Hong Kong Sekarang di Mata Hollywood
Dominasi China di Hong Kong semakin nyata selama beberapa tahun terakhir. Di dunia film, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi sudah terlihat.
Dominasi China di Hong Kong semakin nyata selama beberapa tahun terakhir. Tidak hanya politik, pengaruh China merambah di aspek-aspek lainnya. Di dunia film, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi sudah terlihat.
Pada 11 Juni 2021, Pemerintah Hong Kong mengumumkan peraturan sensor film di kota itu telah diperluas. Di bawah peraturan baru ini, film apapun, termasuk yang mengandung ”tindakan atau aktivitas apa pun yang dapat dianggap sebagai pelanggaran yang membahayakan keamanan nasional” akan mendapat pelarangan eksibisi.
”Ketika mempertimbangkan sebuah film secara keseluruhan dan pengaruhnya terhadap penonton, sensor harus memperhatikan tugas untuk mencegah dan menekan tindakan atau kegiatan yang membahayakan keamanan nasional, dan tanggung jawab bersama rakyat Hong Kong untuk menjaga kedaulatan, persatuan dan kesatuan, serta integritas teritorial Republik Rakyat China,” bunyi peraturan itu.
Hong Kong sebelumnya menggunakan standar sistem peringkat film seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Film tentang seks dan kekerasan masuk kategori penonton dewasa atau dilarang jika terlalu ekstrem. Namun, film tentang politik nyaris tidak disentuh.
Kini, Hong Kong menerapkan sensor film serupa yang juga berlaku di China. Biro Film Nasional China terkenal mengoperasikan sistem sensor yang represif, terutama untuk film bermuatan politis. Saat ini, pemberlakuan sensor baru itu terbatas di ruang eksibisi Hong Kong, seperti bioskop atau tempat umum, tetapi diyakini juga akan merambah ke internet.
Peraturan itu menjadi pukulan baru terhadap Hong Kong, yang meskipun bagian dari China, adalah wilayah semiotonom yang pernah berjaya sebagai salah satu pusat perfilman dunia selama periode 1970-2000. Hong Kong memiliki sederet legenda film, mulai dari pembuat film hingga bintang film, seperti King Hu, Jackie Chan, Stephen Chow, Wong Kar-wai, dan Johnnie To.
”Sensor baru ini akan mempersulit pembuat film lokal di Hong Kong untuk menggunakan hak demokrasi mereka untuk menciptakan seni dan menantang struktur kekuasaan yang tidak adil. Sudah dua tahun sejak protes pro-demokrasi dimulai dan saya sedih melihat contoh serius lain dari pelanggaran Beijing terhadap kebebasan sipil Hong Kong,” kata sutradara film dokumenter Do Not Split yang juga membahas demonstrasi pro-demokrasi Hong Kong, Anders Hammer.
Bahkan, sebelum peraturan sensor baru itu resmi berlaku, sensor film politik di Hong Kong telah terjadi sejak dulu hingga belakangan ini.
Film kriminal baru Tony Leung Chiu-wai dan Aaron Kwok, Where the Wind Blows, awalnya akan dirilis pada 2018. Tanggal perilisan film ini kemudian diganti pada April lalu, tetapi tak lama kembali ditunda. Kabar berembus bahwa film ini dijegal karena menceritakan tentang polisi yang korup.
Nasib lebih miris terjadi pada Inside the Red Brick Wall (2020), dokumenter demonstrasi pro-demokrasi Hong Kong selama 2019-2020 yang batal tayang pada Maret. April lalu, China juga melarang penayangan Oscar 2021 di China dan Hong Kong karena menominasikan Do Not Split (2020) dan sutradara Chloé Zhao yang pernah mengkritik China.
Peraturan sensor tersebut semakin melengkapi Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang baru diberlakukan China sejak tahun lalu. UU ini membuat segala bentuk protes politik sebagai tindakan ilegal. Ratusan pendukung pro-demokrasi telah ditangkap sejak UU ini berlaku sehingga gerakan protes beralih secara diam-diam.
Pengaruh pada Hollywood
Hubungan AS dan China seiring waktu berlalu terus memburuk, terutama di bidang politik dan ekonomi. Di industri film, Hollywood selama ini berupaya masuk ke pasar China, tetapi terhambat pembatasan kuota impor asing di tengah geliat industri film domestik China. China hanya mengizinkan sekitar 40 film asing tayang setiap tahun.
Hollywood selama ini telah melakukan sensor mandiri dengan menghapus elemen film yang bisa menyinggung rasa nasionalis warga China saat ingin mengekspor film ke sana. Kehati-hatian Hollywood bisa terlihat dari beberapa kejadian.
Aktor F9 (2021), John Cena, pernah meminta maaf ke China karena menyatakan Taiwan adalah sebuah negara. Ide sutradara Joe Piscatella untuk membuat dokumenter tentang tragedi Lapangan Tiananmen di China pada 1989 juga tak kunjung terwujud.
