”Perjuangan” China Mengembalikan Kejantanan Generasi Mudanya
Arus perubahan zaman membawa generasi muda di China menjadi lebih ekspresif dan membangun idola-idola baru di luar patron negara. Cemas dengan hal itu, Pemerintah China mengambil kebijakan antisipatif.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
China tengah berusaha menjadi kekuatan global. Berbagai cara dilakukan untuk menunjukkan dominasi mereka di kawasan, mulai dari diplomasi vaksin, patroli kapal dan pesawat tempur di Laut China Selatan dan wilayah udara Taiwan, hingga perombakan besar-besaran budaya populernya yang dinilai konsumtif dan tidak mendukung norma pemerataan kekayaan. Salah satu imbasnya tampak kepada pembentukan citra laki-laki ideal sesuai kemauan Partai Komunis China.
Awal September 2021, Pemerintah China melalui Dewan Televisi dan Radio Nasional mengeluarkan aturan yang cukup mencengangkan dunia. Laki-laki metroseksual dan yang berpenampilan terlalu heboh atau kemayu dilarang tampil di media arus utama. Stasiun-stasiun televisi segera merespons dengan mengaburkan para pria pesohor yang memiliki rambut diwarnai ataupun telinga ditindik.
”Tidak boleh ada tayangan yang kelewat menghibur. Semua jenis program siaran harus mengusung nilai-nilai budaya sosialisme China untuk mendidik karakter masyarakat,” demikian kutipan peraturan tersebut dari harian Global Times.
Lebih lanjut, aturan itu juga menyerukan agar negara memblokir segala jenis kontes idola dan melarang budaya pemujaan artis ataupun idola. Alasannya bukan karena hal itu tidak sehat secara psikologis sehingga memunculkan perundungan daring di kalangan netizen, melainkan karena para idola ini menjadi pujaan hati masyarakat China, menggantikan para patriot bangsa.
Gim daring juga terkena imbas. Pemerintah menerbitkan aturan agar semua gim harus akurat secara sejarah. Desain lakon dari gim juga tidak boleh memunculkan potensi tokoh fiktif menjadi idola bagi para pemainnya.
Dalam budaya China, ada istilah ”wei le mianzi”. Jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia, artinya ”semua demi wajah”. Apabila dimaknai, mungkin bisa dikatakan istilah ini menegaskan bahwa citra seseorang ataupun suatu masyarakat adalah segalanya.
Jika generasi milenial dan generasi Z, baik China maupun internasional, ditanya apa yang tebersit di benak mereka ketika nama negara itu disebut, jawabannya sudah pasti bukan PKC dan Presiden Xi Jinping. Jawabannya bisa saja variatif, seperti boyband EXO dan NEXT, artis Fan Bingbing, atau bagi angkatan milenial Indonesia artis Zhao Wei yang terkenal namanya melalui sinetron Putri Huan Zhu.
Di sektor ekonomi, China merupakan negara nomor satu yang perkembangan ekonomi terpesat di dunia. Akan tetapi, dunia bisnis juga tidak langsung mengidentikkan China dengan Kamerad Xi. Negara ini dikenal dengan pengusaha Jack Ma yang mendirikan Alibaba, perusahaan teknologi Tencent dan Huawei. Citra ini baik kepada China dari sisi komersial, tetapi tidak baik dari sisi PKC.
”Keberhasilan China di ekonomi dan budaya populer menjadi pisau bermata dua. Masyarakatnya menjadikan idola internet, artis, dan pebisnis sebagai panutan, terlepas panutan positif ataupun negatif. Tidak ada yang mengacu kepada nilai-nilai PKC ketika sedang susah, senang, sedih, apalagi saat sukses,” kata Steve Tsang, Direktur Institut Kajian China di Sekolah Kajian Oriental dan Afrika (School of Oriental and African Studies/SOAS), Inggris.
Akibatnya, partai kehilangan pamor. Padahal, kunci kesuksesan sebuah partai komunis ialah segenap masyarakat yang memercayai dan mengusung nilai-nilai sosialisme. Artinya, pemimpin partai harus menjadi sosok yang digugu dan ditiru sebagai pemberi solusi segala masalah.
