Ekonomi China Tumbuh di Tengah Tekanan akibat Kebijakan Pandemi
Kebijakan tidak menoleransi kasus Covid-19 berisiko makin menekan pertumbuhan ekonomi China. Padahal, negara itu telah kehilangan tenaga pada paruh kedua 2021 akibat tekanan pada sektor properti.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
BEIJING, SENIN — Langkah Pemerintah China merespons dan menangani pandemi Covid-19 akan menentukan perekonomian, perdagangan, hingga manufaktur global. Kebijakan untuk tidak menoleransi kasus Covid-19 berisiko makin menekan pertumbuhan ekonomi China. Padahal, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu telah kehilangan tenaga pada paruh kedua tahun lalu akibat tekanan pada sektor properti dan berlanjutnya kebijakan pandemi yang ketat.
Biro Statistik Nasional (NBS) pada Senin (18/4/2022) merilis data pertumbuhan ekonomi China terbaru. Ekonomi China sepanjang triwulan I-2022 tumbuh positif 4,8 persen. Tingkat pertumbuhan itu lebih tinggi dari pertumbuhan sepanjang triwulan IV-2021 yang tercatat 4 persen. Angka pertumbuhan terbaru itu juga di atas proyeksi kalangan analis dan ekonom, yakni di level 4,4 persen.
Meski demikian, data itu tidak mencakup efek dari penguncian wilayah (lockdown) Shanghai dan wilayah sekitarnya dalam beberapa waktu terakhir. Angka penjualan ritel di China pada Maret tahun ini turun 3,5 persen dibanding periode sama tahun lalu, dan mengirim sinyal tekanan atas ekonomi negara itu. Padahal, ekonomi China sempat tumbuh cukup kuat sebesar 1,3 persen pada Januari-Februari dibandingkan akhir tahun lalu, lebih tinggi dari proyeksi analis di level 0,6 persen.
Partai Komunis China (PKC) menetapkan target pertumbuhan 5,5 persen tahun ini. Partai berkuasa itu sudah berupaya membalikkan kemerosotan yang dimulai pada pertengahan 2021. Tekanan meningkat setelah lonjakan infeksi bulan lalu mendorong Beijing untuk menangguhkan akses ke Shanghai, kota berpenduduk 25 juta orang, dan pusat industri lainnya.
”Aktivitas bulan ini bakal lebih buruk,” kata Julian Evans-Pritchard dari Capital Economics dalam laporan tertulis. ”Kinerja ekonomi China kemungkinan akan tetap lesu dalam waktu dekat.” Hal senada diungkapkan analis ING, Iris Pang. ”Dampak lebih lanjut dari penguncian sudah dekat,” kata Pang.
Hasil pabrik di China naik 6,5 persen selama tiga bulan pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Investasi di pabrik, real estat, dan aset tetap lainnya meningkat 9,3 persen dibandingkan tahun lalu. Ekonom Nomura, yakni Ting Lu, Jing Wang, dan Harrington Zhang, dalam laporan mereka memproyeksikan penjualan ritel pada triwulan II-2022 akan turun 5,5 persen secara tahunan, sedangkan hasil pabrik berkontraksi 1,5 persen.
China pulih dengan cepat dari pandemi tahun 2020. Namun, aktivitas ekonomi negara itu kembali melemah karena kontrol lebih ketat atas ekonomi. Salah satu perhatian pemerintah adalah pinjaman oleh pengembang real estat yang memukul konstruksi. Padahal, sektor ini mendukung jutaan lapangan kerja di China. Investor sedang menunggu untuk melihat apa yang terjadi pada salah satu pengembang terbesar China, Evergrande Group. Perusahaan itu telah berjuang sejak tahun lalu untuk menghindari gagal bayar senilai 310 miliar dollar AS kepada bank dan pemegang surat utang.
Rupanya, Pemerintah China bergeming dengan kebijakan dalam menyikapi pandemi Covid-19, sekalipun ada risiko terhadap perekonomian. Perlambatan ekonomi China dikhawatirkan merugikan mitra-mitra dagang negara itu dengan menekan permintaan minyak impor, makanan, dan barang-barang konsumen. Harga minyak, yang melonjak setelah serangan Rusia di Ukraina, telah mereda karena ekspektasi konsumsi China akan melemah.
PKC juga menjanjikan pengembalian pajak dan bantuan lain untuk bisnis setelah kontrol yang lebih ketat pada penggunaan utang memicu perlambatan di industri real estate besar China. Pekan lalu, Perdana Menteri Li Keqiang menyerukan adanya tindakan lebih cepat untuk membantu pengusaha yang menghasilkan pekerjaan dan kekayaan baru di China. Beijing diproyeksikan menggunakan stimulus dengan hati-hati dan pada hal-hal yang ditargetkan dibandingkan membelanjakan secara menyeluruh. Para pemimpin China khawatir terlalu banyak pengeluaran atau pinjaman bank dapat mendorong biaya perumahan yang sensitif secara politik atau utang perusahaan yang sangat tinggi.
Pada saat bersamaan, tekanan eksternal juga harus dihadapi China, khususnya efek perang Rusia-Ukraina. Tekanan yang mungkin muncul bagi China adalah kemungkinan perlambatan di Uni Eropa, pasar ekspor utama bagi Beijing. Rajiv Biswas dari S&P Global Market Intelligence menyatakan, efek dari perang Rusia-Ukraina paling jelas adalah harga minyak dan gas yang lebih tinggi dan bisa setiap saat menghantam ekspor manufaktur China.
Aliran barang industri telah terganggu oleh penangguhan akses ke Shanghai, pelabuhan tersibuk di dunia, dan kota-kota industri lainnya di China, termasuk Changchun dan Jilin. Produsen mobil global dan produsen-produsen barang lain telah mengurangi atau menghentikan produksi di pabrik-pabrik China. Menurut Tommy Wu dari Oxford Economics, gangguan seperti itu akan membebani aktivitas pada April-Mei, bahkan bisa lebih lama. Dia menyebut hal itu berdampak signifikan pada rantai pasokan global.
Dari Shanghai dilaporkan, aparat keamanan telah melonggarkan pembatasan sosial. Namun, sekalipun 6,6 juta orang telah diizinkan keluar rumah, sebagian besar bisnis di kota itu tetap tutup. Badan pengelola pelabuhan Shanghai mengatakan, operasional telah berjalan normal, tetapi volume kargo yang ditangani turun. Penguncian Shanghai selama sebulan penuh diperkirakan dapat menekan pertumbuhan ekonomi China hingga 2 persen.
Pihak berwenang juga menangguhkan kegiatan ekonomi di Tianjin, kota pelabuhan dan pusat petrokimia di timur Beijing. Hal yang sama berlaku di Shenzhen, pusat keuangan dan teknologi di dekat Hong Kong.
Kota-kota lain di China juga telah menutup bisnis-bisnis warga, menyuruh penduduk untuk tinggal di rumah jika memungkinkan, atau memberlakukan batasan pergerakan warga. Lantaran kebijakan-kebijakan itu, musim tanam petani pada musim semi bisa terganggu sehingga dapat memengaruhi produksi pangan di China tahun ini. Hal itu akan merugikan kegiatan ekonomi dan meningkatkan permintaan gandum impor dan bahan makanan lainnya, yang berpotensi mendorong harga global yang sudah tinggi. (AP/AFP)