Impian China untuk memasuki era baru menuju negara sosialis modern tidak akan mudah. Kendala tersulit ada pada kebijakan terkait Covid-19.
Oleh
LUKI AULIA dari BEIJING, CHINA, KRIS MADA
·4 menit baca
BEIJING, KOMPAS – Di bawah gagasan ekonomi ”sirkulasi ganda” yang berbasis pada pertumbuhan ekonomi berkualitas tinggi dan mendorong produksi serta konsumsi domestik, China tetap berkomitmen pada ekonomi global dan tidak membatasi diri dari globalisasi. China telah menyiapkan beragam rencana untuk mewujudkan impian negara sosialis modern.
Pernyataan itu dikemukakan Wakil Direktur Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China Zhao Chenxin dalam konferensi pers dengan 200 wartawan lokal dan asing, Senin (17/10/2022), di Beijing, China. ”Pembangunan ekonomi China sudah luar biasa di saat situasi internasional sedang parah dan kompleks. Memang tidak mudah bagi kami. Meski demikian, ekonomi China sudah bergeser dari tahap pertumbuhan kecepatan tinggi ke pembangunan berkualitas tinggi,” ujarnya.
Seiring dengan itu, meski kebijakan ”nol-Covid dinamis” jadi salah satu penghambat laju pertumbuhan ekonomi, Beijing tetap mempertahankannya. Dalam pidatonya, Minggu (16/10), Presiden China Xi Jinping mengatakan, kebijakan tegas soal Covid-19 dibutuhkan untuk melindungi rakyat China.
Alasannya, menurut Xi, kendala tidak hanya ditimbulkan oleh pandemi. Ganjalan juga datang dari serangan balik pada globalisasi, menguatnya unilateralisme, dan meningkatnya proteksionisme.
Saat yang sama, pemulihan ekonomi global melambat dan konflik pecah di sejumlah wilayah. Di dalam negeri situasi juga tak mudah. ”Banyak isu makin akut. Dunia memasuki periode baru turbulensi dan perubahan,” kata Xi dalam pidatonya.
China memasuki periode pembangunan, di mana peluang strategis, risiko, dan tantangan muncul bersamaan dengan ketidakpastian. Membangun negara sosialis modern, menurut Xi, membutuhkan upaya habis-habisan. ”Kita harus lebih waspada terhadap potensi bahaya, bersiap menghadapi skenario terburuk, dan harus selalu siap menghadapi angin kencang, air berombak, bahkan badai yang berbahaya,” ujarnya.
Meski demikian, China tetap berkomitmen menjaga hubungan internasional, yakni memperdalam dan memperluas kemitraan global berdasar kesetaraan. Xi berjanji memperkuat solidaritas dan kerja sama serta menjaga kepentingan bersama dengan negara-negara berkembang lain. ”Kami siap bekerja bahu-membahu dengan seluruh dunia untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi umat manusia,” ucap Xi.
Dilematis
Situasi China saat ini dilematis. Nur Rachmat Yuliantoro, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, menjelaskan di satu sisi, China sudah menikmati begitu banyak manfaat dari globalisasi. Salah satunya adalah transformasi teknologi, dari yang semula menjadi "negara copycat" menjadi negara dengan kisah sukses teknologi inovatif. Perubahan ini banyak menyumbang kemajuan ekonomi China, khususnya sejak awal tahun 2000-an. Ini yang membuat legitimasi PKC bertahan.
Namun, lanjut Rachmat, legitimasi ini mendapatkan tantangan besar saat ini dengan diberlakukannya kebijakan "nol-Covid dinamis" yang melemahkan ekonomi dan penentangan kepada kebijakan pemerintah. "Xi menghadapi salah satu tantangan besar dalam kepemimpinannya, dengan taruhan yang sangat besar," ujarnya.
Guru Besar Keuangan di Universitas Hong Kong, Zhiwu Chen, kepada kantor berita Reuters, mengatakan salah satu perubahan signifikan dari China adalah tidak menekankan pembangunan ekonomi dan reformasi ekonomi. Dari Kongres PKC ke-14 hingga ke-19, pembangunan ekonomi, setiap kali, secara eksplisit dinyatakan sebagai misi utama partai, sedangkan kali ini tidak disebutkan. Sebaliknya, penekanannya ada pada pengembangan 'lengkap' dan 'menyeluruh'. "Artinya, bukan hanya pembangunan ekonomi tetapi juga pembangunan politik, sosial, lingkungan, dan budaya yang akan diusahakan PKC," ujarnya.
Namun, PKC tetap percaya masa depan Cina akan "terang" di bawah kepemimpinan Xi, terlepas dari berbagai persoalan domestik dan internasional yg dihadapi China. Jika Xi kembali memimpin, kata Rachmat, Indonesia dan negara-negara lain akan menjumpai China yang lebih ambisius dalam strategi pembangunan ekonomi, lebih agresif dalam politik luar negeri, dan semakin represif terhadap seruan untuk keterbukaan politik di dalam negeri. Secara garis besar, postur politik luar negeri China tidak akan banyak berubah.
"Hubungan dengan Amerika Serikat akan semakin tegang dan kemungkinan akan ada riak-riak kecil dalam relasi dengan Rusia. Isu Xinjiang, Tibet, Hong Kong, dan Taiwan akan tetap menjadi isu utama di China, sementara dinamika hubungan dgn negara-negara Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan akan selalu diprioritaskan," kata Rachmat.
Pengajar Pemikiran Politik China pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarka Klaus Heinrich Raditio mengatakan terlepas dari sejumlah kritik dan kekurangannya terkait pekerja dan lingkungan hidup, Indonesia mendapatkan manfaat dari China. Sebaliknya, negara-negara Barat cenderung malah menghambat upaya Indonesia dan banyak negara berkembang untuk naik kelas. Keinginan Indonesia dan negara berkembang berhenti mengekspor bahan mentah dijawab Barat dengan gugatan. Sementara China menjawabnya dengan investasi.
Klaus tidak menampik, ada catatan dalam relasi China dengan negara berkembang lain. Di kawasan, catatan paling serius adalah perilaku Beijing di Laut China Selatan. Selain itu, terkait kerja sama pembangunan, aneka proyek China kerap dituding merusak lingkungan. Kondisi itu tidak lepas dari kerja sama yang asimetris. China menawarkan modal dan teknologi, sementara posisi mitranya membutuhkan pengembangan. "Pemerintah perlu menyeimbangkan ini," kata dia.