Laporan PBB tentang China menyebutkan, pandemi menimbulkan dampak jangka panjang pada kelahiran pertama. Kelahiran baru diperkirakan jatuh pada level rendah tahun ini, di bawah 10 juta bayi.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
Kebijakan nihil-Covid-19 yang diterapkan China memiliki dampak sampingan yang dinilai serius, terutama terkait demografi. Saat berlaku karantina wilayah total (lockdown) pada April-Mei 2022 di Shanghai, muncul tagar ”kami generasi terakhir” yang viral di media sosial China hingga akhirnya disensor.
Kantor berita Reuters, Selasa (9/8/2022), melaporkan, tagar itu dipicu oleh respons seorang pria yang didatangi petugas dengan baju hazmat dan mengancam akan menghukum keluarganya selama tiga generasi karena tidak mematuhi protokol kesehatan terkait Covid-19. ”Saya merasa terhubung. Saya jelas tidak ingin anak-anak saya hidup dalam ketidakpastian di tempat yang aparatnya bisa datang dan melakukan apa pun yang mereka mau,” kata Claire Jiang (30), pekerja di industri media, yang tidak ingin punya anak.
Keinginan Jiang untuk tidak memiliki anak sejatinya banyak dirasakan pula oleh para perempuan di banyak negara. Sejumlah studi menunjukkan, pandemi dan ketidakpastian ekonomi menurunkan angka kelahiran di seluruh dunia. Namun, khusus di China, para ahli demografi menilai kebijakan nihil Covid-19 yang ketat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kemungkinan melenyapkan keinginan untuk memiliki anak.
Cerita tentang orang yang kehilangan pekerjaan atau tidak punya akses pada layanan kesehatan dan makanan banyak bermunculan selama lockdown di Shanghai dan tempat-tempat lain. Ahli demografi mengatakan, perasaan orang yang kehilangan kendali atas hidup mereka akibat peristiwa itu memiliki konsekuensi besar pada tujuan berumah tangga.
”China jelas sebuah pemerintahan besar dan keluarga kecil. Kebijakan nihil Covid-19 menuntun pada nihil ekonomi, nihil pernikahan, dan nihil kesuburan,” kata Yi Fuxian, ahli demografi China.
Terendah
China menerapkan kebijakan satu anak pada 1980-2015. Pemerintah secara resmi mengakui China berada di ambang penurunan demografi. Tingkat kesuburan tercatat 1,16 pada 2021, di bawah standar Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk populasi stabil, yakni 2,1. China menjadi salah satu negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia.
Sejak beberapa tahun lalu, otoritas melakukan berbagai langkah untuk mendorong tingkat kelahiran, di antaranya dengan pengurangan pajak, cuti melahirkan lebih panjang, peningkatan asuransi medis, subsidi perumahan, dana ekstra untuk anak ketiga, dan larangan terhadap bimbingan belajar yang mahal. Nyatanya keinginan kaum perempuan China untuk memiliki anak masih termasuk terendah di dunia berdasarkan survei oleh lembaga YuWa Population Research yang dirilis pada Februari 2022.
Para pakar demografi mengatakan, langkah-langkah itu belum cukup. Mereka menyebut faktor-faktor, seperti tingginya biaya pendidikan, gaji rendah, dan lamanya waktu kerja, masih harus diselesaikan. Itu belum termasuk adanya kebijakan nihil Covid-19 dan isu perlambatan pertumbuhan ekonomi yang muncul selama pandemi.
Pakar demografi pada Universitas Melbourne, Peter McDonald, mengungkapkan, akar permasalahan rendahnya tingkat kelahiran di China adalah ketidaksetaraan jender. China berada di peringkat 102 dari 146 negara dalam hal kesetaraan jender menurut Forum Ekonomi Dunia.
Laporan PBB tentang China menyebutkan, pandemi menimbulkan dampak jangka panjang pada kelahiran pertama. Kaum perempuan menyebut kerawanan kondisi keuangan, kekhawatiran yang tidak berdasar terhadap efek vaksin Covid-19 pada janin, serta kesulitan menjalani masa kehamilan dan merawat bayi dalam protokol kesehatan ketat sebagai penyebab keengganan tersebut.
”Pasangan yang mungkin berpikir akan memiliki anak tahun depan jelas menundanya. Pasangan yang tidak yakin, menunda sampai waktu yang tidak ditentukan,” kata Justine Coulson, Perwakilan Dana Penduduk PBB untuk China.
Kelahiran baru diperkirakan jatuh pada level rendah tahun ini di bawah 10 juta bayi dibandingkan 10,6 juta bayi pada 2021. Angka itu sebenarnya sudah 11,5 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2020. Data kependudukan resmi 2022 baru akan keluar awal tahun depan, tetapi sejumlah kota di China telah memublikasikan statistik yang mengkhawatirkan dalam beberapa pekan terakhir.
Ini terlihat, misalnya, di kota Jiaozhou, Provinsi Shandong, yang berpenduduk 1 juta jiwa. Sertifikat kelahiran baru yang diterbitkan pemerintah kota turun hingga 26 persen pada enam bulan pertama 2022. Di kota Hukou, Provinsi Jiangxi, penurunannya hingga 42 persen.
Indikasi lain tampak dari berbagai perusahaan yang menyediakan kebutuhan bayi. Produsen susu formula Ausnutria Dairy, perusahaan popok Aiyingshi, serta pembuat boks bayi dan kereta dorong bayi Goodbaby, juga menyebut turunnya angka kelahiran di China sebagai salah satu faktor penyebab kerugian pada semester I-2022.
Meski penurunan itu tidak secara langsung merefleksikan dampak lockdown di kota-kota di China awal tahun ini, para ahli demografi mengatakan, angka-angka itu mengungkapkan sekilas bagaimana aturan ketat Covid-19 tahun 2020 dan 2021 memengaruhi kelahiran.
Yi memperkirakan, pandemi Covid-19 mengakibatkan berkurangnya hingga 1 juta kelahiran pada 2021 dan 2022. Tahun 2023 bisa lebih buruk. Jika tren ini berlanjut, ada kemungkinan India mengambil alih posisi China sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. (REUTERS)