PM Inggris Tutupi Kesalahan dengan Mengorbankan Menkeu
Perdana Menteri Inggris Liz Truss dengan enteng mengatakan, ”Enggak peduli jika dianggap tidak populer.” Truss juga telah mengorbankan kawan lamanya karena ketidakmampuannya membaca perekonomian.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
Inggris menjadi negara yang menarik dari banyak sisi. Ini negara dengan keberadaan politisi tanpa visi hingga terbilang oportunis. David Cameron, Perdana Menteri Inggris 2010-2016, menjanjikan referendum keluar dari Uni Eropa pada 2016. Namun, ia langsung mundur setelah itu.
Itu tidak sesuai dengan ucapannya yang mengatakan Brexit, julukan Inggris keluar dari Uni Eropa, akan memulihkan perekonomian Inggris. Sebab, ia mengatakan, tugas selanjutnya ada di tangan penggantinya (The Guardian, 24 Juni 2016). Ia pun digantikan Theresa May.
PM May selama tiga tahun pemerintahannya menjadi terkenal karena hanya sibuk mengurusi Brexit. BBC, 24 Mei 2019, menuliskan kemungkinan PM May mundur karena terlalu penat mengurusi Brexit. ”Disesalkan tentu karena saya tidak bisa menuntaskan urusan Brexit. Mungkin ini pertanda Inggris memerlukan PM baru,” kata May.
Boris Johnson menggantikan May dan menuntaskan Brexit. Pada Pemilu 2019, Johnson menyerukan warga agar memilihnya untuk Brexit guna memulihkan kontrol Inggris atas takdirnya. Ia menang, tetapi kemudian juga mundur (The Atlantic, 20 Juni 2022). Oleh orang-orang yang paham tentang Johnson, ia dijuluki figur ambisius. Ia bagus dalam komunikasi, tetapi bukan orang yang bisa diandalkan untuk tugas serius (ABC Australia, 7 Juli 2022).
Fondasi rapuh
Bayangan orang sekarang tentang Inggris yang hebat, penguasa perekonomian dunia ratusan tahun, tidak didukung kenyataan. Figur pemimpin seperti Winston Churchill, perdana menteri dua kali (1940-1945 dan 1951-1955), yang visioner tidak dimiliki pemimpin Inggris yang berkuasa sejak 2016.
Liz Truss bukan pengecualian. The Guardian, 12 Oktober 2022, menuliskan Liz pribadi populis tanpa popularitas. Ia diperkirakan akan gagal juga. Truss enteng saja mengatakan, ”Enggak peduli jika dianggap tidak populer.”
Fondasi perekonomian Inggris yang melemah dan efek negatif Brexit pada perekonomian tentu turut memengaruhi. Banyak ulasan soal efek Brexit terhadap perekonomian Inggris. Ketua Office for Budget Responsibility Richard Hughes pada 21 Oktober 2021 seperti dikutip BBC mengatakan, Brexit akan menciutkan perekonomian Inggris, bahkan lebih buruk dari efek pandemi Covid-19.
Penciutan terjadi akibat hambatan perdagangan, mobilitas, dan anjloknya kegiatan jasa-jasa keuangan. Brexit menjadi penyebab utama. Ini bukan salah para pemimpin semata, melainkan eurosceptics, sebutan bagi sikap skeptis pada UE berakar kuat pada warga Inggris.
Truss berkelit
Namun, untuk kasus PM Truss, kekacauan pada pemerintahannya yang baru berusia sebulan juga terjadi karena sikap dan gayanya. Truss tampil percaya diri dan berjalan elegan. Ia ingin pula meniru Margaret Thatcher dengan program untuk membangkitkan perekonomian pada dekade 1980-an.
Sayangnya, Truss tidak hidup pada dekade 1980-an. Ia hidup saat zaman berubah. Inggris ada di dekat lingkungan UE yang juga bermasalah secara perekonomian. Namun, ia ambisius bisa menjadi seperti Thatcher. Salah satunya, Truss mencanangkan penurunan pajak dan deregulasi perekonomian.
Ia tidak hirau akan bolongnya anggaran pemerintah dan ancaman inflasi. ”Penurunan pajak akan menaikkan inflasi, tetapi perekonomian akan bangkit,” kata Truss seperti dikutip Al Jazeera, 1 Agustus 2022.
Ia lupa penurunan pajak akan menaikkan ketimpangan dan menurunkan kemampuan membayar utang negara bertahun-tahun ke depan. Begitu memerintah mulai 5 September, ia mewujudkan impian kosongnya.
Menteri Keuangan Kwasi Kwarteng tampil pada akhir September mencanangkan penurunan pajak agar pebisnis tertarik berinvestasi. Pasar di London langsung bergolak. Obligasi Pemerintah Inggris tidak memiliki pembeli di pasar karena perkiraan akan beratnya daya bayar pemerintah atas utang di masa depan dengan rencana itu.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan agar Inggris hati-hati dengan kebijakannya. Penurunan pajak, yang artinya penerbitan surat utang baru, sama saja menaikkan peredaran uang dan menaikkan inflasi Inggris yang pada Agustus mencapai 9,9 persen. Ini tidak sejalan dengan tugas Bank Sentral Inggris yang sedang berjuang menekan inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Kwarteng menjadi bulan-bulanan dalam pertemuan IMF-Bank Dunia di Washington, Amerika Serikat, pada 11 Oktober. ”Kebijakan fiskal seharusnya tidak bertentangan dengan tugas otoritas moneter,” kata Pierre-Olivier Gourinchas, anggota dewan ekonomi IMF. ”Tindakan itu hanya menaikkan inflasi dan bisa menyebabkan krisis keuangan,” kata Gourinchas.
Pada 14 Oktober, Truss memecat Kwarteng. Demi alasan kepentingan nasional, Truss memecat orang terdekatnya. Kwarteng yang berdarah Ghana dan lulusan Harvard itu menerima dengan mengatakan dukungan pada Truss melanjutkan pemerintahannya.
Kwarteng menjadi korban dari nasihatnya pada Truss. Namun, Truss juga telah mengorbankan kawan lamanya karena ketidakmampuannya membaca perekonomian. The Guardian, 29 September 2022, menurunkan tulisan yang memperlihatkan Truss tampaknya tidak tahu banyak persoalan. (AFP/AP/REUTERS)