Tiga Pemenang Nobel Perdamaian 2022, Suar di Tengah Gelap Perang
”Ada perang di Eropa. Karya Anda untuk perdamaian dan hak asasi manusia lebih penting daripada sebelumnya,” kata Menteri Luar Negeri Denmark Jeppe Kofod yang ditujukan bagi tiga penerima Nobel Perdamaian 2022.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
BERLIN, MINGGU — Pejabat di Eropa dan Amerika Serikat memuji penganugerahan Nobel Perdamaian bagi aktivis hak asasi manusia serta demokrasi di tiga negara, yakni Belarus, Ukraina, dan Rusia. Namun, sambutan beragam—termasuk bernada mencibir—muncul di kalangan pejabat Ukraina.
Nobel Perdamaian pada 2022 dianugerahkan kepada satu aktivis dan dua lembaga pembela hak asasi manusia. Mereka adalah Ales Bialiatski, pegiat hak asasi manusia dari Belarus; Memorial, lembaga HAM dari Rusia; dan Pusat Kebebasan Sipil Ukraina atau CCL. Ketiganya berasal dari tiga negara bertetangga yang tengah dilanda konflik dan tetap mengumandangkan pesan-pesan demokrasi.
Pengumuman pemenang disampaikan Ketua Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen di Oslo, Jumat (7/10/2022). ”Ini bukan kecaman bagi Presiden Rusia Vladimir Putin ataupun kepala negara mana pun. Namun, ketiga penerima hadiah membuktikan, di tiga negara bertetangga, masyarakat sipil memercayai nilai-nilai demokrasi universal yang menjunjung tinggi HAM,” ujarnya.
Sambutan dan apresiasi dilontarkan pejabat di Eropa dan AS. Menteri Luar Negeri Denmark Jeppe Kofod mengatakan, penganugerahan Nobel Perdamaian tahun ini harus dilihat dalam latar belakang perang di Ukraina. ”Ada perang di Eropa. Karya Anda untuk perdamaian dan hak asasi manusia lebih penting daripada sebelumnya,” ujarnya bagi para pemenang.
Presiden Perancis Emmanuel Macron segera memberi selamat kepada para pemenang. Penghargaan untuk mereka ”menjadi penghormatan bagi pembela HAM yang tak pernah ragu di Eropa. Para pendukung perdamaian, mereka tahu, bisa mengandalkan dukungan Perancis,” cuitnya di Twitter.
Presiden AS Joe Biden menyebut para pemenang Nobel Perdamaian ”mengingatkan kita, di hari-hari gelap perang, di tengah intimidasi dan opresi, hasrat semua manusia pada hak-hak asasi serta martabat tak dapat dipadamkan”.
Berstatus tahanan
Reiss-Andersen menjelaskan, Bialiatski (60), yang juga direktur lembaga HAM Viasna, berstatus tahanan saat diumumkan sebagai penerima Nobel Perdamaian. Bialiatski pernah dipenjara pada 2011-2014 atas tuduhan melawan pemerintah dan menggerakkan massa berbuat kekacauan.
Bialiatski bersama Viasna menggerakkan massa untuk berunjuk rasa damai dalam pemilihan presiden 2020 yang dimenangi Alexander Lukashenko. Gara-gara itu, ia dituduh membuat kekacauan dan pada pertengahan 2021 ditangkap polisi. Hingga sekarang, Bialiatski tidak diadili.
Dalam 121 tahun sejarah Nobel Perdamaian, Bialiatski menjadi penerima penghargaan keempat yang berstatus tahanan saat diumumkan menjadi pemenang. Tiga pemenang lain sebelumnya ialah jurnalis Jerman, Carl von Ossietzky (1935); pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi (1991); dan Liu Xiaobo dari China (2010).
