Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa negara yang dipimpinnya harus bisa bangkit menjadi kekuatan global. Di dalam negeri, apatisme di kalangan anak muda meningkat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Tajuk rencana surat kabar nasional China, People’s Daily, edisi Jumat (14/10/2022) mengkritik fenomena yang muncul di kalangan generasi muda. Fenomena baru itu adalah apa yang disebut dengan ”bai lan”. Mereka menyebutnya sebagai penyakit yang mengancam keberlanjutan kesejahteraan negara dan memubazirkan potensi anak-anak muda.
Di dalam tajuk itu diterangkan bahwa istilah ”bai lan” berasal dari olahraga bola basket. Ini adalah kondisi ketika satu tim bola basket mengetahui mereka tidak bisa tampil maksimal karena kurang terampil. Oleh sebab itu, mereka sama sekali tidak berusaha atau mengoptimalkan kekuatan yang ada saat bertanding. Mereka memilih bermain asal-asalan. Berayun busuk, begitulah kira-kira bila ”bai lan” diterjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Sikap atau fenomena seperti itu mulai menghinggapi generasi muda sejak awal 2022.
”Bahkan, lumut sekalipun bisa berbunga. Di dalam dongeng ’Kelinci dan Kura-kura’, kelinci yang lincah dan cepat kalah dari kura-kura karena memutuskan untuk bersantai-santai. Anak muda jangan sampai kehilangan kesempatan hidup. Tentukan ambisi pribadi kalian di bidang apa pun,” demikian kutipan tajuk itu.
Masalahnya, para ”kelinci” di China ini tidak berleha-leha karena mereka takabur akan menang. Mereka memilih bersikap masa bodoh karena tidak ada kesempatan ataupun harapan bahwa mereka akan sukses dalam kehidupan.
Dua tahun lalu, di China muncul fenomena ”tang ping” yang bisa diartikan berbaring santai. Ini adalah antitesis dari fenomena 996. Raksasa-raksasa teknologi di China ingin mengejar ketertinggalan mereka dari Barat. Caranya, dengan menerapkan sistem kerja dari pukul 09.00 hingga 21.00 yang belum termasuk lembur. Padahal, undang-undang ketenagakerjaan mengatakan, setiap pegawai bekerja selama delapan jam sehari.
Pemerintah China pada September 2021 mengeluarkan larangan sistem kerja 996. Etos kerja ini dianggap menjadi penyebab usia produktif China mengalami tekanan mental dan tidak mau berkeluarga. Padahal, sebagai negara berkembang, China membutuhkan sumber daya manusia untuk bekerja di semua sektor. Selain itu, pemerintah juga mengubah aturan jumlah anak. Warga diperbolehkan memiliki anak maksimal tiga orang. Namun, hal-hal itu ternyata tidak menarik bagi masyarakat. Anak muda tidak keluar dari sistem 996 demi menikah dan berkeluarga.
Menikmati hidup
”Dalam konsep ’tang ping’ anak muda mendefinisikan kembali hidup mereka dan arti sukses. Ini adalah pemikiran yang mengutamakan hidup untuk kebahagiaan diri sendiri, bukan demi mengikuti arus tuntutan masyarakat dan tekanan ekonomi,” kata Ho Lok-sang, pakar kebijakan ekonomi China dari Universitas Lingnan, ketika diwawancara oleh Channel News Asia (CNA) edisi September 2022.
Intinya, pada ”tang ping” anak muda melihat aspek-aspek yang membuat mereka bahagia. Mereka tidak bekerja demi mendapat materi semata, mereka mulai mencurahkan waktu menekuni hobi dan hal-hal yang membuat mereka menikmati hidup.
Dalam beberapa hal, ”tang ping” mirip dengan fenomena Great Resignation di negara-negara Barat. Ada aspek lain dalam kehidupan yang, menurut mereka, lebih layak untuk diperjuangkan dibandingkan dengan bekerja mati-matian ataupun menikah karena tuntutan orangtua.
Menyerah
”Lain lagi dengan konsep ’bai lan’ yang berarti menyerah dan tidak mau berusaha. Konsep ini dilandasi apatisme karena percuma bekerja keras jika tidak ada harapan untuk bisa maju,” ujar Ho.
