Pisau Sensor Siap Babat Industri Perfilman Hong Kong
Pada era 1980 hingga 2000, Hong Kong dikenal sebagai pusat perfilman di Asia, setara dengan Hollywood. Film, mulai saat ini, dianggap sebagai perpanjangan tangan kampanye nilai-nilai sosialis Partai Komunis China.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Badan Legislatif Hong Hong tengah membahas rancangan undang-undang mengenai sensor film. Kabarnya, RUU itu akan disahkan pekan depan, menandakan masa kejayaan Hong Kong sebagai pusat perfilman Asia pupus sudah. Film, mulai saat ini dianggap sebagai perpanjangan tangan kampanye nilai-nilai sosialis Partai Komunis China.
Pada era 1980 hingga 2000, Hong Kong tidak hanya dikenal sebagai pusat perfilman di Asia, tetapi juga setara dengan Hollywood. Hong Kong tidak hanya melahirkan film-film top yang laku di pasaran dengan bintang-bintang seperti Jacky Chan, Chow Yun-fat, dan Andy Lau. Akan tetapi, Hong Kong juga dikenal dengan film-film artistik eksperimental yang menantang norma sosial di masyarakat, seperti karya sutradara Fruit Chan dan beberapa film besutan Wong Kar-wai.
Pada Rabu (22/9/2021), Menteri Perdagangan Hong Kong Edward Yau mengumumkan bahwa semua produk kreatif harus sesuai dengan nilai-nilai yang diusung Pemerintah China. ”Segala jenis upaya yang meresahkan masyarakat dengan menentang nilai-nilai tersebut, apalagi memunculkan risiko mengancam kestabilan masyarakat, tidak diperkenankan,” tuturnya.
Pemerintah mengusulkan hukuman berupa kurungan atau denda sebesar 1 juta dollar Hong Kong atau setara dengan Rp 1,8 miliar bagi pelanggar aturan ini. Hukuman ini mencakup pembuat film, produser, pemain film, bahkan juga orang yang dengan sengaja membeli atau menonton film yang dilarang pemerintah.
Sutradara pertama yang terkena getah aturan ini adalah Mok Kwan-ling. Ia hendak merilis film pendek berdurasi 27 menit yang berjudul Zap Uk atau ”bersih-bersih rumah” ketika mendapat surel dari pemerintah. Isi surel itu adalah film Mok dianggap terlalu sensitif sehingga tidak boleh disebarluaskan di masyarakat. Jika ingin filmnya tetap beredar, Mok harus membuang 14 adegan dari filmnya.
Zap Uk bercerita tentang seorang perempuan yang pacarnya ditahan polisi. Ia kemudian pergi ke apartemen pacarnya untuk bersih-bersih dan di sana bertemu dengan kedua orangtua sang kekasih. Film kemudian bercerita mengenai dinamika orang-orang yang terhubung ini dan sekali-kali berceletuk mengenai alasan si laki-laki ditahan polisi.
”Kalau 14 adegan itu dihilangkan, film saya jadi kehilangan makna. Padahal, saya sama sekali tidak membuat film politik. Entah kenapa pemerintah menilai film saya terlalu sensitif,” kata Mok.
Sementara itu, bagi sutradara Kiwi Chow, filmnya yang berjudul Revolution of Our Times sudah dipastikan tidak akan pernah ditayangkan di Hong Kong. Film ini merupakan dokumenter peristiwa unjuk rasa prodemokrasi pada tahun 2019. Dalam Festival Film Cannes di Perancis awal tahun ini, Revolution of Our Times mendapat slot penayangan khusus dan menuai pujian penonton.
Chow sebenarnya bukan sebatas sutradara film dokumenter, ia juga banyak membuat film komersial yang sama sekali tidak bernuansa politik. Pekan lalu, polisi menggerebek sebuah kafe di Hong Kong yang menayangkan salah satu film Chow, padahal film itu berkisah tentang percintaan. Semua orang yang hadir dalam penayangan itu didenda 500 dollar Hong Kong dengan alasan melanggar aturan keramaian meskipun pengelola kafe mengaku sudah menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan.
”Sudah jelas sekarang kami para pembuat film dipaksa jadi juru kampanye pemerintah. Kalau kebebasan berekspresi hilang, seni perfilman juga akan mati,” ujar Chow.
Sensor ini tidak hanya membayangi para pembuat film. Bintang film dan penyanyi juga mulai dibelit aturan. Dennis Ho, penyanyi pop terkenal di Hong Kong, terpaksa membatalkan semua konsernya. Ia dikenal sebagai artis yang kritis dan mendukung kebebasan berekspresi.
Sejumlah artis di Hong Kong dan China juga banyak yang bermain aman. Nicholas Tse, misalnya, mengumumkan bahwa ia kini hanya memegang paspor China. Tse selama ini memegang dua kewarganegaraan, yaitu China dan Kanada, karena ia lahir dan besar di negara di Amerika Utara itu. Setiap kali tampil di hadapan media Barat, Tse memiliki sikap yang santai dan berbicara apa adanya.
Tindakan Tse ini dilakukan setelah Pemerintah China mengumumkan akan merobohkan budaya pemujaan idola dan artis. Partai Komunis China mengatakan bahwa semua orang yang tampil di media arus utama ataupun mencari rezeki di media sosial wajib memiliki sikap sesuai nilai dan norma yang ditentukan mereka.
Oleh sebab itu, begitu Tse mengumumkan melepas kewarganegaraan Kanada, Pemerintah China memuji tindakannya yang mereka sebut nasionalis sejati. Akan tetapi, warganet berpendapat bahwa Tse bersikap pragmatis. Ia hanya ingin mengamankan periuk nasinya.
Bintang-bintang sekaliber Andy Lau, Jacky Chen, dan Donnie Yen pun sejak Juli lalu saat ulang tahun ke-100 Partai Komunis China mulai sering mengunggah status memuji kinerja pemerintah. Warganet ada yang mencibir, tetapi banyak juga yang memaklumi. Jika tidak mengikuti arus, bintang sebesar mereka pun tetap akan dilibas partai. (AFP/AP/Reuters)