Lalu, sejak awal Juni, United Talent Agency (UTA) mulai berbelanja untuk proyek dokumenter dari buku Feeding the Dragon: Inside the Trillion Dollar Dilemma Facing Hollywood, the NBA, & American Business (2020) karya Chris Fenton. Buku ini turut menguraikan andil China dalam membentuk Hollywood. Bukannya disambut baik, rencana UTA ditolak produksi film besar, termasuk Netflix dan HBO.
Dibandingkan China dengan 1,4 miliar penduduk, Hong Kong adalah pasar kecil dengan populasi sekitar tujuh juta penduduk. Namun, berbeda dengan China, Hong Kong tidak menerapkan batasan jumlah impor film asing. Perubahan peraturan sensor di Hong Kong itu bisa membuat distribusi film Hollywood ke wilayah Asia Timur terus berkurang.
Sensor film baru Hong Kong itu tentunya akan berdampak langsung kepada sineas, pemodal, distributor, dan pemeran film, khususnya yang bergenre dokumenter. Hal ini lantaran konten film yang mengusung kebebasan berpendapat akan sulit tembus.
”Aturan film baru di Hong Kong akan memiliki efek yang mengerikan. Salah satu sisa terakhir dari kebebasan berbicara di Hong Kong sekarang telah hilang,” kata sutradara Joe Piscatella, yang juga menyutradarai dokumenter Netflix tentang aktivis demokrasi Hong Kong bertajuk Joshua: Teenager vs. Superpower 2017 (2017).
Piscatella melanjutkan, dampak aturan itu adalah penyensoran mandiri oleh pembuat film karena harus mempertanyakan apa yang mungkin bertentangan dengan aturan baru. ”Dan ada peningkatan pengawasan oleh pemodal dan distributor yang sekarang harus mempertimbangkan pertanyaan yang sama,” ujarnya.
Situasi dilematis
Lambat laun, perusahaan Amerika Serikat lainnya bisa saja harus membuat keputusan yang sulit karena Hong Kong yang sekarang menciptakan situasi yang dilematis. Mengapa?
Tidak seperti industri film, akses perusahaan teknologi AS terhadap pasar China telah lama diblokir. Penyebabnya, China ingin mengembangkan teknologinya sendiri sembari mengontrol wacana dan data warganya. Meskipun demikian, sebagian perusahaan ini masih berbisnis di China, sebut saja Netflix yang masih berjualan hak pembuatan ulang konten.
Dengan demikian, perusahaan mesin pencari atau platform streaming video, seperti Netflix, Amazon, Google, dan Twitter, tidak mengalami tekanan bisnis yang sama seperti industri film untuk melakukan penyesuaian dan sensor mandiri. Google bahkan berani mengalihkan operasional server dari China ke Hong Kong karena tidak ingin menyensor hasil pencarian pada 2010.
Perusahaan-perusahaan ini sampai sekarang beroperasi di Hong Kong dengan cara yang hampir sama seperti di negara demokrasi lainnya. Setelah UU Keamanan Nasional Hong Kong yang baru muncul, Facebook, Google, Twitter, dan perusahaan teknologi lainnya menyatakan akan berhenti mematuhi permintaan Pemerintah Hong Kong untuk memberi data pengguna.
Facebook, Twitter, dan Facebook pun masih menjadi tempat para aktivis pro-demokrasi untuk berkomunikasi. Di Netflix, pelanggan Hong Kong juga bisa menonton film-film berbau politik, seperti Joshua: Teenager vs. Superpower 2017 dan Ten Years (2015).
Namun, pengamat meyakini, Pemerintah Hong Kong akan menggunakan UU Keamanan Nasional dan peraturan sensor baru untuk menghapus konten-konten sensitif dalam platform asing tersebut. Cepat atau lambat perusahaan-perusahaan teknologi asing akan harus ikut beradaptasi.
Jika tidak dipatuhi, perusahaan bisa berselisih dengan Pemerintah China yang berujung pada penahanan karyawan hingga penutupan layanan. Jika dipatuhi, langkah perusahaan melanggar esensi demokrasi sehingga mengerutkan kening petinggi di Washington.
Baca juga: Robohnya Penjaga Kebebasan Pers di Hong Kong
Perlu diingat, meskipun kecil, Hong Kong adalah proksi pertarungan ideologis antara China dan negara barat. ”Pada akhirnya, perusahaan seperti Netflix, Facebook, dan Google akan dipaksa untuk membuat keputusan sulit di Hong Kong—ini hanya masalah waktu,” kata Alexander, peneliti kebijakan dari Keyboard Frontline, sebuah organisasi pengawas hak digital di Hong Kong. Alexander pun meminta hanya nama depannya saja yang dikutip mengingat risiko berbicara dengan media asing di situasi politik saat ini di Hong Kong. (AP/The Hollywood Reporter/Forbes)