Peter Chatwell, Kepala Strategi Makro Global Mizuho Securities, mengingatkan bahwa dana talangan dari IMF kemungkinan akan dibutuhkan Inggris di masa depan.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Inggris kini tidak ubahnya seperti negara berkembang. Ada ketidakstabilan politik, gangguan perdagangan, krisis energi, dan inflasi yang meroket. Pemerintah Inggris diperkirakan tak akan bisa mengatasi krisis ekonomi terparah sejak dekade 1990-an.
Inggris mengalami penurunan kegiatan ekonomi. Pemerintahannya dipimpin orang-orang yang terjebak nostalgia akan kejayaan masa lalu. Tidak satu pun yang mampu membangkitkan Inggris di samping persoalan demografi yang menua. Maka, pernyataan Saxo Bank, sebuah bank investasi asal Denmark, yang dikutip CNBC pada 9 Agustus lalu, amat tepat bahwa Inggris kini telah menjelma kembali seperti negara berkembang.
Analis ekonomi makro dari Saxo Bank, Christopher Dembik, mengatakan bahwa Inggris menghadapi ketidakstabilan politik. Hal itu terlihat dari pergantian perdana menteri yang menjabat singkat-singkat. Brexit, istilah keluarnya Inggris dari Uni Eropa, yang dipicu Perdana Menteri David Cameron (2010-2016) telah merepotkan PM Inggris berikutnya: Theresa May (2016-2019) dan Boris Johnson (2019-2022).
Kini PM Liz Truss sedang mewarisi beban ekonomi. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Inggris anjlok dan hanya tumbuh 0,8 persen pada kuartal pertama 2022. Pada kuartal kedua 2022, PDB Inggris terkontraksi 0,1 persen dibandingkan kuartal pertama. Inggris akan menghadapi resesi terpanjang dan paling dalam. ”Dalam pandangan kami, ini mengkhawatirkan,” kata Dembik.
Akibat seretnya pertumbuhan, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Dana Moneter Internasional (IMF), India telah menyalip posisi Inggris sebagai perekonomian nomor lima terbesar di dunia. PDB India sebesar 854,7 miliar dollar AS dan PDB Inggris 816 miliar dollar AS pada kuartal kedua 2022, menurut IMF pada 2 September.
Bank Sentral Inggris (BoE) pada Juli lalu juga telah memperingatkan bahwa Inggris akan memasuki resesi terpanjang sejak 2009. Sejumlah masalah sedang mengintai PM Truss. Para pensiunan, misalnya, telah melakukan aksi protes akibat kenaikan harga-harga energi.
BoE telah memproyeksikan pendapatan rumah tangga Inggris setelah dikurangi pajak akan anjlok 3,7 persen pada 2022 dan 2023. Warga berpendapatan paling rendah akan terpukul. Harian Inggris, The Evening Standard, 2 September 2022, mengutip IMF yang menyebutkan rumah tangga Inggris paling terpukul di Eropa barat akibat kenaikan harga energi.
Inflasi naik lagi
Inflasi di Inggris, menurut Office for National Statistics (ONS), sudah mencapai 10,1 persen pada Juli 2022, naik dari 9,4 persen pada Juni. BoE memperkirakan inflasi Inggris pada Oktober 2022 akan mencapai 13 persen. Bahkan, menurut Goldman Sachs, inflasi Inggris akan bisa mencapai 22 persen (Bloomberg, 30 Agustus 2022).
Terakhir kali Inggris mencapai inflasi tertinggi, yakni 18 persen, pada 1976. Saat itu kenaikan harga minyak memukul perekonomian dunia dan Inggris. Situasi buruk saat itu membuat Inggris di bawah PM James Callaghan meminta pertolongan dana dari IMF pada 1974.
Gubernur BoE Andrew Bailey memperingatkan inflasi merupakan kejutan terbesar bagi Inggris. Hal itu bukan hanya karena kenaikan harga energi naik, melainkan juga karena gangguan perdagangan terkait Covid-19 dan Brexit.
Efek Brexit
Majalah The Economist edisi 13 Maret 2021 menuliskan masalah akibat Brexit bermunculan. Ekspor barang Inggris ke Uni Eropa anjlok 40 persen selama periode Desember 2020 hingga Januari 2021, sementara impor turun 30 persen. Meski penurunan ekspor-impor itu terkait dengan pandemi Covid-19, ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa penurunan itu terkait dengan Brexit. Peraturan ekspor-impor di perbatasan Inggris-UE terkait Brexit telah menyebabkan gangguan perdagangan.
BBC pada 26 April juga menuliskan hasil studi LSE Centre for Economic Performance yang memperlihatkan impor Inggris dari UE anjlok 25 persen pada 2021, lebih tinggi dari penurunan impor dari non-UE. Thomas Prayer dari LSE menyebut penurunan ekspor Inggris ke UE sebagai hal yang luar biasa. ”Tampaknya Inggris telah berhenti menjual banyak produk ke negara-negara kecil di UE,” kata Prayer.
Ahli strategi Deutsche Bank, Shreyas Gopal, Senin (5/9/2022), mengatakan bahwa neraca transaksi berjalan Inggris juga tampak ekstrem, tidak pernah terjadi sebelumnya. Neraca transaksi berjalan menunjukkan selisih atas penerimaan devisa dari ekspor barang dan jasa dikurangi impor dan kewajiban luar negeri.
Kantor berita Reuters melaporkan, 30 Juni 2022, bahwa neraca transaksi berjalan Inggris mencapai defisit 62,8 miliar dollar AS atau defisit 8,3 persen jika dibandingkan dengan PDB. Ini defisit terbesar sejak 1995. Mark Carney, mantan Gubernur Bank Sentral Inggris, pada 2016 pernah memperingatkan Inggris akan bergantung pada keramahan orang asing untuk menutupi defisitnya.
Pertolongan dari IMF
Begitu beratnya persoalan ekonomi Inggris sehingga Peter Chatwell, Kepala Strategi Makro Global Mizuho Securities, mengingatkan dana talangan dari IMF kemungkinan akan dibutuhkan Inggris di masa depan (Bloomberg, 5 September 2022). PM Truss kini menghadapi penurunan standar hidup.
Untuk itu, PM Truss merencanakan subsidi energi untuk menolong warga dan pebisnis (The Financial Times, 7 September 2022). Chatwell menambahkan, janji kebijakan fiskal PM Truss tidak akan bisa ditanggung pemerintah.
Selain itu, kebijakan stimulus baru oleh PM Truss bertentangan dengan rencana BoE untuk menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Stimulus akan menyirami api inflasi.
Pada 4 Agustus, Gubernur BoE telah mengatakan, langkah menurunkan inflasi ke level 2 persen adalah tugas prioritas. Maka, tidak heran jika James Searle, pakar suku bunga Eropa dari Citi, mengingatkan bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter Inggris akan berjalan ke arah yang berbeda.
Situasi ekonomi Inggris memang serba pelik dan mirip situasi di banyak negara berkembang. (REUTERS/AP/AFP)