Hidup Tak Menentu di China pada Era Nihil Covid-19
China merupakan negara terakhir yang masih memberlakukan strategi nihil Covid-19 serta memosisikan perusahaan dan pekerjanya di situasi serba tak pasti. Namun, Beijing menegaskan strategi itu paling cocok untuk China.
Oleh
LUKI AULIA, DARI FUZHOU, CHINA
·5 menit baca
AFP/HECTOR RETAMAL
Seorang perempuan muda dengan mengenakan masker menggendong seekor anjing saat berjalan di Distrik Xuhui, Shanghai, China, 18 Juni 2022. Shanghai termasuk kota yang diberlakukan penguncian wilayah (lockdown) sebagai bagian dari kebijakan mengendalikan pandemi Covid-19 di China.
Fiona Shi kehilangan pekerjaannya sampai dua kali selama pandemi Covid-19. Pertama kalinya tahun 2020 ketika Covid-19 menghancurkan sektor industri perjalanan, tidak hanya di China, tetapi juga di seluruh dunia. Yang kedua, pada tahun ini, ketika kebijakan ketat ”nihil Covid-19 dinamis” menghantam dunia usaha di China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
China merupakan negara terakhir yang masih memberlakukan strategi nihil Covid-19 serta memosisikan perusahaan dan para pekerjanya di situasi yang serba tak pasti. Kebijakan penguncian wilayah (lockdown) bisa diberlakukan sewaktu-waktu jika kasus Covid-19 naik. Jika itu terjadi, kegiatan di sektor jasa pun mandek. Begitu pula dengan rantai pasokan yang penting bagi pabrik atau produsen.
Ketika China memerangi pandemi Covid-19, tingkat pengangguran di wilayah perkotaan melonjak hingga ke level tertinggi dalam dua tahun. Dampaknya terasa di kalangan pekerja. ”Banyak perusahaan tidak merekrut karyawan berusia di atas 35 tahun,” kata Shi (38) yang mengaku sulit kembali bekerja di posisi pemula (entry-level) setelah sempat duduk di posisi manajerial.
Shi sebelumnya bekerja di posisi manajemen pada industri perhotelan tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 membuat hampir semua bisnis layanan perjalanan terhenti gara-gara pemerintah memberlakukan protokol kesehatan menjaga jarak sosial dan membatasi pergerakan. ”Pandemi ini membuat hidup makin sulit. Banyak tempat membekukan jumlah karyawan. Saya betul-betul cemas,” ujarnya.
Kebijakan pembatasan terkait Covid-19 bisa berlangsung selama berbulan-bulan. Situasinya tidak bisa diprediksi. Penguncian dan pembatasan perjalanan bisa diberlakukan secara tiba-tiba dan tanpa kepastian hingga kapan.
gamma.patriono
Bepergian ke China selama masih ada pandemi Covid-19 tidak akan bisa murah karena selain tiket pesawat, ada biaya karantinanya.
Hal itu terjadi di hampir semua kota di China, mulai dari Shanghai di wilayah timur sampai ke Jilin di wilayah utara. Survei Kamar Dagang Amerika Serikat yang dirilis pekan ini menunjukkan hampir semua responden memangkas proyeksi pendapatan mereka. Dalam studi terpisah, 11 persen perusahaan Eropa mengaku akan mengurangi kegiatan usaha mereka di China karena kebijakan ketat China itu.
Mandek
Perusahaan-perusahaan domestik juga memperketat anggaran mereka. Bahkan platform jasa kendaraan, Caocao Chuxing, sudah mengurangi karyawan. Sejumlah karyawan di perusahaan raksasa Alibaba juga dilaporkan diminta pergi.
Pemberlakuan pembatasan untuk membasmi Covid-19 semakin menekan perusahaan- perusahaan yang selama ini sudah bergulat dengan perlambatan ekonomi dan aturan tegas lain di sektor-sektor seperti properti dan teknologi.
Bai (27) mengaku diberhentikan oleh perusahaan teknologi AS yang tengah bersiap mengakhiri bisnisnya di China. Bai mengaku sudah menduga hal ini akan terjadi karena operasional di China juga sudah merugi. ”Ini bukan perusahaan pertama yang meninggalkan pasar China dan tidak akan menjadi yang terakhir,” kata Bai yang sudah dua kali juga kehilangan pekerjaan gara-gara pandemi Covid-19.
Pada tahun 2020, ketika Covid-19 mengamuk di China, Bai dipecat dari perusahaan operator kapal pesiar. Nasib serupa dialami Andrea Zhang (24) yang bekerja pada bidang penyelenggaraan acara. Majikannya menutup usaha toko pakaiannya pada Maret dan April lalu. Usahanya bahkan tidak bisa bertahan dengan berjualan secara daring.
