang dihadiri 7.500 perwakilan perusahaan tambang, masyarakat adat, dan kelompok sipil lain.
Hasil tambang menyumbang 10 persen dari pendapatan domestik bruto Australia. Sebanyak 60 persen tambang berada di kawasan ulayat milik Bangsa-bangsa Pertama. Anggota masyarakat adat juga banyak yang bekerja di perusahaan pertambangan. Pada 2021, menyeruak keluhan dari pekerja bahwa di sejumlah perusahaan ada sentimen rasialisme yang mengakibatkan penghalangan karier hingga pelecehan seksual.
Referendum ini merupakan janji dari Perdana Menteri Anthony Albanese ketika memenangi pemilihan umum pada Mei lalu. Ia berjanji meningkatkan kesejahteraan Bangsa-bangsa Pertama dan memastikan suara mereka didengar pemerintah.
Selama ini, Undang-Undang Dasar Australia tidak mencakup masyarakat adat di dalam aturannya sehingga berbagai program yang menyasar kelompok itu dikategorikan sebagai afirmasi. Referendum itu juga akan mengamandemen UUD dan mengakui Bangsa-bangsa Pertama sebagai warga negara Australia dengan seluruh hak yang setara.
Sejatinya, anggota Bangsa-bangsa Pertama sudah banyak yang memenangi pemilu legislatif dan berkiprah sebagai senator ataupun anggota DPR. Akan tetapi, dalam referendum yang akan dilakukan pada 2023 ini, Bangsa-bangsa Pertama hendak diberi satu suara permanen di parlemen. Suara ini bisa menentukan pengambilan keputusan ataupun pembuatan undang-undang oleh legislatif.
Selain pemberian suara permanen, Albanese juga berjanji menambah anggaran untuk Badan Nasional Masyarakat Adat Australia. Dana ini akan dipakai untuk mengadaptasi kurikulum nasional agar mengandung prinsip-prinsip budaya lokal, menambah fasilitas serta layanan kesehatan, dan mengembangkan 10 kawasan adat terlindungi per tahun 2028.
Namun, tidak semua anggota Bangsa-bangsa Pertama menyetujui gagasan referendum tersebut. Salah satunya Senator Jacinta Nampijinpa Price dari Australia Utara. Dilansir dari Sky News, ia berargumen adanya suara permanen itu justru akan memecah-belah bangsa Australia berdasarkan kelompok ras karena memberi keistimewaan kepada masyarakat adat dan berisiko menimbulkan kecemburuan politik.
”Masih banyak cara untuk memastikan suara penduduk pribumi didengar. Misalnya dari pendidikan yang komprehensif di sekolah dan pelibatan seluruh sektor masyarakat untuk berintegrasi dengan Bangsa-bangsa Pertama guna menghilangkan batas rasial secara lebih nyata di kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Sementara itu, Guru Besar Kajian Masyarakat Adat Universitas Melbourne Marcia Langton menjelaskan kepada ABC News, memberi satu suara permanen saja tidak cukup. Masyarakat harus diberi penjelasan mengenai makna suara tersebut. Harus ada keterangan cara suara itu bisa mewakili suara-suara nyata dari akar rumput.
”Masyarakat ingin tahu bagaimana suara itu memengaruhi kehidupan mereka sebagai suku pribumi dan warga negara Australia. Perubahan ada ketika solusi dilakukan berbasis komunitas dan pemerintah belum memberi tahu seperti apa wujud pencarian solusi ini nanti,” ujarnya. (REUTERS)