”Pelanggaran HAM dan pemberangusan ekspresi sipil di Belarus sekarang seperti zaman Uni Soviet di bawah Joseph Stalin. Semua yang vokal begitu mudah diciduk pemerintah,” kata Bialiatski saat diwawancara Deutsche Welle, Juni 2021.
Dua lembaga yang turut menerima Nobel Perdamaian ialah Memorial dari Rusia dan Pusat Kebebasan Sipil (CCL) dari Ukraina. Memorial didirikan pada 1987 oleh pegiat HAM yang ingin mendokumentasikan kasus-kasus pengekangan hak sipil oleh Uni Soviet. Pegiatnya vokal menyuarakan perdamaian. Pada 2009, ketika Perang Chechen berkecamuk, Direktur Memorial Chechnya Natalya Estemirova diculik dan tak lama kemudian ditemukan tewas terbunuh.
Pemerintah Rusia melalui Kementerian Hukum pada 2014 mengeluarkan pernyataan bahwa Memorial adalah lembaga yang dibayar oleh pihak-pihak asing untuk merusak reputasi Rusia. Mahkamah Agung Rusia pada akhir 2021 memvonis Memorial sebagai agen asing dan harus dibubarkan. Dilansir dari BBC, petisi dengan 120.000 tanda tangan berusaha menyelamatkan Memorial, tetapi sia-sia. Akhirnya, pada April 2022, lembaga ini dibubarkan.
Andrei Kolesnikov, peneliti kajian Rusia untuk Universitas Carnegie di Amerika Serikat, menjelaskan kepada Financial Times edisi Desember 2021. Pemerintah Rusia ingin mengubah narasi sejarah kelam menjadi glorifikasi atas semua tindakan yang dilakukan demi melanggengkan setiap rezim.
”Memorial adalah penghalang mereka (Pemerintah Rusia) membangun mitos keperkasaan rezim ini. Memorial memaksa semua orang melihat sejarah dipenuhi oleh pengambilan keputusan yang salah dan kini harus dipertanggungjawabkan,” tutur Kolesnikov.
Adapun CCL didirikan pada 2007 di Kyiv, Ukraina, oleh pengacara Oleksandra Matviichuk. Tujuan lembaga ini ialah mempromosikan nilai-nilai HAM di Ukraina. ”Disayangkan Pemerintah Ukraina dan aparat penegak hukum kami belum memahami HAM, apalagi melaksanakannya dengan benar,” kata Matviichuk saat diwawancara Yayasan Friedrich Naumann untuk Kebebasan (Freiheit), 14 Februari 2022.
Sejak pecah konflik, CCL melakukan kajian mengenai berbagai pelanggaran HAM oleh semua pihak yang terlibat peperangan. Mereka berusaha agar adil dan tidak bias terhadap kewarganegaraan pelaku pelanggaran. CCL membuat peta orang hilang untuk memantau berbagai penculikan dan penghilangan pegiat HAM ataupun warga sipil selama masa pendudukan Rusia.
Sebagian kalangan di Ukraina tak menyukainya karena negara itu ditempatkan dalam kategori sama dengan Rusia dan Belarus. Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022 dengan, antara lain, memanfaatkan wilayah Belarus.
Penasihat Kepresidenan Ukraina Mykhailo Podolyak mencuit di Twitter bahwa Komite Nobel memiliki ”pemahaman menarik tentang kata ’perdamaian’”. Selain itu, tak ada ucapan selamat dari Presiden Volodymyr Zelenskyy kepada CCL.
”Komite Nobel memahami dilema bahwa dengan pemberian penghargaan ini kian mengekspose kinerja individu ataupun lembaga-lembaga perjuangan HAM yang bisa memberikan efek samping negatif terhadap keselamatan mereka. Namun, kami meyakini bahwa sejak awal mereka adalah orang-orang pemberani yang telah mengambil risiko untuk menyerukan perdamaian. Tiga negara, tiga pemerintahan, tetapi satu semangat,” kata Reiss-Andersen. (AP/AFP/REUTERS)