AFP/STR
Seorang karyawan bekerja di pabrik tekstil di Nantong, Provinsi Jiangsu, China timur, yang memproduksi kain sutra untuk diekspor, 15 Juni 2022.
Sekitar 1,3 juta entitas membatalkan pendaftaran bisnis mereka di China bulan Maret saja. Jumlah ini melonjak 24 persen dalam setahun.
Presiden China Xi Jinping berulang kali menekankan pentingnya kebijakan ”nihil Covid-19 dinamis”. Kebijakan itu kemungkinan akan tetap dipertahankan meski perekonomian menanggung akibatnya dan beban hidup rakyat kian berat.
”Bekerja dari rumah, terutama di industri yang dikenal dengan praktik lembur, membuat batas kehidupan kerja semakin kabur,” kata Ning (26), yang bekerja di bidang pemasaran di sebuah perusahaan teknologi di Beijing itu.
Ning biasanya pulang kerja sekitar pukul 11.00 malam. Namun, jam kerjanya menjadi diperpanjang hingga lewat tengah malam. Bahkan, ia juga harus bekerja pada akhir pekan setelah Pemerintah Beijing meminta warganya tinggal di rumah saja ketika kasus Covid-19 melonjak. ”Saya terlalu lelah, dan akhirnya saya keluar,” kata Ning.
Hingga kini, ia sudah mengajukan lebih dari 200 lamaran pekerjaan. Hanya tiga yang berlanjut ke wawancara kerja. Tetapi, itu pun belum pasti. ”Situasinya suram, tetapi kita harus tetap menemukan cara untuk bisa bertahan hidup,” ujar Ning.
Ekonomi bangkit
Duta Besar AS untuk China Nicholas Burns, Kamis lalu, menyatakan bahwa kebijakan ”nihil Covid-19 dinamis” China berdampak besar pada perekonomian dunia dan sentimen bisnis asing. Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menegaskan, perekonomian China sudah mulai pulih dari dampak pandemi.
Ia menyatakan, kebijakan ”nihil Covid-19 dinamis” yang mewajibkan penguncian, karantina, dan tes usap PCR massal adalah kebijakan yang paling cocok untuk situasi nasional China. Toh, sudah terbukti efektif mengendalikan Covid-19, kata Wang.
”Kami yakin akan bisa mengendalikan epidemi ini serta memulihkan perekonomian dan pembangunan,” ujar Wang lagi.
AFP/JADE GAO
Para petugas kesehatan dikerahkan dalam pengetesan Covid-19 bagi warga di Zhongguancun, Beijing, China, 26 April 2022.
Di mata Pemerintah China, satu-satunya cara mengendalikan Covid-19 adalah dengan aturan yang ketat. Padahal, banyak negara bahkan sudah mulai melonggarkan kebijakan pengendalian Covid-19 dan mulai belajar hidup berdampingan dengan Covid-19.
Kalangan pengkritik menilai kebijakan itu mengganggu rantai pasokan global serta menggoyang ketenagakerjaan dan konsumsi di China. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menganggapnya tidak efektif dalam jangka panjang.
Ketika berbicara di diskusi virtual yang diadakan lembaga kajian Institusi Brookings, Burns mengatakan bahwa sebelum pandemi ada sekitar 40.000 warga AS di wilayah Shanghai, tetapi sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang. Ada beberapa perusahaan AS yang juga sudah meninggalkan China sepenuhnya karena kebijakan ketat China itu. Perdagangan antara AS dan China pada tahun lalu tercatat sampai 640 miliar dollar AS dan sekitar 1.100 perusahaan AS beroperasi di China.
”Susah bagi saya untuk meyakinkan rekan-rekan saya di AS untuk datang ke China. Mereka pasti tidak mau karena harus karantina selama 14 hari sebelum ketemu dengan siapa pun di China,” kata Burns.
AFP/HECTOR RETAMAL
Warga berkumpul di sebuah jalan yang diblokade di area permukiman saat berlangsung penguncian wilayah (lockdown) guna mengendalikan pandemi Covid-19 di Distrik Huangpu, Shanghai, China, 16 Juni 2022.
Perjalanan ke China saat ini memang berat dan tidak murah. Berat karena pendatang dari luar China harus karantina 5 hari di negara asal, 14 hari di kota pertama (buffer), dan tambahan 7 hari karantina di kota tujuan akhir. Semua proses karantina itu juga butuh biaya yang tidak murah.
”Ini menjadi karantina terlama saya ketika bepergian ke luar negeri. Namun, mau bagaimana lagi karena sudah menjadi peraturan dari Pemerintah China,” ujar Marshalina Gita, rekan wartawan dari MetroTV. (AFP/AP)