Mengambinghitamkan kurang jantannya kaum laki-laki China bukan hal baru. Pada tahun 2010, Jendral Konsil Militer China Luo Yuan menerbitkan esai bahwa generasi muda China kian melempem. Sejatinya, laki-laki China harus memiliki sikap heroik, pemberani, dan pekerja keras. Ini yang membuat Revolusi Budaya berhasil. Sekarang, jarang pemuda China mau masuk militer, kepolisian, ataupun pemadam kebakaran.
Luo berargumen China di zaman kerajaan Dinasti Qing tidak memiliki sikap jantan tersebut sehingga akhirnya dijajah oleh bangsa-bangsa asing dan terjebak dalam Perang Opium. Bahkan, di tahun 2021, Akademi Ilmu-ilmu Sosial China mengeluarkan pernyataan bahwa kesukaan generasi muda terhadap hal-hal receh, seperti memakai pakaian bermerek, menata rambut, dan memperhatikan penampilan merupakan perbuatan intelijen AS yang menyusupkan nilai-nilai komersialisme serta hedonisme ke masyarakat China.
Sejumlah politisi PKC meminta pemerintah membuat kurikulum khusus laki-laki untuk di sekolah. Harapannya, siswa-siswa akan diberi kegiatan untuk membentuk maskulinitas mereka. Salah satunya dengan meningkatkan jam pendidikan jasmani ataupun aktivitas fisik lainnya.
Ada banyak faktor mengenai sikap konsumtif generasi muda China. Antropolog Universitas Negeri New York, Zheng Tiantian, pada tahun 2015 menerbitkan makalah di jurnal Etnografica. Ia menjelaskan, ini adalah kulminasi dari kebijakan Pemerintah China itu sendiri, yaitu kewajiban setiap keluarga hanya boleh memiliki satu orang anak.
Anak semata wayang menanggung segala beban dan impian keluarga. Sejak kecil dimasukkan ke berbagai bimbingan belajar demi mengamankan posisi di sekolah dan perguruan tinggi impian. Tidak ada waktu untuk bersosialisasi dan mengembangkan kepribadian. Lulus kuliah, dituntut untuk memiliki pekerjaan bergaji layak dan segera berkeluarga.
Bahkan, Jack Ma yang awalnya digadang-gadang sebagai tokoh kemajuan teknologi China pun kini dihantam kritik. Perusahaannya, Alibaba, terkenal dengan sistem kerja 996 atau masuk pukul 09.00, keluar pukul 21.00, dan bekerja enam hari dalam sepekan. Generasi muda China mengalami tekanan batin yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Jangankan menikah dan punya anak, waktu untuk mengurus diri sendiri dan berpacaran saja tidak ada.
Wajar jika kemudian muncul kaum pemberontak yang menafikan semua tuntutan masyarakat. Ini adalah gerakan berbaring santai atau tangping. Anak-anak muda tanpa ambisi karier ataupun keinginan berkeluarga. Hidup dilakukan mengikuti arus tanpa memedulikan sindiran dari generasi tua.
Dari sini pula muncul pelarian kepada media sosial, gim daring, dan idola. Liputan harian South China Morning Post (SCMP) pada 19 September 2018 mengungkapkan, mayoritas penggemar idola-idola kemayu itu adalah kaum perempuan China. Setelah menganut sistem perekonomian kapitalis di tahun 1990-an, semakin banyak perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan bekerja. Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2021, 61 persen tenaga kerja di China adalah perempuan.
SCMP menemukan bahwa para perempuan karier ini melihat sosok idola sebagai pacar impian yang selalu tampil ganteng dan modis. Stasiun televisi dan media sosial tentu saja memanfaatkan fenomena ini dan memperbanyak konten berisi laki-laki metroseksual demi menggaet perempuan sebagai pemirsa setia.
China kini mengeluarkan aturan melarang jam kerja 996, mengizinkan keluarga memiliki anak lebih dari satu, dan melarang konsumsi berlebihan untuk penampilan fisik yang dinilai hedonis. Semua bertujuan untuk mengembalikan citra laki-laki China sebagai pekerja keras, kepala keluarga yang baik, dan siap sedia membela bangsa. Akan tetapi, secara alami setiap generasi muda selalu memiliki cara memberontak melawan tekanan di zaman masing-masing. (AFP/DNE)