Salah satu contohnya ialah Li Xiaolin, pemuda berumur awal 20-an tahun. Ia adalah lulusan SMA yang bekerja di bengkel pamannya. Kepada CNA, Li menceritakan bahwa ia dulu memiliki cita-cita untuk mendapat pekerjaan yang layak dan hidup sukses. Akan tetapi, ia beberapa kali tidak lulus ujian penerimaan mahasiswa baru. Tidak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja sehingga ia ”terdampar” bekerja dengan pamannya.
Di bengkel itu gajinya tidak seberapa. Hubungannya dengan pegawai lain lumayan baik. Akan tetapi, soal pekerjaan, Li ogah-ogahan. Ia sama sekali tidak menyukai pekerjaannya. Li mengaku frustrasi.
”Mau bekerja sekeras apa pun, saya tidak akan bisa mendapat kehidupan yang saya inginkan. Makanya, saya memilih menyerah. Saya tidak pernah lembur dan bekerja asal selesai tugas. Setelah itu, saya pulang dan main gim daring,” tuturnya.
Setali tiga uang, Hang, seorang teknisi musik, mengatakan bahwa pekerjaan yang ia idamkan sejak lama itu tidak memberinya ”buah”. Setelah beberapa bulan bekerja, ia menyadari tidak akan bisa hidup sesuai impiannya. Gajinya rendah sehingga ia tidak bisa mencicil rumah. Ia juga tidak bisa menabung untuk menikah dan berkeluarga.
”Di kantor, target capaian kerja tinggi sekali sehingga saya selalu gagal memenuhinya. Ya sudah, saya bekerja memenuhi target minimum saja. Yang penting kerjaan selesai,” ujarnya kepada The Guardian edisi Juni 2022.
Di media sosial Weibo dan Baidu ada jutaan anak muda berpendapat sama. Mereka memilih jalur ”bai lan”. Bukan hanya tidak ambisius, mereka sama sekali masa bodoh dengan lingkungan sekitar.
Warganet mengeluhkan tekanan kerja, upah kecil, tekanan sosial, dan pandemi Covid-19 membuat semua hal menjadi tidak jelas. Banyak di antara mereka memilih kehidupan ”bai lan” karena pesimistis keadaan akan membaik. ”Kalau sudah mulai membusuk, biarkan saja busuk sepenuhnya,” demikian prinsip yang mereka unggah di media sosial.
Konsep ”bai lan” dan ”tang ping” ini belum menjadi arus utama di kalangan muda China, tetapi—layak dikhawatirkan—semakin banyak orang yang memilih menjalankannya. Para ekonom dan pakar kebijakan publik mengkhawatirkan apabila ”bai lan” menjadi lebih populer daripada ”tang ping”. Menurut mereka, apatisme tidak hanya membawa pelambatan ekonomi. Apatisme juga berpotensi besar memunculkan masalah sosial lebih lanjut.
Meskipun begitu, warganet berargumen jika mereka memilih ”bai lan” tidak akan berpengaruh kepada orang lain dengan alasan mereka hidup untuk diri sendiri dan tidak tergantung orang lain. ”Toh, kami tidak menganggur. Kami tetap bekerja walaupun performanya tidak ambisius,” kata salah satu warganet di Weibo.
Secara umum, dampak ”bai lan” belum terlihat di atas kertas. Hal yang pasti ialah dampak pertumbuhan ekonomi dan tekanan hidup terhadap anak muda menambah semakin banyak yang mengikuti prinsip ini.
Tak mengherankan bila Pemerintah China cemas dengan fenomena ini. Apalagi, Presiden China Xi Jinping selalu mengatakan masa depan negara ada di tangan pemuda. Per tahun 2022, Biro Statistik China mendata, angka pengangguran pemuda mencapai 18,4 persen. Tak hanya itu, Biro Statistik China mencatat, setiap tahun perguruan tinggi meluluskan 10 juta sarjana baru. Bisa dibayangkan ketatnya persaingan untuk memperoleh pekerjaan.
Ho mengatakan, di setiap bangsa selalu ada pemberontakan atau ketidakpuasan anak muda pada kualitas hidup. Bedanya ”bai lan” sudah tidak peduli dengan masa depan. Ada pepatah, ”babi yang sudah mati tidak akan takut dengan wajan panas”.
Tak mengherankan bila People’s Daily mengkritiknya.